Pekerja Rentan Tanggung Jawab Siapa
Di Indonesia pekerja rentan masih sangat perlu perhatian. Mereka memiliki risiko tinggi dalam bekerja, upah minim, hanya cukup untuk kebutuhan makan dan minum, jauh dari standar layak hidup. Negara perlu hadir.
Ada yang menarik dalam perhelatan Konferensi Buruh Internasional yang diselenggarakan secara hibrida (daring dan luring) pada 29 Mei-11 Juni 2022.
Jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek) menjadi bahasan intens pada acara di Palais des Nations dan kantor pusat Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Geneva, Swiss.
Bukan suatu kebetulan jika Konferensi Buruh Internasional (ILC) memfokuskan diri pada isu pekerja rentan, karena tujuan untuk membangkitkan ekonomi secara global melalui kesejahteraan pekerja—khususnya ketersediaan jaminan sosial yang memadai—akan mendongkrak produktivitas tiap pekerja. Ini menjadi isu global yang masih menjadi tantangan, khususnya bagi kesejahteraan pekerja di Indonesia.
Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi delegasi resmi Indonesia, mewakili unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja pada ILC Ke-110 tahun 2022 ini. Penulis hadir sebagai observer.
ILC merupakan badan pembuat keputusan tertinggi ILO, berupa agenda tahunan yang mempertemukan delegasi tripartit (unsur pemerintah, pengusaha, dan pekerja) dari 187 negara anggota serta sejumlah pengamat dari berbagai organisasi internasional.
Di Indonesia pekerja rentan masih sangat perlu perhatian.
Dalam forum itu, Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan tergabung dalam General Discussion Committee (CDG): Decent Work and The Social and Solidarity Economy (Pekerjaan yang Layak dan Ekonomi Sosial dan Solidaritas); Recurrent Discussion Committee (CDR): Employment (Pekerjaan); General Affairs Committee (CAG): Occupational Safety and Health/OSH) (Keselamatan dan Kesehatan Kerja/K3); dan Standard Setting Committee (CN): Apprenticeships (Pemagangan). Keempat komite itu mengangkat isu perlindungan sosial bagi pekerja rentan.
Negara hadir
Di Indonesia pekerja rentan masih sangat perlu perhatian. Mereka memiliki risiko tinggi dalam bekerja, upah sangat minim, hanya cukup untuk kebutuhan makan dan minum, serba terbatas, jauh dari standar layak hidup. Pekerja rentan dikategorikan dalam dua golongan. Pertama, rentan secara sosial ekonomi, golongan miskin. Kedua, rentan karena risiko pekerjaannya. Bahkan ada golongan pekerja yang masuk keduanya, rentan secara sosial ekonomi dan jenis pekerjaannya.
Jika ada pekerja yang masuk keduanya, negara harus hadir untuk memberikan jaminan sosial. BPS merilis, berdasarkan Survei Ekonomi Nasional, persentase penduduk miskin pada September 2020 naik menjadi 10,19 persen, meningkat 0,41 persen dari Maret 2020 dan 0,97 persen dari September 2019. Jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebanyak 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang dibandingkan Maret 2020 dan 2,76 juta orang dibandingkan September 2019.
Sakernas 2018-2021 menyebutkan, persentase jumlah buruh/karyawan/pegawai yang upah/gaji sebulannya di bawah upah minimum provinsi (UMP) mencapai 49,67persen, dan di atas UMP 50,33 persen.
Dikutip dari Kompas (9/12/2021), lembaga riset Institute for Demographic Studies and Poverty memperkirakan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81 persen, setara 29,3 juta penduduk Indonesia. Dari jumlah angkatan kerja 140,5 juta sekarang ini, 74,14 juta bekerja di sektor informal.
Peran negara diperlukan untuk menjamin dan melindungi warganya. UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menjamin tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, dan Pasal 28H Ayat (3), setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Ada dua pendekatan dalam teori politik kesejahteraan, yaitu welfare state dan welfare society. Welfare state (negara kesejahteraan) kerap dijalankan dan jadi rujukan banyak negara. Di sini negara bertanggung jawab atas warga negaranya, menyejahterakan rakyatnya melalui pelayanan, bantuan, perlindungan, dan pencegahan masalah-masalah sosial.
Adapun welfare society (masyarakat sejahtera), jaminan sosial muncul dari inisiatif masyarakat atau jadi tanggung jawab individu dan komunal.
Secara konstitusi, Indonesia adalah welfare state, tapi faktanya, karena keterbatasan dan sumber daya yang dimiliki, Indonesia mengombinasikan dua pendekatan itu. Peserta jaminan sosial membayar iurannya sendiri, kecuali yang masuk daftar penerima bantuan iuran (PBI) yang iurannya ditanggung pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi, perlindungan sosial pekerja rentan di Indonesia dimungkinkan mengadopsi program PBI JKN ini.
Kebijakan afirmatif
Indonesia melalui UU No 40 Tahun 2004 mengatur Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No 24 Tahun 2011 mengatur Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan memiliki program JKN, jaminan perlindungan kesehatan di mana peserta memperoleh manfaat pemeliharaan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Fakir miskin dan orang tidak mampu masuk kelompok PBI yang iurannya dibayarkan pemerintah.
Dengan berbagai pertimbangan dan argumentasi, perlindungan sosial pekerja rentan di Indonesia dimungkinkan mengadopsi program PBI JKN ini. Saat ini, peserta BPJS Ketenagakerjaan, iurannya dibayarkan sebagian oleh perusahaan, sisanya bayar sendiri (mandiri). Di sini perlu dorongan terhadap upaya penyetaraan dalam konteks perlindungan jamsostek, di mana setiap pekerja yang ingin jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan memiliki akses yang sama seperti halnya peserta BPJS Kesehatan PBI.
Tentu saja dalam pelaksanaannya, konsep PBI Jamsostek ini harus betul-betul mempertimbangkan dengan cermat aspek eligibilitas, akurasi validitas data calon PBI, sehingga program ini tepat sasaran, tepat program, dan tepat manfaat—yang semuanya mengarah kepada peningkatan kesejahteraan pekerja dan produktivitas, serta daya saing bangsa.
Didie SW
Menyadari keterbatasan pemerintah untuk membayar PBI, perlu dirumuskan skala prioritas atau afirmatif program. Dibuat klusterisasi pekerja rentan yang padu dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), mulai dari tingkat kerentanan terendah, yaitu kemiskinan ekstrem. Di awal, untuk PBI pekerja rentan, prioritas utama diberikan kepada kluster kemiskinan ekstrem. Seiring meningkatnya kemampuan pemerintah, jumlah PBI pekerja rentan bertambah sesuai rentang kluster yang ada.
Pengadopsian pola PBI dalam program JKN ke dalam jamsostek, diikuti data akurat dan tepat sasaran, akan membawa manfaat seperti dalam teori pembangunan ekonomi (Michael Todaro, 2011), yaitu proses multidimensi yang melibatkan bermacam-macam perubahan mendasar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan lembaga nasional seperti percepatan pertumbuhan, pengurangan ketimpangan, dan penanggulangan kemiskinan.
Manusia (pekerja) berperan cukup besar dalam mewujudkan pembangunan ekonomi, yaitu sebagai tenaga kerja, input pembangunan, dan konsumen hasil pembangunan itu sendiri. Dengan jaminan perlindungan sosial, pekerja dapat lebih tenang dan produktif. Dengan kata lain, jamsostek memberikan ruang konstruktif bagi pekerja untuk bekerja lebih keras dan cerdas tanpa rasa cemas.
Muhammad Zuhri Bahri Ketua Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan