Perwujudan kesejahteraan bersama, terbebas dari kemiskinan, merupakan salah satu janji kemerdekaan yang terabaikan selama 77 tahun Indonesia merdeka.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Pada 1 Juni 1945, Soekarno berpidato bahwa ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka”. Namun, setelah 77 tahun merdeka, jutaan rakyat masih hidup dalam kemiskinan.
Sesuai data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta. Jumlah rakyat yang rentan miskin jauh lebih banyak. ”67 persen penduduk Indonesia rentan miskin” kata Bambang Brodjonegoro (Kompas, 24/10/2021). Mayoritas rakyat rentan miskin.
Kemiskinan terbukti ada dan terus berlanjut setiap kali bangsa ini merayakan kemerdekaan. ”Selagi kemiskinan berlanjut,” kata Nelson Mandela (2005), ”tidak ada kemerdekaan sejati.” Kemerdekaan sejati yang diimpikan oleh Soekarno sebagai ”sebuah jembatan emas” untuk mewujudkan kesejahteraan bersama ternyata masih jauh dari kenyataan hidup rakyat miskin. Janji kesejahteraan tidak berhasil diwujudkan dalam kehidupan nasional secara adil, setara, dan merata. Kesejahteraan jauh lebih banyak dinikmati oleh pemimpin dan golongan kaya, tetapi sangat kurang dirasakan oleh rakyat miskin. Jutaan rakyat Indonesia terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang tak pernah berakhir.
Komitmen serius pada masalah kemiskinan ini menjadi faktor pembeda di antara dua tipe pemimpin. Pemimpin yang berjiwa kerdil lebih bersikap pasif, tidak sensitif, dan tidak pula terpanggil untuk segera membebaskan jutaan rakyatnya dari lingkaran kemiskinan. Namun, pemimpin yang berjiwa besar justru mengakui fakta brutal tentang kondisi jutaan rakyatnya yang miskin dan telantar.
Dengan penuh kejujuran, pemimpin yang berjiwa besar mengajak seluruh warganya untuk saling bergotong royong dalam membebaskan jutaan rakyat miskin dari derita kemiskinan.
Pemimpin yang berjiwa besar selalu berpikir terbuka untuk belajar dari kepemimpinan politik tokoh yang berjiwa besar, Nelson Mandela, yang mengajak kekuatan dunia untuk bersatu padu dalam kampanye global dalam aksi bersama melawan kemiskinan.
Dalam pidato heroiknya di hadapan ribuan massa di London’s Trafalgar Square, Nelson Mandela berbicara secara tegas dan lugas bahwa ”Di abad baru ini, jutaan orang di negara-negara termiskin di dunia tetap dipenjara, diperbudak, dan dirantai. Mereka terperangkap dalam penjara kemiskinan. Ini sudah waktu yang tepat untuk membebaskan mereka. Seperti halnya perbudakan dan apartheid, kemiskinan bukanlah hal yang natural. Kemiskinan adalah produk manusia, dapat diatasi, dan sekaligus diberantas melalui tindakan-tindakan manusia [secara kolektif]. Dan tindakan mengatasi kemiskinan bukanlah gerakan amal. Ini adalah tindakan keadilan. Ini adalah perlindungan hak asasi manusia yang fundamental, hak untuk hidup secara bermartabat dan kehidupan yang layak” (Mandela, 2005).
Nelson Mandela menjadi sumber inspirasi untuk berkampanye secara masif dalam ikhtiar bersama untuk mengatasi kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah bersama, dan karena itu pula menjadi tanggung jawab kita semua. Namun, pemimpin yang berjiwa besar harus mampu menggerakkan seluruh elemen kekuatan bangsa untuk bersatu padu dalam membebaskan jutaan rakyat Indonesia dari ”penjara kemiskinan”. Kemiskinan telah memenjarakan mereka dari berbagai akses kesempatan sosial yang membuat hidupnya bermartabat.
Pemimpin yang berjiwa besar harus mampu menggerakkan seluruh elemen kekuatan bangsa untuk bersatu padu dalam membebaskan jutaan rakyat Indonesia dari ”penjara kemiskinan”.
Kehendak bersama untuk memikul tanggung jawab kolektif dalam pembebasan jutaan rakyat dari kemiskinan ini juga didorong oleh suatu keyakinan bahwa kita semua harus mampu melunasi janji-janji kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan amat susah payah oleh para pendiri republik ini. Janji inilah yang ditegaskan oleh Soekarno, ”Di atas lapangan ekonomi, kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama sebaik-baiknya” (1945).
Perwujudan kesejahteraan bersama, terbebas dari kemiskinan, merupakan salah satu janji kemerdekaan yang terabaikan selama 77 tahun Indonesia merdeka. Janji ini mengikat tanggung jawab konstitusional kita semua untuk melibatkan diri secara aktif, sekecil apa pun tindakan itu, dalam mewujudkan impian kesejahteraan bersama.
Sebagai konsekuensi logis dari karakter negara gotong royong yang didirikan untuk semua, bukan untuk satu golongan, kesejahteraan bersama pun harus diwujudkan dalam kehidupan nasional secara adil, setara, dan merata. Karena karakter dasar ”kita adalah saling tergantung satu sama lain”, meminjam istilah Bill Gates, atau istilah Sudhamek AWS (2020), paradigma ”saling bergantung (interdependent) dan tumbuh bersama (co-arising)”, tidak boleh ada satu warga negara pun, apalagi jutaan, di antara kita yang tertinggal dan terbelakang dari warga yang lain.
Kita harus tumbuh, berkembang, dan bangkit secara bersama-sama sebagai satu bangsa di Tanah Air yang satu—Tanah Air Indonesia. (SUKIDI/PEMIKIR KEBINEKAAN)