Banyak negara di Asia-Afrika sangat ingin perang di Ukraina berhenti. Negosiasi damai merupakan kuncinya, tetapi tampaknya jalan menuju ke arah itu nyaris tertutup.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Perang Ukraina telah berlangsung hampir enam bulan. Tak ada tanda-tanda konflik bersenjata ini akan mereda. Ada kekhawatiran perang justru bakal membesar.
Menjelang enam bulan serangan Rusia yang berlangsung sejak 24 Februari lalu, Pemerintah Ukraina melalui Menteri Luar Negeri Dmytro Kuleba mempertanyakan sikap netral negara-negara di Asia-Afrika. Di sisi lain, Ukraina mengapresiasi Presiden Indonesia Joko Widodo karena menjadi pemimpin negara Asia pertama yang datang ke Kyiv di tengah kondisi perang. Kunjungan Jokowi dinilai sebagai dukungan politik penting (Kompas, 18 Agustus 2022).
Pada Juni silam, Presiden Jokowi menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kyiv serta berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa. Pertemuan, antara lain, membahas keberlangsungan pasokan bahan pangan di tengah perang serta penyelenggaraan G20. Memegang keketuaan G20 pada tahun ini dan sekaligus sebagai tuan rumah, Indonesia hendak mengundang Rusia dan Ukraina untuk mengikuti pertemuan forum tersebut.
Seperti disampaikan Menlu Kuleba, Ukraina menghormati sikap yang diambil setiap negara, entah netral ataupun tidak netral. Kita semua pun paham, pilihan sikap yang diambil setiap negara sangat tergantung pada kepentingan nasional masing-masing.
Meski demikian, rasanya ada satu kesamaan kepentingan di antara banyak negara di dunia, yakni bagaimana mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh perang tersebut. Bagi banyak negara, terutama yang tak memiliki sumber daya energi dan pangan, perang di Ukraina menimbulkan kesulitan berupa gangguan suplai serta kenaikan harga. Inilah yang membuat negara-negara sangat ingin perang berhenti. Hanya dengan mengakhiri perang, kepentingan banyak negara terpenuhi.
Sayangnya, sampai sekarang, tak ada tanda-tanda perang akan berakhir. Bahkan, ada yang melihat perang kini dapat berkembang dengan tak terkendali. Ukraina yang mendapat dukungan negara-negara Barat tampak menginginkan untuk memenangi perang. Di sisi lain, Rusia tak memiliki pilihan selain memenangi perang setelah memulai ”operasi militer khusus” pada Februari dengan alasan mencegah Ukraina bergabung dengan NATO.
John J Mearsheimer dalam artikel ”Playing with Fire in Ukraine” (Foreign Affairs, 17 Agustus 2022) menulis, situasi sekarang sudah berbeda. Saat ini, kedua kubu sama-sama berkeinginan kuat untuk menang. Pertaruhan menjadi sangat besar. Segala cara dapat ditempuh, tak terkecuali mengerahkan kekuatan nuklir.
Banyak negara di Asia-Afrika sangat ingin perang berhenti. Negosiasi damai merupakan kuncinya, tetapi tampaknya jalan menuju ke arah itu nyaris tertutup. Padahal, harga untuk mengakhiri perang dengan semata mengandalkan kekuatan militer akan sangat mahal dan tentunya banyak negara di dunia tak ingin berkorban untuk ”membayarnya”.