Tumbangnya Perusahaan Rintisan dan Absennya Filsafat
Faktor utama tumbangnya perusahaan rintisan bukan semata terkendala masalah pendanaan, tetapi karena gagal menemukan first principle yang sangat penting dalam strategi pengambilan keputusan. Di sinilah peran filsafat.
Oleh
MUHAMMAD MUCHLAS ROWI
·5 menit baca
Transformasi digital yang didorong disrupsi ganda akibat revolusi industri dan pandemi telah memberi jalan terang bagi usaha-usaha rintisan (start-up) untuk muncul dan berlari membawa obor perubahan. Pola bisnis yang berubah cepat mengubah perilaku konsumen secara drastis.
Teknologi informasi yang mempunyai kekuatan disrupsi itu mengubah tatanan di berbagai sektor. Teknologi yang awalnya muncul sebagai solusi, dengan berjalannya waktu dapat menjadi problema pada masa berikutnya jika tidak diimbangi dialektika dalam proses penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Dialektika ini sering kali absen dalam sebuah transformasi, mengakibatkan bergugurannya perusahaan rintisan yang menjadi etalase dari proses-proses transformasi.
Meski terbilang baru, akselerasi perusahaan rintisan tumbuh amat pedat di Indonesia. Jumlah perusahaan rintisan Tanah Air merupakan yang terbesar terbesar kelima di dunia (start-up ranking, 2022). Sebanyak 2.347 perusahaan telah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi digital Tanah Air.
Sayangnya, setelah sempat booming mereka harus menghadapi musim gugur. Beberapa start-up, seperti STOQO, Qlapa, dan Beres.Id, terpaksa gulung tikar. Sementara ratusan lainnya mulai sempoyongan. Ini mengingatkan kita kepada kondisi pecahnya gelembung dotcom (bubble burst) di akhir dekade 1990.
Alarm kegagalan
Riset Forbes dan McKinsey (2021) sebetulnya sudah membunyikan alarm akan banyak perusahaan konvensional yang gagal melakukan transformasi. Persoalan pendanaan jadi sebab utama karena semakin besar skala bisnis yang digarap, semakin besar pula dana yang harus dibakar.
Menurut riset tersebut 90 persen perusahaan digital menemui kegagalan mengembangkan usahanya. Bahkan, 10 persen dari perusahaan rintisan gagal di tahun pertama, angka ini terbilang tinggi. Di semua industri, tingkat kegagalan start-up tampaknya hampir sama. Persentase kegagalan perusahaan rintisan sangat tinggi di tahun kedua hingga lima, persentasenya mencapai 70 persen, termasuk dalam kategori ini.
Persentase kegagalan perusahaan rintisan sangat tinggi di tahun kedua hingga lima, persentasenya mencapai 70 persen termasuk dalam kategori ini.
Kendati demikian, faktor utama tumbangnya perusahaan rintisan bukan semata terkendala masalah pendanaan. STOQO, misalnya, perusahaan yang memasok bahan makanan segar ke gerai-gerai makanan ini cukup berhasil mendapatkan aliran modal dari para pendana, seperti Alpha JWC Ventures, Mitra Accel, dan Indignia Ventures Partners. Namun, akhirnya, usaha yang dirintis dari bisnis jualan beras di Cipinang ini harus berhenti beroperasi pada 22 April 2020.
Begitu juga dengan perusahaan rintisan asal Malaysia, Kaodim. Ketika mulai beroperasi tahun 2017 sebagai entitas bisnis dengan nama Beres.id, perusahaan ini mendapatkan banyak guyuran dana dari perusahaan investasi asal Australia Square Peg Capital dan SIG Asia Investments. Namun, per 30 Juni 2022 akun dan data konsumen tiba-tiba dihapus pada laman FAQ Kaodim. Sehari kemudian Beres.Id mengumumkan penutupan usahanya.
Di era volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity (VUCA) para pelaku bisnis dalam mengembangkan usahanya secara sadar atau tidak, telah menjalankan first principle atau prinsip pertama dan utama, mulai dari sesuatu yang paling fundamental. Pendekatan ini sangat populer di Silicon Valley dan kerap digunakan sebagai strategi pengambilan keputusan.
