Dilema Kapitalisme Akademik
Selain komodifikasi pengetahuan, perguruan tinggi juga mengomodifikasi diseminasi pengetahuan. Hal ini seolah tak dipermasalahkan karena kita enggan membicarakannya. Padahal ada norma yang luntur. dalam pendidikan kita.
”Gajah di dalam ruangan”, demikian ungkapan dari bahasa Inggris untuk menggambarkan adanya isu besar dan sudah gamblang terlihat, tetapi orang enggan membicarakannya. Di ruangan pendidikan tinggi hari ini, salah satu gajahnya bernama kapitalisme akademik.
Argumennya, dengan semakin menguatnya ekonomi global berbasis pengetahuan dan kian menyusutnya anggaran untuk pendidikan tinggi publik dari pemerintah, institusi pendidikan tinggi perlu merangkul kapitalisme akademik dalam operasionalisasinya.
Suka atau tak suka, langkah ini pada satu sisi telah membuat perguruan tinggi sanggup bertahan dan berhasil berkembang. Lalu, di luar kalangan masyarakat akademik, masyarakat luas juga seperti telah mewajarkan adopsi kapitalisme akademik itu. Namun, di sisi lain, adopsi ini telah melunturkan norma tradisional dalam berilmu pengetahuan.
Masyarakat luas saat ini tampaknya sudah menganggap siasat ini sebagai sebuah kewajaran.
Kapitalisme akademik
Istilah kapitalisme akademik tentunya sudah membawa prasangka, tetapi tulisan ini mencoba untuk memandangnya sebagai sebuah gagasan yang tidak buruk ataupun tidak baik.
Jika merujuk Slaughter dan Rhoades (2004), teori kapitalisme akademik menempatkan kelompok pelaku (pengajar, mahasiswa, tenaga pendidikan/tendik, dan profesional akademik) yang dengan menggunakan sumber daya negara, menciptakan sebaran pengetahuan yang menghubungkan institusi pendidikan tinggi dengan ekonomi baru.
Entah mengapa pakem tadi disebut teori walau tidakkah lebih pas jika disebut siasat? Yakni bagaimana sekelompok pelaku memanfaatkan sumber daya milik negara (seperti lahan, fasilitas, dan dana) guna membangun jejaring pengetahuan antara perguruan tinggi dan korporasi, yang menguntungkan keduanya.
Baca juga RUU Sisdiknas yang Segregatif, Liberalistik, dan Etatistik
Masyarakat luas saat ini tampaknya sudah menganggap siasat ini sebagai sebuah kewajaran. Padahal, jika disorot lebih teliti, sang primadona di panggung teater akademik saat ini telah berganti menjadi perguruan tinggi dan korporasi, sementara rakyat pembayar pajak serta negara sebagai penyokong dana utama dan pertama telah digusur menjadi latar belakang panggung semata (Slaughter dan Rhoades, 2004).
Pewajaran kapitalisme akademik ini juga membuat batasan lembaga pendidikan for-profit (untuk-laba) dan non-profit (nirlaba) semakin kabur.
Sebuah ilustrasi menarik terjadi antara Universitas Texas A&M dan University of Phoenix. Pada 1998, pendiri University of Phoenix sekaligus pebisnis John Sperling dan istrinya mendonasikan uang setara Rp 54 miliar ke Universitas Texas A&M guna mengembangkan teknik kloning anjing mereka yang bernama Missy. Di sini rumitnya, uang dari usahanya, yakni dari University of Phoenix, yang memang merupakan korporasi pendidikan untuk-laba ditransfer ke institusi pendidikan nirlaba guna membiayai proyek penelitian bernama Missyplicity Project sesuai pesanan pebisnis pendidikan untuk-laba.
Hasil penelitian ini di kemudian hari berhasil dikomodifikasi menjadi sebuah bisnis kloning. Setelah berjalan beberapa lama, sejumlah ilmuwan di Universitas Texas A&M itu mendirikan perusahaan Genetic Savings & Clone di luar universitas. Seperti telah dipahami, para peneliti di Universitas Texas A&M sebelumnya telah mengenyam pendidikan dan penelitian awal menggunakan anggaran negara bersumber dari pajak.
