Oligarki Perikanan Indonesia
Kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota dengan izin khusus dikhawatirkan hanya menguntungkan pemilik kapal-kapal besar dan berpotensi memingirkan nelayan kecil. Ditunggu keberpihakan negara kepada nelayan kecil.
Sikap Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menggantikan rencana kebijakan penangkapan terukur berbasis kuota dengan sistem kontrak menjadi ”izin khusus” menimbulkan kecurigaan (Kompas, 8/8/2022). Waktu berlakunya pun selama 15 tahun.
Mengapa pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memaksakan kebijakan yang menuai protes dan penolakan pelbagai kalangan? Hingga, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mempidatokannya di forum The 2nd United Nation Oceans Conference (UNOC) di Portugal pada 27 Juni-1 Juli 2022 (Kompas, 26/7/2022). Lalu, akan ditawarkan dalam forum G20 di Bali akhir tahun ini. Apakah ada udang di balik batu?
Oligarki
Saya mengutip pendapat Robison dan Hadiz (2013) yang mendefinisikan oligarki sebagai suatu sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terjadinya pengumpulan kekayaan dan kewenangan di tangan segelintir elite beserta seperangkat mekanisme untuk mempertahankannya. Begitu pun Winters (2013), mendefinikasannya sebagai politik mempertahankan kekayaan para aktor yang menguasainya, termasuk sumber daya perikanan.
Winters mengelompokkannya dalam dua dimensi. Pertama, kesulitan memecahkan dan menyeimbangkan oligarki karena memiliki dasar kekuasaan serta kekayaan material yang kuat. Kedua, oligarki mampu menjangkau kekuasaan yang relatif luas dan sistemik meski statusnya minoritas dalam suatu komunitas.
Baca juga: Neoliberalisme Perikanan Terukur
Perubahan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dari sistem kontrak menjadi izin khusus mengindikasikan kaum oligarki ikut bermain. Pertama, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sejak lama menyiyalir bahwa selama ini kekayaan laut Indonesia hanya mengalir kepada segelintir orang yang mengoperasikan kapal ikan berukuran besar. Jumlahnya diperkirakan sekitar 4.000-5.000 unit berbobot 100-200 gross ton (GT). Semua kapal itu beroperasi di perairan Indonesia yang dikuasai hanya 8-20 perusahaan. Ironisnya, pemiliknya acapkali tak membayar pajak (Nasution, 2020).
Lahirnya ”izin khusus” amat mungkin melibatkan gerilya dan intervensi kaum oligarki. Meski formatnya tampak mengacu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko, turunan UU Cipta Kerja No 11/2020. Padahal, pemberlakuan UU Cipta Kerja ini di-pending lewat Keputusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 sehingga belum bisa jadi rujukan kebijakan baru.
Kedua, regulasi kebijakan ini menguntungkan kaum oligarki dan berpotensi meminggirkan nelayan skala kecil. Pasalnya, kebijakan ini berorientasi industrialisasi promosi ekspor (IPE) dan mengedepankan investasi asing.
Buktinya, dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), 7 wilayahnya dialokasikan untuk zona industri, sisanya masing-masing dua wilayah untuk zona nelayan lokal dan zona perlindungan. Ini pun belum jelas industri macam apa yang dimaksudkan.
Sistem kuota dengan izin lokasi bakal diujicobakan di Ternate, Kejawanan, dan Tual. Apa pertimbangan pemilihan lokasi ini? Selama ini, Tual memang basis beroperasi kapal-kapal penangkap ikan berukuran di atas 150 GT (WPPNRI 718). Akan tetapi, mengapa pemerintah memasukkan juga Ternate dan Kejawanan (Cirebon)? Apakah strategi mengelabui kecurigaan publik?
Regulasi kebijakan ini menguntungkan kaum oligarki dan berpotensi meminggirkan nelayan skala kecil.
Ketiga, penerapan sistem kuota dengan ”izin khusus” berpotensi memicu konflik agraria kelautan. Apa kekhususannya? Masih misteri dan gelap. Jangan sampai justru memicu konflik perebutan dan perampasan ruang tangkap antara kapal ikan skala besar dan alat tangkap tertentu versus nelayan tradisional.
Keempat, struktur industri perikanan Indonesia memang amat timpang. Jumlah unit pengolahan ikan (UPI) skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar 99 persen, sedangkan skala besar 1 persen. Volume produksi UMKM sebesar 67 persen, sedangkan usaha besar 33 persen.
