Paradigma Merton dan ”Apa Saja Boleh”-nya Feyerabend
Hasil penelitian di bidang biomedis sebaiknya lolos saringannya mitra-mitra bestari (”peer reviewers”) yang bertindak sebagai ”penjaga palang pintu” jurnal top, seperti ”Lancet”.
Oleh
L WILARDJO
·5 menit baca
Artikel opini Rochman Achwan (”Kolonialisasi Ilmu”, Kompas, 17/5/2022) bagus dan cukup berimbang. Ia termasuk dalam ”kita” yang dikatakannya terkejut oleh reaksi politisi dan unsur-unsur masyarakat atas pemecatan dr Terawan Agus Putranto dari keanggotaan di IDI. Di lain pihak, ia menilai ilmuwan kedokteran (Indonesia?) tidak terdorong untuk menerbitkan karya ilmiahnya di jurnal top internasional karena publikasi di jurnal medioker saja sudah diakui.
Ia menyebut CUDO sebagai ”ideologi” dan (bahkan) ”konstitusi” dunia ilmu di muka Bumi. CUDO ialah akronim untuk communalism, universalism, disinterested (sic), dan organized scepticism (sic). (”sic” dalam kurung adalah tambahan saya/penulis sebab scepticism seharusnya dieja dengan ”k” sesudah ”s”-awal, dan ”disinterested” seharusnya ditulis ”disinterestedness”). Disinterestedness juga sering disebut Detachment. Di kuliah Filsafat Ilmu, saya memadankan ”disinterestedness atau detachment” itu dengan ”pasang jarak”.
Communalism (komunalisme) pada hemat saya tidak berarti bahwa temuan baru ”bukan hasil karya individual” seorang peneliti, tetapi ”merupakan karya komunitas akademis”, seperti dikatakan Rochman Achwan. Kerja sama antarpeneliti sepeminat dan kontribusi peneliti-peneliti lain pada karya ilmiah seorang ilmuwan-cum-peneliti memang hampir selalu ada. Namun, ada penemu utama yang pantas diberi kredit atas prestasinya.
Karena itu, banyak penerima hadiah Nobel adalah seorang ilmuwan meskipun ada juga hadiah Nobel yang diberikan secara berbagi kepada dua atau tiga ilmuwan. Albert Einstein seorang diri menjadi penerima Nobel Fisika (Efek Fotoemisi, 1921). Begitu pula Werner Heisenberg (Asas Ketakpastian, 1932). Adapun Abdus Salam, Steven Weinberg, dan Sheldon Glashow berbagi hadiah Nobel mereka (Teori Elektro Lemah, 1979).
Komunalisme berarti bahwa temuan ilmiah yang sudah dipublikasikan menjadi milik masyarakat. Bukan hanya masyarakat/komunitas ilmiah, melainkan juga masyarakat luas (the general public atau the public at large), termasuk awam terdidik (educated lay-person). Siapa saja boleh memakai temuan ilmiah itu, sebagai acuan, untuk bahan kuliah atau untuk menulis makalah dan buku teks, atau untuk melakukan inovasi dengan memodifikasi temuan itu asal tetap mengakui penemu aslinya. Dalam kuliah Filsafat Ilmu, komunalisme saya ibaratkan sebagai ”MCK” (mandi, cuci, kakus) yang boleh dipakai siapa saja, termasuk orang dari kampung lain di luar kampung tempat MCK itu berada.
Oleh Rochman Achwan ”universalisme” dimaknai ”ilmuwan tidak boleh berpihak kepada siapa pun dalam menentukan obyek penelitian(nya) dan bagaimana menelitinya”. Menurut saya, universalisme adalah anjuran untuk berusaha menemukan hal baru yang memiliki kebenaran rampat (general) atau semesta (universal). Dengan kata lain, benar di setiap saat dan di semua tempat, kapan saja dan di mana saja.
Memang ada yang berpendapat bahwa peneliti harus boleh menentukan obyek penelitiannya dan bagaimana menelitinya, serta bagaimana memilih metodenya dan alat-alat serta bahan-bahan yang akan dipakai dalam penelitiannya itu. Namun, ini bukan universalisme (dan tidak termasuk dalam keempat imperatifnya paradigma Merton). Pendapat itu berasal dari Paul Feyerabend (Filsuf Ilmu), dan ”tagline”-nya ialah ”Apa saja boleh” (anything goes).