Maka, pertanyaannya, proyek penelitian itu untuk-laba atau nirlaba? Di mana posisi rakyat pembayar pajak dalam panggung teater ini? Apakah penelitian ini sudah berdasarkan pesanan korporasi?
Jadi, memang gajah kapitalisme akademik sudah diwajarkan sekaligus disokong negara dan masyarakat luas secara bersama-sama, dan kita semua enggan membicarakannya.
Selain komodifikasi pengetahuan, perguruan tinggi juga dapat mengomodifikasi diseminasi pengetahuan. Bahkan ini juga terjadi di Tanah Air, saat perguruan tinggi negeri (PTN) membuka penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang umumnya ditawarkan disertai syarat finansial untuk diterima. Faktanya, kebijakan penarikan uang kuliah tunggal, iuran pengembangan institusi, dan dana pengembangan dengan pemeringkatan sampai ratusan juta rupiah sudah diterapkan sejumlah PTN ternama secara resmi terang-benderang (Kompas, 22/5/2022).
Berbagai strategi ini pun tidak begitu dipermasalahkan masyarakat, bahkan juga akademisi sendiri, karena mereka faktanya enggan menunjukkan ketaksetujuannya. Jadi, memang gajah kapitalisme akademik sudah diwajarkan sekaligus disokong negara dan masyarakat luas secara bersama-sama, dan kita semua enggan membicarakannya. Meski demikian, di balik panggung teater itu sesungguhnya ada norma yang luntur dan sedang dibalur warna baru.
Baca juga Kolonialisasi Ilmu
Berganti norma
Dalam tradisi berilmu pengetahuan, Norma Merton umumnya dijadikan pegangan umum. Rochman Achwan di ”Kolonialisasi Ilmu” (Kompas, 17/5/ 2022) sudah membahasnya. Norma yang disingkat CUDOS itu dibangun berdasarkan gagasan communalism, universalism, disinterestedness, dan organized scepticism.
Gagasan communalism menegaskan bahwa temuan dalam pengetahuan ilmiah adalah commons atau milik bersama dari masyarakat ilmu pengetahuan, dan kemajuan pengetahuan ilmiah ditentukan oleh tingkat keterbukaan komunikasi serta semangat berbagi. Gagasan pertama ini dalam budaya berilmu pengetahuan di zaman kiwari ini begitu penting, sampai dibahas khusus di Pasal 4 pada laporan Reimagining Our Futures Together (UNESCO, 2021) dan ditajukkan pada webinar Knowledge Commons and Digital Futures oleh Forum Guru Besar (FGB) ITB, 13 Mei 2022.
Adapun gagasan universalism mengatakan bahwa penemuan ilmu pengetahuan harus senantiasa obyektif dan bebas dari kriteria individu atau kelompok. Ini diwujudkan misalnya pada tradisi mitra bestari dalam publikasi.
Kemudian, gagasan ketiga ialah disinterestedness yang didefinisikan sebagai keterlepasan diri akademisi serta keyakinannya dari berbagai truth claims atau klaim kebenaran yang dibuatnya. Akademisi diharapkan bertindak untuk kepentingan ilmu pengetahuan sebagai milik bersama, bukan untuk keuntungan/kepentingan pribadi. Dalam praktiknya, gagasan ketiga ini yang paling sulit dijalankan hari ini.
Gagasan terakhir ialah organized scepticism yang berarti meragui sebagai pemicu semangat berilmu pengetahuan dan perlunya bukti atau proses verifikasi sehingga percobaan dan temuannya dapat direplikasi atau dihasilkan ulang. Klaim pengetahuan ilmiah harus dipaparkan pada proses meragui yang kritis sekaligus cermat sebelum diterima. Ini untuk menjamin temuan bersifat robust (bagas) serta dapat dipercaya.
Namun, dengan semakin diterimanya kapitalisme akademik, norma tadi sedikit demi sedikit luntur.
Namun, dengan semakin diterimanya kapitalisme akademik, norma tadi sedikit demi sedikit luntur. Keadaan ini dilematis. Gagasan tradisional communalism, khususnya, tidak sejalan lagi dengan logika kapitalisme. Seperti yang dikritisi oleh Philip Moriarty (2011) dalam Science as a Public Good, pendidikan tinggi di Inggris justru menerapkan kebijakan proteksi pengetahuan sehingga pengetahuan ini dapat dieksploitasi sebagai barang proprietary atau hak milik.
Moriarty menerangkan bahwa communalism dan disinterestedness merupakan dua kriteria umum untuk membedakan ilmu pengetahuan akademik tradisional dengan ilmu pengetahuan yang terkomersialkan.
Di masa awal pandemi Covid-19, misalnya, informasi tentang virus ini dibuat commons, milik bersama, dan semua bisa mengaksesnya. Ini salah satu penjelasan mengapa proses pembuatan vaksin bisa cepat. Namun, setelah beberapa waktu, ternyata beberapa negara mulai membuat pengetahuan tentang virus dan vaksin sebagai enclosures atau terbatas.
Baca juga Kampus Kapan Merdeka
Demikian pula penerapan disinterestedness yang menjadi kompleks dalam kapitalisme akademik. Bagaimana institusi pendidikan tinggi bisa menjamin bahwa pemberian dana oleh berbagai korporasi ke perguruan tinggi untuk menjalankan riset yang terkait dengan usaha korporasinya tidak mengompromikan taraf disinterestedness-nya?
Sosiolog John Ziman tahun 2000 sudah membandingkan norma yang mendasari budaya berilmu pengetahuan di dunia industri dengan di dunia akademik. Ziman merumuskan norma PLACE untuk dikontraskan dengan CUDOS.
PLACE merupakan singkatan dari proprietary (artinya pengetahuan dapat dimiliki seseorang, kelompok, atau korporasi sehingga tak lagi bersifat komunal); local (sehingga tak lagi harus berkontribusi pada pemahaman umum); authority (berarti berdasar hierarki manajerial, bukan pada peneliti individu sebagai lawan dari disinterestedness); commisioned (berdasar pesanan sehingga tak lagi harus berkontribusi pada pengetahuan secara keseluruhan serta tak harus dihela oleh keingintahuan semata); dan expert (dengan ilmuwan dianggap sebagai pakar, bukan skeptisisme atau meragui).
Didie SW
Lalu, bagaimana persepsi para akademisi terhadap norma tradisional? Macfarlane dan Cheng (2008) menemukan bahwa communalism dan universalism masih dijuarakan para akademisi, tetapi disinterestedness merupakan norma yang paling tak populer lagi di kalangan akademisi. Memang bisa dipahami bahwa menegakkan disinterestedness sulit dalam logika kapitalisme. Bagaimana menjamin bahwa pendapat yang dinyatakan perguruan tinggi publik tak dipengaruhi oleh korporasi pemberi dana?
Sebaliknya, bagaimana dapat menjamin bahwa pernyataan yang dikeluarkan institusi tidak sekadar untuk memuaskan publik, bahkan institusi publik berani menyampaikan pendapat yang tak populer? Di iklim politik populisme seperti sekarang, jaminan terakhir ini menjadi amat berat.
Sungguh gajah kapitalisme akademik ini menimbulkan dilema karena, walau telah dianggap wajar dan pasti akan tetap bercokol di panggung teater pendidikan tinggi ke depan, menanggalkan norma sebelumnya dan menggantinya dengan norma yang baru masih terasa berat. Pada saat yang sama, belum ada bukti nyata bahwa kapitalisme akademik telah melajukan pengembangan ilmu pengetahuan.
Iwan PranotoGuru Besar Institut Teknologi Bandung