Ilmu dan universitas tidaklah hadir di ruang hampa. Mereka berinteraksi dengan politik, ekonomi, dan masyarakat luas. Maka, semenjak penetrasi neoliberalme memasuki universitas, pendidikan tinggi bukanlah barang publik.
Oleh
ROCHMAN ACHWAN
·5 menit baca
Apresiasi perlu diberikan pada Kompas yang telah memberikan ruang diskusi perkembangan ilmu pengetahuan, isu penting kemajuan suatu negara. Penulis juga mengapresiasi L Wilardjo yang telah melengkapi pandangan penulis tentang CUDO, communalism, universalism, disinterestedness, and organized skepticism (Kompas, 29/5/2022).
Artikel ini berpandangan, pertama, studi perkembangan ilmu pengetahuan abad ke-21 tetap perlu bersandar pada konsep CUDO yang dikembangkan Merton. Kedua, studi ini harus diletakkan dalam kontinum pendekatan Merton dan pendekatan kapitalisme akademik. Bukan dalam proses konvergen dari pendekatan Merton menuju kapitalisme akademik, sebagaimana dinyatakan oleh Iwan Pranoto (Kompas, 9/6/2022).
Ketiga, posisi serta peran historis universitas atau masyarakat ilmu dalam konstelasi ekonomi dan politik memengaruhi gerak pendulum ke arah salah satu pendekatan ini.
Salah satu inti konsep Merton adalah eksistensi perkembangan publikasi hasil riset para ilmuwan suatu negara di jurnal rujukan ilmuwan nasional dan internasional. Seorang ilmuwan yang telah berkali-kali menerbitkan karyanya di jurnal kredibel otomatis memiliki ”body of knowledge”. Mereka memiliki kepercayaan diri tinggi dalam memodifikasi konsep dan teori asing sehingga bisa digunakan untuk mempelajari masyarakatnya.
Apabila jumlah ilmuwan berkualitas bertambah setiap tahun, ini mengindikasikan perkembangan konstruktif ilmu pengetahuan suatu negara. Kemunculan masyarakat ilmu yang berkualitas menjadi syarat mutlak pendekatan Merton dan kapitalisme akademik.
Seorang ilmuwan yang telah berkali-kali menerbitkan karyanya di jurnal kredibel otomatis memiliki ” body of knowledge”.
Kekuasaan akademik
Ilmu dan universitas tidaklah hadir di ruang hampa. Mereka berinteraksi dengan politik, ekonomi, dan masyarakat luas.
Merton tentu tak dapat memprediksi perkembangan ilmu pengetahuan semenjak penetrasi besar-besaran paham neoliberal memasuki universitas di Barat dasawarsa 1960-an (Achwan et al, 2020). Paham ini memercayai bahwa pendidikan tinggi bukanlah barang publik, melainkan barang komersial. Paham inilah yang mengilhami pendekatan kapitalisme akademik.
Pendekatan kapitalisme akademik menekankan pentingnya universitas dikelola layaknya organisasi bisnis, menerapkan sistem audit berdasarkan kinerja dalam pengajaran, publikasi ilmiah serta perolehan paten dan royalti, dan memungut uang kuliah menurut prinsip bisnis. Tipe universitas ini disebut universitas kewirausahaan atau entrepreneurial university (Etzkowitz dan Viale, 2010).
Sebaliknya, pendekatan Merton menekankan pentingnya organisasi universitas dikelola secara kolegialitas, fokus pada riset dan publikasi ilmiah, menolak campur tangan pihak luar, serta cenderung tidak menggunakan prinsip bisnis dalam memungut uang kuliah. Tipe universitas ini disebut universitas riset model Jerman (Humboldtian model).
Kecenderungan ke arah salah satu dari kedua pendekatan itu tergantung perjalanan historis posisi dan peran universitas dalam berinteraksi dengan kelompok politik serta ekonomi suatu negara. Pola jalinan hubungan antarkelompok ini berbeda di setiap universitas. Dengan kata lain, bukan konvergensi (satu arah), melainkan divergensi (beragam arah) menandai perkembangan ilmu akibat penetrasi paham neoliberal ke dalam universitas.
Berikut orientasi perkembangan ilmu dua universitas dalam kontinum tersebut.
MIT
Etzkowitz menempatkan Massachusetts Institute of Technology (MIT) di AS sebagai universitas yang berhasil berevolusi menjadi universitas kewirausahaan. Didirikan 1861, MIT dikenal sebagai universitas yang memiliki reputasi tinggi di mata ilmuwan. Karena rentetan penemuan baru yang telah mereka publikasikan, MIT juga dapat rekognisi tinggi di mata masyarakat lewat kerja sama riset terapan dengan kalangan bisnis.