First principle dicetuskan Aristoteles dalam kumpulan manuskrip Physic. Lewat teori ini, Aristoteles mengajak orang untuk belajar lebih banyak dengan memahami prinsip-prinsip dasar dari suatu subyek atau dikenal dengan frasa causa prima.
Ibarat mengupas bawang, first principle atau causa prima sejatinya dapat membantu kita membuka lapis demi lapis kulit bisnis hingga tersisa bagian inti. Kalau kita mengacu kepada pengalaman di Amerika, pada periode 1990-2000 di mana perusahaan-perusahaan yang berbasis digital itu persaingannya ekstrem, developed or dead, karena perusahaan-perusahaan memerlukan size tertentu untuk mencapai tingkat ke-ekonomisan. Teori first principle atau causa prima dapat menjawab asumsi-asumsi bisnis itu.
Peran filsafat
Hal yang perlu diingat, causa prima bukan hanya soal teori saintifik yang membuat bisnis hanya berjalan sebagai entitas yang mekanis. Causa prima merupakan disiplin ilmu filsafat, yang memungkinkan bisnis berjalan di atas relnya.
Untuk menjadi perusahaan yang tumbuh besar di era digital, kita perlu menggunakan pendekatan filsafat. Nama-nama beken, seperti Peter Thiel, Stewart Butterfiled, dan Reid Hoffman, yang merupakan lulusan terbaik filsafat menjadi jaminan bahwa disiplin ilmu perlu diperhitungkan untuk memasuki dunia bisnis.
CEO dan Founder Gather Teknologi Nicholas Miller menyebut sejumlah alasan kenapa para pebisnis butuh sokongan ilmu filsafat, bukan hanya akan melahirkan sebuah bisnis baru, melainkan juga membuatnya berkelanjutan.
Untuk menjadi perusahaan yang tumbuh besar di era digital, kita perlu menggunakan pendekatan filsafat.
Nicholas Miller berpendapat filsafat mengajarkan kita cara berpikir argumentatif. Ini merupakan keterampilan yang dibutuhkan dalam bisnis, apalagi saat berhadapan dengan calon investor. Filsafat juga membuat kita nyaman dengan ketidaknyamanan.
Dunia bisnis tak selalu hitam dan putih, tetapi bisa abu-abu atau penuh warna. Filsafat mengajarkan kita membaca ketidakpastian dan menyulapnya menjadi peluang.
Lebih dari itu, filsafat membantu kita mengendalikan emosi. Dunia bisnis terkadang mendorong kita larut dalam emosi berlebihan. Membawa kita masuk dalam labirin penuh jebakan. Filsafat membantu kita mengontrol emosi lalu menawarkan jalan keluar.
Transformasi berkelanjutan
Co-Founder PayPal, Peter Thiel, pernah menulis buku berjudul Zero to One. Kata dia di pengantar buku itu, ”Jika kita hanya meneruskan dan mereflikasi Microsoft, Facebook, Google, kita tak akan pernah bisa sebesar mereka”.
Oleh karena itu, saran Peter, untuk menciptakan sesuatu yang baru kita harus bergerak dari 0 ke 1. Kata dia, kita harus menciptakan sesuatu yang belum ada, unik, dan cepat. Seperti Elon Musk, sang penggagas Space X, Tesla, SolarCity, Hyperloop, Open AI, dan Neuralink.
Kita juga dapat mengambil contoh dari Sridhar Vembu yang menyulap Zoho Corporation perusahaan multinasional yang berbasis di India. Ia mampu menciptakan perangkat untuk membantu bisnis UMKM, mengembangkan usaha meski tanpa dukungan perusahaan pendanaan raksasa.
Baik Peter Thiel, Elon Musk, maupun Sridhar Vembu memiliki filosofi bisnis yang mau diejawantahkan. Sementara banyak usaha rintisan terjebak dalam ilusi kemajuan, lalu gagal menawarkan nilai tambah kepada para konsumennya.
Filsafat perlu turun ke akarnya, memetakan jalan transformasi dan bersama-sama membangun ekosistem yang mendukung kemajuan. Filsafat hadir sebagai perangkat guna membantu entitas bisnis menemukan first principle yang tak tergoyahkan. Agar transformasi digital yang kita lakukan bisa berkelanjutan dan tak berujung kegagalan.
Muhammad Muchlas Rowi, Lulusan Fakultas Filsafat UGM; Komisaris Independen PT Jamkrindo