Pekan lalu ”Kompas” menurunkan laporan bertema pembiayaan pendidikan tinggi. Kesenjangan kemampuan finansial orangtua untuk membiayai studi membesar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
ERIKA KURNIA
Suasana Universitas Terbuka (UT) Periode I Wilayah 3, 2018/2019, di UT, Tangerang Selatan (27/11/2018). Sebanyak 2.100 mahasiswa UT program magister, sarjana, dan diploma diwisuda.
Sebelum laporan itu terbit, di kalangan pengelola pendidikan tinggi sudah terdengar kekhawatiran bahwa pandemi yang berlangsung lebih dari dua tahun telah mengikis kapasitas finansial orangtua sehingga susut pula kemampuan untuk mengirim anak-anak mereka ke perguruan tinggi.
Kekhawatiran di atas masuk akal. Namun, tidak sedikit pula universitas yang meluncurkan program empati untuk memberikan kesempatan kepada lulusan SMA untuk melanjutkan studi ke universitas melalui program beasiswa, serta keringanan pembiayaan uang masuk dan uang kuliah. Hal ini juga ditawarkan kepada mahasiswa yang sudah kuliah, tetapi di tengah jalan orangtua kesulitan untuk melanjutkan pembiayaan.
Kita mengetahui bahwa di luar masalah aktual, seperti adanya pandemi, dunia pendidikan tinggi sebenarnya juga sedang menghadapi guncangan (disrupsi) yang disebabkan oleh meluasnya aplikasi teknologi digital di pendidikan tinggi dan adanya perubahan dalam persyaratan kerja yang diterapkan oleh dunia industri.
Misalnya saja tuntutan baru yang disebabkan oleh adanya penggunaan teknologi Revolusi Industri 4.0, juga penekanan pada kompetensi dan skill lulusan yang mencari kerja, hal yang mereduksi makna ijazah.
Mahasiswa mengikuti upacara penerjunan peserta kuliah kerja nyata pembelajaran pemberdayaan masyarakat di halaman Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (24/6/2022). UGM menerjunkan 6.247 mahasiswa yang akan melaksanakan program di 228 unit KKN di 28 provinsi. KKN UGM kembali diselenggarakan secara luring hingga 13 Agustus 2022 setelah diselenggarakan secara daring karena pandemi.
Semua itu boleh jadi meningkatkan kebutuhan investasi untuk laboratorium dan prasarana pendukung lain. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat universitas untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada generasi muda Indonesia untuk dapat melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang universitas.
Seperti disampaikan oleh Prof Nizam, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, pendidikan tinggi tidak hanya menghasilkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga meningkatkan intelektualitas, wawasan, kreativitas, soft skill, dan kepemimpinan yang akan berguna bagi mahasiswa untuk bekal masa depannya (Kompas, 29/7/2022).
Sebagai tambahan, kata dosen Universitas Gadjah Mada Gumilang Aryo Sahadewo, banyak imbal balik nonfinansial yang didapatkan dari upaya melanjutkan studi ke universitas ketimbang hanya berijazah SMA atau SMK.
LARASWATI ARIADNE ANWAR
Suasana wisuda Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat, Sabtu (1/2/2020).
Secara ideal, memang seperti itu, tetapi meski anggaran pendidikan di Indonesia mencapai 20 persen dari APBN (tahun 2022 nilainya Rp 621,3 triliun), faktanya dunia pendidikan di Indonesia masih banyak tantangan, pertama dalam hal pemerataan, dan kedua dalam hal kualitas.
Dari sekitar 25 juta siswa SD yang bisa melanjutkan ke SMP, jumlahnya susut menjadi 10 juta, lalu susut menjadi 5 juta di jenjang SMA, dan yang bisa terus ke perguruan tinggi tinggal 1,8 juta. Jumlah inilah yang menurut laporan khusus Kompas menghadapi kendala pembiayaan.
Tentu kita mendukung upaya untuk bisa mengatasi problem pendanaan yang ada. Namun, pada sisi lain, otoritas pendidikan tinggi juga perlu mengatur bidang studi mana yang perlu kita beri prioritas.