Jumlah dana endowment MIT jauh lebih tinggi (10,15 miliar dollar AS) ketimbang Universitas California Berkeley (3 miliar dollar AS) pada 2012 (Thoeniq dan Paradeise, 2014). Dengan kata lain, MIT memiliki bukan hanya modal ilmu (scientific capital) dan modal simbolik (rekognisi dari masyarakat), melainkan juga modal finansial yang besar.
Riset kolaborasi dengan dunia bisnis serta perhatian pada mutu pengajaran adalah nilai yang ditanamkan para pendahulu selama puluhan tahun. Besarnya modal yang dimiliki membuat MIT memiliki posisi kuat dalam berinteraksi dengan dunia bisnis. Itu sebabnya MIT dengan mudah bisa mengklaim hak paten dan hak lisensi teknologi.
Pengalaman MIT ini menarik jika diletakkan dalam konteks pemikiran Merton. Konsep CUDO sesungguhnya bisa dipecah menjadi etos ilmu dan otonomi ilmu (Panofsky, 2010). Etos ilmu bertalian dengan nilai-nilai ilmiah yang telah tertanam dalam diri ilmuwan, terutama dalam produksi dan distribusi hasil riset. Sedangkan otonomi ilmu berkaitan dengan kemandirian ilmu, bebas dari campur tangan politik dan ekonomi.
MIT berhasil mempertahankan etos ilmu dan memperluas otonomi ilmu dengan mengklaim hak paten dan lisensi, suatu hak yang sering dimiliki kalangan bisnis dalam kerja sama dengan universitas. Ilmu tak hanya otonom sebagaimana ditekankan Merton, tetapi sekaligus terlekat (embedded) dalam dunia politik dan ekonomi.
JHU
Johns Hopkins University (JHU) adalah universitas elite penerima dana hibah riset terbesar dari pemerintah federal AS (Feldman dan Desrochers, 2004). Setiap tahun, JHU menerima dua kali lipat dana riset dibandingkan dengan MIT. Didirikan 1876 oleh pengusaha Johns Hopkins dengan donasi uang 7 juta dollar AS, donasi terbesar di zamannya, dua kali lipat donasi yang diterima Universitas Harvard.
Dari awal, para pendirinya bermimpi menjadikan JHU sebagai universitas riset ternama di negaranya. Mimpi yang unik mengingat di zaman itu hampir semua universitas berfokus melatih mahasiswa untuk memiliki keterampilan praktis seusai tamat kuliah. JHU meletakkan riset dasar dan publikasi ilmiah sebagai misi utama universitas. Misi ini berkembang menjadi budaya akademis dan hingga sekarang para ilmuwannya menolak campur tangan bisnis dalam kegiatan riset.
William Brody, Rektor JHU, seperti dikutip Feldman dan Desrochers (2004), menjelaskan, tidak masuk akal menasihati ilmuwan JHU sekaligus menjadi manajer atau pedagang karena mereka pada dasarnya penjelajah. Mereka berlayar menjelajahi lautan tak bertuan mencari penemuan baru.
Ketika menemukan restriction enzymes, elemen dasar industri bioteknologi, mereka hanya mengumumkannya kepada publik. Akibatnya, JHU kehilangan royalti jutaan dollar. Tolol? Barangkali. Namun, menurut Brody, masyarakat ilmu meyakini bahwa JHU justru mendorong peningkatan peran ilmu pengetahuan dalam dunia industri di Amerika Serikat.
JHU adalah contoh konkret penganut pendekatan Merton yang tak tergoyahkan di tengah gelombang besar neoliberal.
Pengalaman JHU menandai bahwa etos ilmu (riset dan publikasi di jurnal terkemuka) dan otonomi ilmu (menolak campur tangan politik dan ekonomi) telah menjadi darah kehidupan para ilmuwannya. JHU adalah contoh konkret penganut pendekatan Merton yang tak tergoyahkan di tengah gelombang besar neoliberal.
Baru-baru ini, Universitas Indonesia (UI) memperkenalkan bus listrik dengan dukungan dana dari pemerintah. Kerja sama ini langkah awal menuju universitas mandiri, tetapi tidak terjebak kapitalisme akademik.
UI adalah universitas yang semenjak berdiri menjunjung tinggi riset dan publikasi ilmiah serta kerja sama dengan pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat. Fakultas Teknik UI adalah fakultas yang paling produktif dalam menerbitkan karya ilmiah bermutu ketimbang fakultas lain. Dengan dukungan ahli teknologi berkualitas, kerja sama ini dapat diperluas dengan menarik minat dunia otomotif di dalam ataupun luar negeri.