”Refocusing” anggaran untuk penanganan pandemi berdampak kepada rendahnya cakupan vaksinasi antirabies kepada hewan penular rabies. Padahal rabies merupakan penyakit mematikan, angka kematiannya mencapai 100 persen.
Oleh
ASEP PURNAMA
·6 menit baca
Sudah lebih dari dua tahun kita—warga global—bersatu padu melawan virus baru, SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi Covid-19. Selama pandemi, terdapat penurunan kasus penyakit selain Covid-19, baik yang menular maupun penyakit yang tidak menular. Hal ini disebabkan, antara lain, (1) pasien tidak mau mengunjungi fasilitas kesehatan karena takut tertular; (2) jenis pelayanan dibatasi, diutamakan untuk layanan yang bersifat darurat dan esensial; dan (3) sulit mengakses fasilitas kesehatan.
Faktor lain yang memperparah adalah adanya refocusing anggaran, yaitu re-alokasi dana pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk lebih mengutamakan penanganan Covid-19 sehingga dana kesehatan untuk penyakit selain Covid-19 menjadi berkurang. Akibatnya, sejumlah penyakit yang biasanya berkontribusi terhadap angka kesakitan dan kematian seolah-olah ”turun” selama pandemi Covid-19.
Terlebih lagi program kesehatan yang bersifat promotif dan preventif meskipun berperan sebagai ujung tombak kesehatan, mau tidak mau harus ditunda. Salah satu program yang terdampak adalah program pencegahan dan penanggulangan rabies.
Rabies adalah penyakit infeksi yang disebabkan virus rabies lyssavirus, yaitu virus yang hidup di jaringan saraf atau virus neurotropik, dan ditularkan oleh ”gigitan” hewan penular rabies (HPR), seperti anjing, kucing, dan monyet. Di jaringan otot dan ikat dari lokasi gigitan, virus ini memperbanyak diri dan melalui saraf perifer, virus ini akan naik ke sistem saraf pusat (otak).
Rabies memiliki masa inkubasi selama 2-12 minggu, tetapi bisa juga hingga setahun atau lebih. Masa inkubasi ini diikuti tiga fase gejala, yaitu fase prodromal, fase neurologis akut, dan fase koma.
Jika gejala neurologis akut sudah muncul, belum ada modalitas terapi yang mampu untuk menyembuhkan pasien rabies.
Saat fase prodromal, gejala tidak khas, seperti sakit kepala, mual, muntah, badan terasa lemah, sakit tenggorokan, dan demam. Setelah masuk fase kedua, yaitu fase neurologis akut, baru gejala klasik rabies muncul. Penderita cenderung gelisah, berhalusinasi, dan perilakunya berubah. Kelenjar keringat, kelenjar ludah, dan air mata menjadi lebih aktif. Pada fase ini mayoritas penderita akan mengalami takut air (hidrofobia) dan takut udara (aerofobia). Setelah fase ini berlangsung 2-7 hari, penderita berlanjut ke koma dan meninggal.
Saat ini, jika gejala neurologis akut sudah muncul, belum ada modalitas terapi yang mampu menyembuhkan pasien rabies. Angka kematian karena rabies mencapai 100 persen.
Namun, sudah terbukti bahwa rabies bisa dicegah dengan melakukan pencegahan pascapaparan (PPP). Setiap korban gigitan HPR, segera lakukan pencucian luka dengan sabun dan air mengalir selama 15 menit, kemudian diberikan vaksin antirabies (VAR) serta serum antirabies (SAR) jika ada indikasi.
Namun, PPP merupakan kegiatan yang bersifat reaktif. Untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan, dibutuhkan kegiatan pencegahan di pangkal permasalahan, yaitu dengan cara memberikan vaksin antirabies kepada semua HPR. Mengajak masyarakat pemilik HPR peduli akan kesehatan hewan peliharaannya.
Dibutuhkan kegiatan pencegahan di pangkal permasalahan, yaitu dengan cara memberikan vaksin antirabies kepada semua HPR.
Anjing menjadi fokus perhatian karena anjing merupakan hewan penular rabies paling dominan di dunia. Tidak berlebihan jika pernah ada tema hari rabies sedunia: anjing sehat keluarga selamat. Jadilah pemilik anjing yang bertanggung jawab.
Rabies di tahun pertama pandemi
Cakupan vaksinasi antirabies pada anjing di tahun pertama pandemi—tahun 2020—menurun drastis karena ada refocusing anggaran. Sebagian besar anggaran direalokasikan untuk upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Kasus anjing rabies masih terkendali karena cakupan vaksinasi anjing setahun sebelum pandemi masih mampu melindungi anjing dari penularan virus rabies.
Sebagian besar kita, khususnya anak-anak yang biasanya paling rentan tertular rabies, lebih banyak tinggal di rumah karena takut tertular Covid-19. Bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, dan berbagai aktivitas lainnya lebih banyak dikerjakan dari rumah secara daring sehingga sangat kecil kemungkinan pertemuan antara anjing rabies dan masyarakat.