Organized skepticism telah dijelaskan artinya oleh Rochman Achwan. Singkatnya, ilmuwan harus kritis dan tidak menelan begitu saja apa yang dinyatakan orang lain, tak peduli apakah dia ketua BRIN, atau Mendikbudristek, atau Presiden, atau seorang Nobel laureate, atau siapa pun dia. Menurut Karl Popper, pernyataan ilmiah harus terujikan (testable) alias tersangkalkan (falsifiable), artinya harus dapat diuji dan harus boleh disangkal dakuan (claim) kebenarannya.
Pernyataan ilmiah harus terujikan ( testable) alias tersangkalkan ( falsifiable), artinya harus dapat diuji dan harus boleh disangkal dakuan ( claim) kebenarannya.
Teori yang konklusi prediktifnya tidak terujikan alias tak tersangkalkan dinyinyiri dengan ungkapan ”salah saja tidak”. ”Nicht einmal falsch” Itulah yang dikatakan Wolfgang Pauli terhadap Teori Keseduaan Zarah-Gelombang (Particle-Wave Duality)-nya Louis V de Broglie sebelum kebenaran teori tersebut terkonfirmasi dalam eksperimen yang dilakukan Clinton Davisson.
”Not Even Wrong” bahkan dijadikan judul bukunya Peter Woit yang mengkritisi Teori Adidawai (Superstring Theory). Pada hal teori itu digadang-gadang untuk menjadi ”Teori Segala-galanya” (Theory of Everything, yang terkenal dengan singkatannya, yakni ”TOE”). Kita dapat memperkuat kenyinyiran Pauli dan Woit itu dengan menambahkan dua kata, sehingga lèdèkan mereka menjadi: “Salah saja tidak, apalagi benar” (Not even wrong, let alone right).
Karena itu, seperti dikatakan Rochman Achwan, hasil penelitian di bidang biomedis sebaiknya lolos saringannya mitra-mitra bestari (peer reviewers) yang bertindak sebagai ”penjaga palang pintu” jurnal ”top, seperti Lancet. Keempat imperatif yang disebut CUDO oleh Rochman Achwan itulah yang mengungkapkan ”paradigma Merton”. Robert K Marton ialah sosiologiwan pemerhati Filsafat Ilmu.
Pada hemat saya, ”Apa saja boleh”-nya Feyerabend itu lebih dialamatkan kepada profesor pembimbing penelitian seorang calon doktor, yang ”sok mahatahu”, dan mengharuskan anak bimbingannya itu menggunakan analisis statistik, memberikan definisi operasional pada semua peubah (variables)-nya dan sebagainya, dan seterusnya, ad absurdum. Dan, ketentuan sang profesor itu merupakan ”harga mati”.
Tanggung jawab sosial saintis dan kasus Terawan
”Intervensi politikus dalam kasus dr Terawan ….” Dalam artikel Rochman Achwan masuk di bawah subjudul ”Pincang dan kerdil”. Memang pernyataan itu ada kebenarannya. Namun, seperti CSR (corporate social responsibility) di dunia bisnis, ada juga tanggung jawab komunitas ilmiah (scientific community) dan para ilmuwan anggota komunitas itu kepada masyarakat. Mengapa ada tanggung jawab sosial saintis? Karena biaya penelitiannya berasal dari masyarakat pembayar pajak, manfaat atau mudarat penerapan hasil penelitian ilmiah itu juga ditanggung masyarakat, dan ilmuwan-peneliti itu diberi status yang terhormat oleh masyarakat. Ada ubi ada talas, ada budi harus dibalas.
Karena itu, meskipun pencabutan keanggotaan dr Terawan di IDI adalah wewenang IDI dan MKEK, publik mestinya boleh ikut bersuara kalau ada implikasi pemecatan itu kepada layanan publik, misalnya kalau karena pemecatan itu dr Terawan lalu dilarang berpraktik sebagai dokter spesialis radiologi. Kalau coute-que-coute pokoknya tidak boleh praktik sebagai dokter, biarkan Letjen (purn?) itu berpraktik sebagai tabib selama publik masih membutuhkan jasa pengobatannya.
L Wilardjo, Guru Besar (Em) Fisika dan Dosen Filsafat Ilmu di S-3