Pers tak hanya terancam dari luar, tetapi juga dari dalam diri pers itu, terutama terkait dengan pilihan politik.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik 2006 berbunyi, ”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”.
Penafsiran independen dalam ketentuan itu adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain, termasuk pemilik perusahaan pers. Selain mengingatkan pentingnya kemandirian, Kode Etik Jurnalistik menegaskan pula, wartawan Indonesia antara lain selalu menguji informasi, tak mencampurkan fakta dan opini, profesional, tak membuat berita bohong, dan tak menyalahgunakan profesinya.
Sebagian pesan dalam Kode Etik Jurnalistik itu menjadi relevan untuk diungkapkan saat ini ketika negeri ini memasuki tahun politik: menjelang Pemilu 2024. Dan, seperti diingatkan Presiden Joko Widodo pada perayaan Hari Ulang Tahun Ke-10 Forum Pemimpin Redaksi (Pemred), Jumat (5/8/2022), ”Teruslah menunjukkan komitmen dalam menjaga independensi dan kebebasan pers.” (Kompas, 6/8/2022)
Dalam acara bertemakan ”Memajukan Pers, Menyatukan Bangsa” itu, Presiden Jokowi juga mengakui, dalam perjalanan sejarah bangsa, pers berperan besar dalam membangun negeri. Pers juga vital sebagai pilar keempat demokrasi, dan mengajak media terus menjaga hak masyarakat mendapatkan informasi yang benar, menghadirkan pemberitaan yang berkualitas, serta memerangi hoaks dan fitnah yang memecah bangsa.
Menjaga bangsa ini dari perpecahan, terutama yang diakibatkan oleh perbedaan pilihan politik, memang tak mudah bagi kalangan pers. Kondisi itu dialami bangsa ini, misalnya dalam dua pemilu terakhir, tahun 2014 dan 2019, yang hanya menghadapkan dua pasangan calon presiden/wakil presiden. Pers adalah cermin publik. Saat masyarakatnya terbelah, pers dan pekerjanya, terutama jurnalis, juga terbelah dalam pilihan politiknya. Kemandirian pers tak bisa sepenuhnya terjaga.
Di negara ini, menegakkan independensi pers menjadi semakin tidak mudah, seperti menegakkan benang basah, sebab sebagian media dimiliki oleh pemimpin atau pengurus parpol. Tak sedikit pula wartawan yang terafiliasi dengan partai. Pers di dunia ini memang tak bisa dilepaskan dengan sejarah politik suatu bangsa, termasuk di Indonesia. Namun, saat menjadi entitas media, kemandirian itu harus dijaga sekuat tenaga.
Kini kemandirian pers kian sulit ditegakkan karena tak sedikit perusahaan pers yang dibelit persoalan bisnis gara-gara disrupsi digital dan pandemi Covid-19. Pendapatan usahanya turun dan tawaran untuk mendukung peserta pemilu makin terbuka. Model bisnis media pun berubah, mengikuti perkembangan masyarakat. Independensi dihadapkan pada kondisi media untuk tetap bertahan.
Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, 3 Mei 2011—lebih dari sebelas tahun lalu—Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengkhawatirkan, kemandirian pers tak hanya terancam dari luar, tetapi juga dari dalam diri pers itu, terutama terkait dengan pilihan politik. Kondisi itu masih sama hingga kini. Tak bisa lain, kalangan pers dan masyarakat harus bersama-sama, saling membantu, untuk menegakkan independensi itu.