Kasus gigitan anjing secara nasional pun menurun cukup bermakna, yaitu sekitar 20.000 gigitan dari 100.826 gigitan (tahun 2019) menjadi 82.634 gigitan (tahun 2020). Kematian rabies pada manusia secara nasional juga menurun drastis, dari 105 kematian pada tahun 2019 menjadi 40 kematian pada tahun 2020.
Rabies di tahun kedua pandemi
Di tahun kedua pandemi—tahun 2021—mulai banyak anjing yang tertular rabies akibat rendahnya cakupan vaksinasi antirabies terhadap anjing pada tahun pertama pandemi. Orang mulai jenuh tinggal di rumah saja. Ekonomi memaksa orang bekerja dan beraktivitas. Anak-anak sebagian sudah sekolah secara tatap muka langsung karena orangtua mulai kewalahan menjadi guru untuk anak-anaknya di rumah.
Peningkatan jumlah anjing rabies disertai dengan mulai keluarnya masyarakat dari rumah ”persembunyiannya” masing-masing mengakibatkan pertemuan antara anjing rabies dan manusia, dan terjadilah gigitan anjing. Korban mulai berjatuhan. Terjadi peningkatan lebih dari 50 persen angka kematian akibat rabies, dari 40 kematian secara nasional pada tahun 2020 menjadi 62 kematian pada tahun 2021.
Terjadi peningkatan lebih dari 50 persen angka kematian akibat rabies, dari 40 kematian secara nasional pada tahun 2020 menjadi 62 kematian pada tahun 2021.
Rendahnya angka kematian akibat rabies pada tahun pertama pandemi menyebabkan warga lupa akan upaya pencegahan pascapaparan. Sebagian korban gigitan anjing tidak segera mencari pertolongan ke Rabies Center terdekat sehingga akhirnya ajal menjemput sia-sia.
Ingat, rabies merupakan penyakit mematikan. Hanya dengan memberikan tata laksana gigitan HPR secara cepat dan tepat, yang mampu menyelamatkan kita. Jika sudah muncul gejala neurologi akut, tidak akan ada lagi yang mampu menyelamatkannya.
Rabies di tahun ketiga pandemi
Kasus Covid-19 menurun di tahun ketiga pandemi, tahun 2022. Masyarakat lebih leluasa bergerak dan beraktivitas. Vaksinasi Covid-19 juga membuat masyarakat lebih percaya diri untuk mulai melakukan aktivitas seperti sedia kala.
Peningkatan kasus rabies pada anjing—akibat cakupan vaksinasi masih jauh dari target—tidak diantisipasi, dan masyarakat sudah mulai dibebaskan beraktivitas seperti semula. Maka, di situlah bencana sesungguhnya terjadi. Anjing rabies bertemu warga, dan memakan korban.
Hanya dalam empat bulan (Januari-April 2022), sudah terjadi 20.938 gigitan anjing secara nasional. Jika tren empat bulan pertama ini berjalan terus, diprediksi sampai akhir tahun 2022 akan terjadi 4 x 20.938 gigitan, yaitu 83.772 gigitan anjing. Terjadi peningkatan gigitan HPR, dari 57.254 (2021) menjadi 83.772 gigitan pada tahun 2022.
Peningkatan kasus rabies pada anjing—akibat cakupan vaksinasi masih jauh dari target—tidak diantisipasi, dan masyarakat sudah mulai dibebaskan beraktivitas seperti semula.
Hanya dalam empat bulan (Januari-April 2022), sudah terjadi 19 kematian akibat rabies. Jika tren empat bulan pertama ini berjalan terus, diprediksi sampai akhir 2022 akan terjadi 76 kematian akibat rabies. Terjadi peningkatan kematian, dari 62 kematian (2021) menjadi 76 kematian di tahun 2022.
Mencegah kematian akibat rabies
Kita harus mencegah terjadinya skenario terburuk itu agar tidak terjadi peningkatan kematian karena rabies pada tahun 2022 ini. Bagaimana caranya?
Pertama, segera lakukan vaksinasi anjing (HPR), minimal 70 persen dari populasi HPR yang ada. Kedua, sosialisasi secara masif tata laksana gigitan HPR kepada masyarakat rentan dan petugas kesehatan. Ketiga, siapkan logistik, khususnya vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR). Jangan sampai terjadi kekosongan.
Sekali lagi, PPP merupakan tindakan untuk mengatasi permasalahan rabies di bagian hilir dan biayanya cukup mahal. Hanya untuk menyiapkan SAR bagi korban kasus gigitan HPR diperlukan biaya sekitar Rp 5 juta per orang dengan berat badan 45 kilogram.
Jika kita mau mencegah penularan rabies, kita perlu lebih fokus mengatasi permasalahan rabies di bagian hulu yang berbiaya relatif lebih murah, yaitu upaya vaksinasi HPR secara serentak dengan cakupan minimal 70 persen dari populasi. Tentu diperlukan kerja sama semua pihak terkait (One Health) untuk mewujudkan Indonesia Bebas Rabies 2030.
Semoga kita semua lebih peduli dan bisa mengantisipasi agar tidak terjadi peningkatan korban sia-sia karena rabies di Indonesia tercinta. Tetap semangat. Bersama kita bisa.
Asep Purnama, Sekretaris Komite Rabies Flores Lembata; PNS, Bekerja di RSUD TC Hillers Maumere