Kisah manis usaha rintisan (”start up”) yang telah berlangsung bertahun-tahun menemui ujung. Kini, usaha rintisan harus bersiap menghadapi realitas baru, menghadapi investor yang kian cerewet menanyakan keuntungan.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Kisah manis usaha rintisan (start up) yang telah berlangsung bertahun-tahun menemui ujung. Mereka harus bekerja keras dan mengubah haluan.
Guncangan besar di usaha rintisan (start up) tahun ini yang ditandai dengan kasus penawaran saham perdana Uber yang tak sukses dan juga pembatalan rencana penawaran saham WeWork yang telah menyebabkan mereka tak fokus lagi pada pertumbuhan. Kini, usaha rintisan bersiap menghadapi realitas baru dan fokus pada jalan bisnis yang berkelanjutan.
Pembahasan mengenai realitas baru sudah dilakukan kalangan perusahaan teknologi yang berbasis di Silicon Valley, Amerika Serikat. Mereka memberikan perhatian pada masalah ini karena hanya dalam waktu singkat valuasi yang total mencapai 100 miliar dollar AS bisa lenyap begitu saja.
Uber yang berharap menaikkan valuasi hingga 100 milar dollar AS ternyata tak mampu mengerek valuasi pasca-penawaran saham. Harga sahamnya malah anjlok terus. WeWork yang tak jadi menawarkan saham, valuasinya turun dari 46 miliar dollar AS menjadi hanya sekitar 12 miliar dollar AS.
Realitas baru di dunia usaha rintisan yang perlu dihadapi adalah investor tak lagi royal. Beberapa pekan lalu sejumlah investor telah menyatakan hal ini.
Mereka tak lagi peduli dengan pertumbuhan valuasi, namun ingin mendalami peta jalan bisnis usaha rintisan yang tentu saja berujung pada keuntungan. Valuasi yang selama ini diagung-agungkan menjadi tak begitu penting bila tidak diikuti dengan pendapatan yang berkualitas.
Beberapa kalangan, seperti dikutip di dalam sebuah tulisan di The Wall Street Journal, mengomentari realitas saat ini. Ada yang menyebut sebenarnya keadaan usaha rintisan saat ini sudah luluk lantak (bubble burst) seperti kehancuran dotcom tahun 2000 di pasar privat (private market) sehingga tidak terlalu mengguncang pasar publik.
Investor mulai sangat hati-hati, meski sebenarnya ketakutan, untuk menanam modal di usaha rintisan. Ungkapan yang keluar, mereka ingin memastikan jalan bisnis usaha rintisan yang didanai. Ada juga yang membuat ungkapan, usaha rintisan berharap malam gelap segera berlalu. Pernyataan ini mewakili perasaan eksekutif usaha rintisan.
Meski demikian, ada yang tak sependapat dengan pernyataan yang pesimistis itu. Luluh lantak tahun 2000 terjadi karena orang yang tak jelas latar belakangnya langsung membeli saham perusahaan dotcom karena bermimpi mendapat keungungan cepat tanpa memahami bisnis itu secara mendalam. Orang yang hanya mendengar tren bisnis dotcom langsung membeli saham ini.
Koreksi—beberapa orang memilih istilah ini dibanding luluh lantak—pada usaha rintisan tahun ini adalah justru terjadi sebaliknya, orang mengambil langkah hati-hati ketika diketahui ada yang tidak beres.
Ada juga yang mengatakan bisnis dotcom luluh lantak karena mereka tidak memiliki bisnis riil alias hanya merupakan perusahaan teknologi. Sementara usaha rintisan yang ada merupakan perusahaan dengan bisnis riil, seperti transportasi, real estat, ataupun perdagangan barang.
Koreksi-koreksi yang tengah dilakukan akan membentuk realitas baru di dunia usaha rintisan. Secara umum, investor masih bersikap menunggu. Investor tetap ingin mencari peluang investasi di berbagai tempat, termasuk di usaha rintisan.
Mereka juga tetap menanamkan modal di beberapa usaha rintisan, tetapi dengan nilai yang kecil. Sangat mungkin ini merupakan langkah hati-hati mereka. Sempat ada kabar beberapa investor akan memotong pengeluaran mereka. Investor seperti ini mungkin panik menghadapi kejadian beberapa waktu lalu.
Realitas baru yang dihadapi usaha rintisan kemungkinan besar adalah investor tak lagi jor-joran mengeluarkan uang. Bahkan, investor minta agar usaha rintisan mengambil langkah mendapat untung secepatnya.
Situasi ini telah berbalik dibanding beberapa tahun lalu ketika usaha rintisan menikmati uang tunai yang mudah didapat dan pertumbuhan yang cepat. Oleh karena itu, mereka harus cepat-cepat memasuki fase untung karena uang tunai adalah raja dalam pengelolaan usaha rintisan.
Usaha rintisan juga akan menekan pengeluaran. Tidak mengherankan bila belakangan kerap terdengar pemutusan hubungan kerja di usaha rintisan. Uang tunai yang minim menyebabkan mereka harus memotong pengeluaran terutama biaya untuk pekerja.
Bila saja ada pengeluaran besar, investor akan menanyakan kapan dan dengan cara apa uang itu akan kembali. Pertanyaan ini sudah sangat berbeda dengan beberapa waktu lalu ketika mereka menanyakan pertumbuhan valuasi usaha rintisan. Di sisi konsumen mereka akan menghadapi kenyataan harga produk atau layanan yang tak murah lagi.
Usaha rintisan perlu mengantisipasi masalah ini. Konsumen yang berjenis menikmati ”bakar-bakar” uang mungkin akan lari, tetapi konsumen yang mengutamakan layanan bakal tetap berada di usaha rintisan itu meski harga naik. Usaha rintisan perlu menaikkan layanan hingga berkualitas premium agar konsumen tak lari.
Ekekutif usaha rintisan pasti mendapat tantangan yang tak mudah ketika harus menenangkan investor. Hingga awal tahun depan mungkin pekerjaan mereka adalah menenangkan ketakutan investor.
Investor mungkin akan makin sering menanyakan lebih detail soal target waktu usaha rintisan yang didanai memasuki fase untung. Investor bakal makin cerewet. Situasi sepertinya bakal mereda pada akhir tahun 2020 ketika beberapa usaha rintisan keluar dari persoalan uang tunai karena berhasil memasuki fase profit.