Hal lainnya, ekspor perikanan Indonesia sebesar 4,94 miliar dollar AS (2019) melonjak menjadi 6,17 miliar dollar AS (2020), dan turun menjadi 5,72 miliar dollar AS (2021) (baca: Nugroho 2021). Aktivitas ekspornya pun didominasi pengusaha besar yang mengakibatkan industri pengolahan ikan Indonesia dikuasai dan dinikmati mereka.
Baca juga: Mendongkrak Kontribusi PDB Perikanan
Kelima, kembali maraknya perdagangan komoditas perikanan secara ilegal yang dikuasai mafia perikanan yang berkonspirasi dengan elite kekuasaan dan aparat hingga merugikan negara. Contohnya tahun 2021, United States International Trade Commission (USITC) di Amerika Serikat melaporkan perkiraan impor ikan dari penangkapan IUUF di Indonesia mencapai 105,5 juta dollar AS setara dengan Rp 1,47 triliun.
Keenam, merebaknya kembali model kapitalisme crony dan kompradorisme dalam industri perikanan. Persekongkolan dan koncoisme dalam industri perikanan yang melibatkan birokrasi hingga aparat bermental pedagang di negeri ini sudah jadi rahasia umum.
Mereka menjadi backing usaha dan memuluskan izin hingga memanipulasinya dalam penangkapan ikan skala besar. Mereka juga duduk sebagai komisaris-komisaris korporasi besar dan menikmati rente ekonomi dari bisnis perikanan legal ataupun ilegal. Jadi, amat sulit mendongkrak PNBP perikanan jika kaum oligarki masih menguasai dan bermain dalam bisnis perikanan di negeri ini.
Keadilan dan keberpihakan
Memberantas oligarki bisnis perikanan negeri ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Tembok konspirasi politik tingkat tinggi yang melibatkan birokrasi, aparat, dan elite kekuasaan yang berselingkuh dengan kaum oligarki perikanan sudah berurat akar dan menggurita.
Mestinya, struktur ekonomi perikanan yang adil dan berkelanjutan menjadi keniscayaan. Umpamanya, bagaimana memosisikan UMKM sebagai pelaku utama sektor perikanan, khususnya perikanan skala kecil sehingga mewujudkan pemerataan.
Mestinya, struktur ekonomi perikanan yang adil dan berkelanjutan menjadi keniscayaan.
Paradigma ini telah dikemukakan Svein Jentoft dalam bukunya yang berjudul Blue Justice: Small-Scale Fisheries in a Sustainable Ocean Economy, yaitu keadilan biru (blue justice). Blue justice merupakan governability yang membutuhkan pengembangan kelembagaan yang tepat (right institutions) yang bersifat transdisipliner (terintegrasi), partisipatif, dan holistik (Jentoft, 2022).
Blue justice mencakup dimensi kesetaraan dalam rekognisi, mekanisme prosedural, distribusi, pengelolaan sumber daya, aspek lingkungan/ekologi, termasuk dampak perubahan iklim dan kontekstualnya secara praksis yang terintegrasi, partisipatif, dan holistik (Bennet, 2022).
Di sinilah pentingnya unsur keadilan keberpihakan negara terhadap kelompok masyarakat terbesar yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya perikanan. Memang, di Indonesia sudah lengkap instrumen kelembagaannya, yaitu UU No 45/2009 tentang Perikanan, UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan perubahannya No 1/2014, UU No 32/2014 tentang Kelautan, dan UU No 7/2016 Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Sayangnya, semuanya macan ompong. Belum lagi UU Cipta Kerja beserta turunannya yang justru memperparah ketidakadilan di lautan.
Baca juga: Perikanan yang Berkeadilan
Kini membutuhkan kebijakan, pertama, negara mesti hadir lewat perpanjangan tangannya, yaitu BUMN khusus yang mengelola WPPNRI supaya memutus rantai oligarki dalam sistem tata kelola sumber daya alam kelautan dan perikanan. Kedua, merevisi dan mencabut peraturan perundangan yang prosesnya sarat kepentingan dan intervensi kaum oligarki, umpamanya, UU Cipta Kerja beserta turunannya berupa peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri.
Ketiga, pemerintah bersama DPR segera menyusun UU Sistem Perekonomian Nasional (SPN). Pasalnya, selama 77 tahun Indonesia merdeka belum ada UU SPN sebagai turunan UUD 1945 yang memulihkan hak-hak rakyat dalam mencapai sebesar-besar kemakmurannya. Marwahnya, mengembalikan tata kelola (governability) sumber daya perikanan kepada pelaku utama ekonomi Indonesia, yaitu BUMN, koperasi, dan swasta nasional secara adil, merata, dan berkelanjutan.
Muhamad Karim, Dosen Universitas Trilogi; Peneliti Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim