Jangan Keburu Senang
Ekonomi memang tumbuh apik. Namun, jangan keburu senang. Masih banyak persoalan yang perlu segera ditangani di tengah tren tebar pesona menuju Pemilihan Presiden 2024.
Perekonomian RI tumbuh apik sebesar 5,44 persen pada triwulan II-2022 secara tahunan. Namun, jangan keburu senang, halang rintang pertumbuhan kian menantang, terlebih di sektor energi dan pangan.
Di sektor energi, kuota bahan bakar minyak (BBM) subsidi, terutama pertalite dan solar, menipis. Di sektor pangan, harga produk pangan olahan merangkak naik dan kenaikan harga pupuk menekan biaya produksi pangan mentah.
PT Pertamina (Persero) mencatat, per Juli 2022, total penyaluran pertalite sebesar 16,8 juta kiloliter (kl), sehingga hanya tersisa 6,25 juta kl dari kuota yang ditetapkan tahun ini sebanyak 23,05 juta kl.
Adapun realisasi penyaluran solar selama tujuh bulan di tahun ini 9,9 juta kl. Jadi masih tersisa 5,1 juta kl dari kuota 2022 yang sebanyak 14,91 juta kl.
Cukupkah sisa kuota per Juli 2022 itu sampai akhir tahun ini? Mari ambil contoh pertalite. Jika diasumsikan rata-rata konsumsi pertalite per bulan dari kuota 23,05 juta kl sebanyak 1,92 juta kl, maka sisa kuota 6,25 juta kl hanya cukup untuk tiga bulan. Artinya, sisa kuota pertalite itu hanya cukup hingga Oktober 2022.
Jika diasumsikan rata-rata konsumsi pertalite per bulan dari kuota 23,05 juta kl sebanyak 1,92 juta kl, sisa kuota 6,25 juta kl hanya cukup untuk tiga bulan. Artinya, sisa kuota pertalite itu hanya cukup hingga Oktober 2022.
Kondisi tersebut membawa sejumlah implikasi dan konsekuensi. Jika subsidi tidak ditambah, mau tidak mau harga pertalite akan dinaikkan agar tidak membebani Pertamina. Rembetannya bisa mempercepat laju kenaikan inflasi di sejumlah sektor terkait dan semakin menggerus daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.
Ingat. Per Juli 2022, inflasi tahunan sudah 4,94 persen. Tingkat inflasi itu sudah di atas target inflasi 2022 Bank Indonesia yang sebesar 2-4 persen.
Namun, apabila pemerintah menambah lagi subsidi, keuangan negara bakal tertekan. Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran subsidi dan kompensasi energi senilai total Rp 502,4 triliun dari APBN 2022. Anggaran itu sudah memperhitungkan harga minyak mentah Indonesia 100 dollar AS per barel, serta kebutuhan pertalite (23,05 juta kl) dan solar (14,91 juta kl).
Baca juga: Anggaran 2023 Dialokasikan untuk Belanja Produktif dan Subsidi Tepat Sasaran
Pertamina tengah berupaya mengendalikan sisa kuota tersebut untuk mencukupi kebutuhan hingga akhir tahun. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat juga berencana menambah kuota pertalite 5 juta kl menjadi 28 juta kl. Jika hal itu terjadi, berarti dana negara yang akan dikeluarkan bakal lebih dari Rp 502 triliun.
Itu baru satu dari sekian banyak persoalan di sektor energi. Belum lagi di sektor pangan mentah dan olahan yang tengah didera kenaikan biaya produksi. Hal itu tidak terlepas dari kenaikan harga komoditas (pangan, pupuk, dan energi) global ditambah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), serta BBM, listrik, dan gas nonsubsidi.
Tantangan pangan
Karena itu, tidak mengherankan, saat harga minyak goreng curah mulai terjaga di kisaran Rp 14.000 per liter, muncul isu baru terkait kenaikan harga mi instan. Kementerian Perindustrian menyebutkan, harga mi instan kuah di tingkat konsumen telah dua kali naik dalam tiga tahun terakhir ini.
Pada 2019, harganya masih Rp 2.500 per bungkus. Pada 2021 dan Mei 2022, harganya naik masing-masing menjadi Rp 2.750 per bungkus dan Rp 3.000 per bungkus (Kompas, 11/8/2022).
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia menyebutkan, per Juli 2022, indeks harga produsen (PPI) sudah sebesar 11,77 persen. Ini mengindikasikan kenaikan harga bahan baku dan energi telah tecermin dalam biaya produksi dan semakin menekan industri.
Disparitas PPI dengan inflasi atau indeks harga konsumen (CPI) yang mencapai 4,94 persen masih cukup lebar. Hal itu berarti produsen belum masif menaikkan harga barang dan lebih memilih mengurangi keuntungan agar tidak kehilangan permintaan.
Di sisi lain, hal itu juga memperlihatkan upaya pemerintah meningkatkan subsidi energi untuk menekan laju kenaikan harga energi. Ke depan, pelaku industri bisa saja secara masif menaikkan harga saat keuntungan semakin tipis akibat tekanan kenaikan biaya produksi.
Per Juli 2022, indeks harga produsen (PPI) sudah sebesar 11,77 persen. Ini mengindikasikan kenaikan harga bahan baku dan energi telah tecermin dalam biaya produksi dan semakin menekan industri.
Baca juga: Hati-hati Lubang Krisis Biaya Hidup
Di sektor pangan mentah, petani sudah mengeluhkan kenaikan harga pupuk urea dan NPK. Petani kelapa sawit, misalnya, telah menanggung kenaikan harga pupuk 70-80 persen di tengah masih rendahnya harga tandan buah segar kelapa sawit.
Begitu juga dengan petani tebu yang jatah pupuk subsidinya berkurang dari 5-6 kuintal per hektar (ha) menjadi 1,8 kuintal per ha. Hal itu membuat petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi, yakni ZA dan phonska, yang harganya naik tiga kali lipat. Biaya pembelian kedua pupuk itu yang semula sekitar Rp 2 juta per ha melonjak menjadi Rp 6 juta per ha.
Itu baru harga pupuk, belum biaya angkut dan upah tenaga kerja. Kenaikan biaya produksi pertanian dan perkebunan ini bakal mendorong kenaikan harga hasil panenan. Rentetannya berujung pada kenaikan harga produk pangan olahan.
Baca juga: Dunia Masih Cemas kendati Tren Harga Pangan Turun
Jangan keburu senang. Masih banyak persoalan yang perlu segera ditangani di tengah tren tebar pesona menuju Pemilihan Presiden 2024. Melindungi masyarakat menjadi prioritas pertama.
Lembaga Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyebutkan, setiap kenaikan 10 persen harga pangan akan menurunkan 5 persen pendapatan keluarga. Kehilangan pendapatan sebesar 5 persen itu akan semakin menambah beban hidup keluarga.
Sekali lagi. Ekonomi memang tumbuh apik. Harga minyak goreng curah juga sudah terkendali. Namun, jangan keburu senang. Masih banyak persoalan yang perlu segera ditangani di tengah tren tebar pesona menuju Pemilihan Presiden 2024. Melindungi masyarakat menjadi prioritas pertama.
Baca juga: Fenomena ”Lunchflation”