Langkah Presiden Jokowi mengajukan kembali RUU KKR dan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial merupakan jalan yang ditempuh untuk melunasi janji kampanye sekaligus melaksanakan tugas konstitusionalnya.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
”Masa lalu adalah negeri asing. Siapa tahu, di sana di negeri asing itu terletak sumber ketidakberesan yang kini-ataukah di sini-saya rasakan. Kalau perjalanan ke masa lalu, seperti juga ke negeri asing, bisa dilakukan, bukankah sebaiknya unsur-unsur yang menyebabkan ketidakberesan itu diperbaiki di sana agar yang terjadi di sini baik-baik saja.”
Saya membaca berulang kali bagian tulisan sejarawan Taufik Abdullah dalam pengantar buku Wiranto Bersaksi di Tengah Badai (2003). Frasa ”di sana di negeri asing itu terletak sumber ketidakberesan” menjadi kontekstual. Ketidakberesan masa lalu, dalam konteks ini, adalah berbagai pelanggaran hak asasi manusia era Orde Baru.
Ditembaknya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atas perintah bekas Kepala Divisi Propam Mabes Polri Irjen Ferdy Sambo merupakan kejahatan kemanusiaan. Terlepas kesalahan yang dilakukan Nofriansyah—jika memang ada—pembunuhan di luar pengadilan (extrajudicial killing) tidak bisa dibenarkan.
Langkah cepat diharapkan diambil Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Sambil memproses dugaan pidana pembunuhan, pelanggaran etika oleh Ferdy bisa didahulukan. Jika pelanggaran etika bisa dibuktikan, persekongkolan pembunuhan dan rekayasa pengaburan perkara, pemberhentian tidak hormat terhadap Ferdy patut disegerakan. Proses pidana menyusul kemudian. Langkah Ferdy mengindikasikan ada ketidakberesan masa lalu.
Isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang diangkat Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2022, hanya memantik sedikit diskursus di media. Boleh jadi, pelanggaran HAM masa lalu tak lagi seksi. Padahal, mengutip Sindhunata dalam buku Negara Bangsa di Simpang Jalan, ”Bila demokrasi mengubur hak asasi, sama saja demokrasi menggali liang kuburnya sendiri.”
Presiden mengatakan menaruh perhatian atas kasus pelanggaran HAM masa lalu. Dua jalan ditempuh Presiden adalah pemrosesan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan diterbitkannya Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. ”Keppres sudah saya tanda tangani.”
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi janji kampanye Presiden. Dalam dokumen kampanye Nawacita tertera dengan jelas niat Presiden Jokowi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. Ikhtiar untuk itu tampak dengan penyidikan kasus pelanggaran HAM di Paniai dan diajukannya kembali RUU KKR serta diterbitkannya keppres penyelesaian non-yudisial soal pelanggaran HAM masa lalu.
Sejak Soeharto turun, beban penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu terus disuarakan. Mulai dari Presiden BJ Habibie yang membebaskan tahanan politik, membuka keran kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi; Presiden KH Abdurrahman Wahid yang membuka sumbatan aspirasi etnis Tionghoa dan diizinkannya Imlek sebagai perayaan nasional; Presiden Megawati Soekarnoputri yang menandatangani UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi pada 6 Oktober 2004, yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi tahun 2006 pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Langkah Presiden mengajukan kembali RUU KKR dan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial merupakan jalan Presiden Jokowi melunasi janji kampanye sekaligus melaksanakan tugas konstitusional. Berbagai jalan penyelesaian kasus HAM telah dicoba. Jalur pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kandas di MK. Jalan peradilan sipil, sebut saja dalam kasus penyerbuan kantor DPP PDI, 27 Juli 1996, hanya bisa membuktikan dua buruh melempar batu. Jalan pengadilan HAM ad hoc kasus Tanjung Priok 1984 berakhir dengan bebasnya sejumlah terdakwa.
Langkah Presiden mengajukan kembali RUU KKR dan membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial merupakan jalan Presiden Jokowi melunasi janji kampanye sekaligus melaksanakan tugas konstitusional.
Selain karena rumitnya mencari bukti untuk persidangan atau karena memang tak punya keinginan, ketiadaan dukungan politik membuat bangsa ini terus terbebani dengan masa lalu. Boleh jadi, dilema itu yang dihadapi Presiden Jokowi. Pada satu sisi penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu adalah janji kampanyenya, di sisi lain dukungan politik masih kurang untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Kritik sejumlah aktivis, seperti Hendardi, Ketua Setara Institute, yang mengingatkan agar tim penyelesaian non-yudisial kasus pelanggaran HAM, yang tidak justru melanggengkan impunitas dan tidak menjadi pengampunan massa pelaku pelanggaran HAM, sangat bisa dipahami. Belum ada pengumuman resmi siapa saja yang akan masuk dalam tim tersebut, meski nama-namanya sudah beredar. Beberapa orang sempat saya hubungi ada yang mengatakan menolak, tetapi ada juga yang menerima sambil melihat bagaimana mekanisme tim tersebut akan bekerja.
Isu pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan. Afrika Selatan menyelesaikan isu pelanggaran HAM masa lalu karena punya Nelson Mandela dan Uskup Desmond Tutu. Argentina menyelesaikan isu pelanggaran HAM masa lalunya dengan menjalankan pola Komisi Kebenaran yang melahirkan dokumen Nunca Mas serta jalur pengadilan.
Jalan Jokowi bisa merupakan ikhtiar melunasi janji kampanyenya di tengah kompleksitas persoalan. Masalahnya, bagaimana membangun kepercayaan publik. Korban pelanggaran HAM berhak tahu siapa pelakunya, korban berhak untuk mendapatkan pemulihan kondisinya serta mendapatkan kebenaran dan jaminan kekerasan masa lalu tak terjadi lagi. ”Ketidakberesan” masa lalu harus ditinggalkan agar tak menggelayuti masa depan. Aktor pelanggar HAM sebaiknya tahu diri.
Saya teringat tulisan Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, ”Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut.” Menjadi tugas bangsa ini menemukan ketidakberesan masa lalu, guna merancang masa depan.