Endemi Rabies di Tengah Pandemi Covid-19
Ketika banyak beraktivitas di rumah akibat pandemi Covid-19, risiko kesehatan manusia semakin besar karena rentan tertular rabies dari hewan peliharaan.
Rabies adalah penyakit menular yang ditularkan oleh hewan (zoonosis). Penyakit ini bisa diatasi melalui vaksin, tetapi tetap berbahaya dan karena masih banyak menelan korban manusia di seluruh dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 59,6 persen kematian manusia akibat rabies yang ditularkan oleh anjing terjadi di kawasan Asia. Sementara di kawasan Afrika, kasus serupa berkontribusi hingga 36 persen kematian penduduk. Masih merujuk WHO, rabies tercatat sebagai penyebab kematian kelima terbesar di sini setelah AIDS, tuberkolosis (TB), hepatitis A dan B.
Artinya, penyakit anjing gila ini dinilai menjadi salah satu problem kesehatan yang serius. Sedemikian seriusnya, hingga Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengeluarkan seruan bersama ke negara-negara dan organisasi untuk mengeliminasi penyakit ini dengan target nol kasus di tahun 2030.
Menurut OIE, penyakit ini kerap terabaikan di sejumlah negara tropis (neglected tropical disease), terutama di pelosok perdesaan yang padat penduduk. Banyak kasus yang terjadi lebih karena ketersediaan fasilitas kesehatan yang tidak memadai, termasuk penyediaan fasilitas diagnostik dan surveilans yang baik.
Korban meninggal dunia, khususnya anak-anak usia 5-14 tahun, sering tidak dilaporkan sehingga pemetaan kasus penyakit ini kerap menyulitkan dinas kesehatan setempat. Masalah pendataan dan penyediaan berbagai sarana penanganan rabies juga menjadi fokus perhatian Indonesia yang tertuang dalam Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies (MNPR) tahun 2019.
Baca juga : Rabies, Penyakit yang Terabaikan
Kerugian ekonomi
Menurut WHO, kondisi demikian bisa menjadi beban ekonomi yang cukup besar. Perhitungan kasarnya, biaya pengobatan dasar rabies satu orang untuk pemberian prophylaxis (tahap pertama setelah ada luka gigitan untuk mencegah meluasnya infeksi), sekitar Rp 1,6 juta. Setiap tahun, diperkirakan sekitar 29 juta penduduk harus menerima vaksinasi pascakejadian (post-bite vaccination).
Secara global, biaya ekonomi untuk penanganan penyakit ini sekitar 8,6 juta dollar AS. Ini belum termasuk anggaran pencegahan penularan yang juga membutuhkan biaya besar. Contohnya, di Amerika Serikat, alokasi dana untuk keperluan ini sekitar 300 juta dollar AS, dengan sebagian besar terpakai untuk vaksinasi, terutama anjing.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut MNPR, sampai sekarang belum ada laporan lengkap dan menyeluruh tentang kerugian akibat rabies. Yang jelas, ada dua provinsi yang hingga kini masih tinggi kasusnya, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bali. Pada NTT, kerugian ekonominya (sepanjang 1998-2007) diperkirakan Rp 14,2 miliar rupiah per tahun, sedangkan Bali (2008-2011) sekitar Rp 230 miliar rupiah.
Selain dampak ekonomi, yang juga memprihatinkan adalah keresahan masyarakat, turunnya minat wisatawan, dan hilangnya waktu produktif untuk bekerja akibat sakit maupun berkurangnya tenaga kerja karena korban meninggal.
Baca juga : 26 Provinsi Endemis Rabies
Risiko Covid-19
Manusia juga berisiko tertular Covid-19 dari hewan penular rabies (HPR). Ketika pandemi itu mulai menyeruak, riset tentang penularan virus SARS CoV-2 dari hewan berdarah panas ke manusia juga banyak dilakukan.
Namun, untuk sementara, para ahli menyimpulkan bahwa hewan berdarah panas tidak menularkan virus ke manusia, tapi justru sebaliknya. Kasus pertama satwa yang terinfeksi Covid-19 adalah harimau di Kebun Binatang Bronx, New York, Amerika Serikat (AS) awal April lalu. Nadia, sang harimau itu, diduga tertular seorang petugas di kebun binatang tersebut.
Kasus-kasus serupa rupanya terus berkembang di sejumlah negara pada jenis binatang lain, seperti singa, anjing, kucing, cerpelai, dan monyet. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) bersama Departemen Pertanian AS (USDA) dan sejumlah lembaga lain terus melakukan surveilans pada hewan yang tertular sekaligus meneliti apakah mereka juga mengembangkan antibodi.
Sejauh ini tak ada kasus hewan yang mati akibat virus SARS-CoV-2. Walaupun begitu, dalam rilis resminya pada 3 Juli 2020, OIE tetap menyatakan pentingnya monitoring infeksi pada hewan tertular Covid-19. Hal ini tetap penting dilakukan guna mengetahui siginifikansi epidemiologi, khususnya pada kesehatan manusia di sekitarnya.
Penegasan OIE sesuai dengan salah satu peraturan dari lembaga tersebut, terkait Terrestrial Animal Health Code. Ketentuan tersebut menjelaskan standar dunia mengenai kesehatan hewan, termasuk dampak dari penularan virus SARS-CoV-2.
Baca juga : Harimau di New York Positif Covid-19
Minimnya vaksin rabies
Perang melawan pandemi sekarang diwarnai oleh persaingan membuat vaksin Covid-19. Menurut WHO, ada sekitar 169 kandidat, baik industri, lembaga penelitian, maupun lembaga medis, yang intensif meriset dan bereksperimen, termasuk pada manusia, untuk menghasilkan vaksin itu.
Di tengah suasana demikian, kebutuhan vaksin rabies menjadi terabaikan. Hal ini telah terjadi di China pada akhir Juli 2020.
Masalah rabies di ”Negeri Panda” itu rupanya begitu serius. Populasi anjing dan kucing di China sangat tinggi, yakni 90 juta ekor. Namun, kualitas kesehatan hewan tersebut terbilang memprihatinkan.
Anjing yang terdaftar telah divaksinasi rabies hanya sekitar 20 persen populasi. Pada 2018, WHO menyatakan bahwa destinasi wisata di China berisiko akan bahaya rabies.
Warga setempat juga mulai resah akan kondisi tersebut karena berkurangnya stok vaksin rabies selama Mei hingga Juni lalu. Laman Global Times edisi 27 Juli 2020 memberitakan, Rumah Sakit Shijiazhuang mengakui kekurangan vaksin rabies. Shijiazhuang tercatat sebagai rumah sakit nomor lima terbaik di Provinsi Hubei, China utara.
Kondisi penyediaan vaksin rabies yang mirip dengan China juga dialami India. Selain tingginya jumlah korban, banyak kasus yang tidak dilaporkan, sarana kesehatan di India tidak mempunyai vaksin rabies memadai. Tenaga kesehatan di India pun banyak yang belum memahami protokol penanganan rabies.
Baca juga : Vaksinasi Menjadi Kunci Penyelamatan
Pemetaan populasi
Pandemi Covid-19 ditambah endemi rabies yang terjadi di China dan India mengingatkan pentingnya pembenahan penganggulangan rabies di Indonesia. Hal ini bisa dimulai dari hal yang paling dasar dan penting untuk sebuah negara, yaitu sensus atau pemetaan populasi HPR.
Hal tersebut sudah mulai dicoba sejak tahun 2016. Salah satu daerah yang menjadi percontohan adalah Provinsi DKI Jakarta, yang sejak 2004 dinyatakan bebas rabies sampai sekarang.
Pendataan HPR di Ibu Kota diatur melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 199 Tahun 2016. Pasal 24 peraturan tersebut menyebutkan, setiap pemilik anjing peliharaan wajib memasang microchip.
Idealnya, setelah terpasang cip, data sang hewan akan disimpan di klinik-klinik hewan, yang kemudian dikirim ke suku dinas (sudin) Ketahanan Pangan Kelautan dan Pertanian (KPKP) setempat.
Jika ini berjalan lancar, data anjing peliharaan akan masuk ke basis data Sistem Informasi Kesehatan Hewan (iSIKHNAS). Hal ini berguna untuk melacak berbagai situasi, mulai dari penyakit, perdagangan, dan lalu lintas hewan antarwilayah.
Sayangnya, hal tersebut belum terlaksana maksimal. Baru sebagian kecil warga yang mau melakukannya, itu pun masih terus bergantung pada sosialisasi pemerintah melalui program vaksinasi gratis dari sejumlah pendekatan aparat suku dinas setempat.
Menurut standar penanganan rabies dunia, begitu vaksinasi mencapai 70 persen, berarti rabies bisa dikontrol, termasuk mengurangi kasus kematian. Walaupun begitu, kontrol yang ketat harus terus berjalan.
Begitu pula vaksinasi ulang yang seharusnya rutin berjalan. Vaksinasi ulang minimal 25 persen dari populasi anjing, diikuti dengan pengawasan mobilitas hewan dari luar daerah yang berisiko menularkan penyakit tersebut. Pada akhirnya, besarnya risiko endemi rabies memerlukan penanganan komprehensif bersama dengan Covid-19 yang kini menjadi pandemi. (LITBANG KOMPAS)