Kita tengah berhadapan tidak hanya dengan kekuatan formalisasi agama di ruang publik, tetapi juga gejala rezimintasi agama oleh kelompok keagamaan. Karena itu, kita perlu mencoba hidup dalam kerangka negara pasca-agama.
Oleh
ZULY QODIR
·5 menit baca
Indonesia telah dideklarasikan sebagai negara berdasarkan Pancasila. NKRI bukan negara agama. Oleh sebab itu, tidak semestinya agama tertentu menjadi paling dominan dalam negara ini, apalagi kelompok keagamaan merasa paling berhak menjadi idola di hadapan kekuasaan politik. Jika hal ini terjadi, sebenarnya telah menusuk robek bangunan negara yang telah disepakati bersama para pendiri bangsa.
Dalam bangunan negara Pancasila, semua agama, aliran kepercayaan, dan keyakinan yang ada posisisinya setara di hadapan konstitusi. Tidak ada yang boleh mendaku sebagai kelompok keagamaan paling memberikan kontribusi atas negara ini sehingga berhak mendapatkan keistimewaan-keistimewaan dalam ruang-ruang politik kekuasaan.
Jika terjadi keinginan yang kuat untuk senantiasa menempatkan kelompok lain dalam masyarakat agama sebagai lawan, sebenarnya hal semacam itu dapat dikatakan telah bersinggahnya nafsu-nafsu kuasa yang akan menelikung spirit profetik agama. Tindakan semacam ini, oleh Benedict Anderson, dikatakan sebagai tindakan yang secara keras dikuasai oleh nafsu-nafsu pribadi.
Hal itu telah pula menghilangkan laku pertapa yang mulia, laku para kiai yang saleh karena telah dikuasai oleh syahwat Rahwana. Agama telah dijadikan kendaraan untuk meraih kekuasaan. Namun, mereka menikmatinya.
Dalam tradisi profetik keislaman, para ulama, kiai, santri, dan kaum saleh itu semua berada dalam posisi penjagaan kesucian misi keislaman. Mereka mampu keluar dari gemuruh gebyar duniawi yang dapat menipu kehidupan yang jauh dari kemuliaan. Mereka semua bagaikan titisan para pertapa yang menjadi representasi para kritikus rezim kekuasaan. Bukan menjadi bagian yang sangat kuat dari kekuasaan yang menggiurkan.
Namun, saat ini, di negara kita, kondisi para kaum saleh, ulama, kiai, santri, lebih memilih menerjunkan diri pada kekuasan. Bahkan, mereka dengan bangga mendikte negara dengan pelbagai kehendak politik yang dikonstruksikan sebagai agama negara.
Kekuasaan benar-benar dimasuki secara terang benderang untuk kemudian ”menghukum” mereka yang berada di luar kekuasaan. Kekuasaan menjadi ajang untuk menyudutkan pihak lain yang tidak sejalan dengan kehendaknya.
Tentu saja tidak semua mendapatkan kenikmatan kekuasaan. Hanya mereka kaum Brahmana dan borjuasi agama yang mendapatkan. Sementara kaum sudra dalam agama tetap menderita dan tidak kebagian.
Namun, saat ini, di negara kita, kondisi para kaum saleh, ulama, kiai, santri, lebih memilih menerjunkan diri pada kekuasaan.
Jika hal itu terus dibiarkan oleh negara, yang akan terjadi di negeri ini tidak lain adanya ”akuisisi keagamaan” oleh kelompok yang masuk ke dalam kekuasaan. Mereka yang tidak mendapatkan ruang untuk masuk dalam arena kekuasaan ditempatkan sebagai ”musuh negara”.
Negara pada akhirnya tunduk pada kuasa keagamaan yang mendikte dengan pelbagai kebijakan tanpa keterlibatan banyak pihak di negara ini. Sungguh sangat mengerikan dan mengganggu keagamaan yang majemuk.
Kasus penentuan awal bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha merupakan contoh paling nyata di Indonesia. Betapa kekuatan politik kelompok keagamaan mampu mendikte negara sehingga mereka yang tidak menjalankan keputusan yang telah dibuat, dikonstruksikan sebagai ”musuh negara”.
Kelompok keagamaan menyebarkan diksi-diksi yang mengarah pada polarisasi umat beragama (Islam) dengan keputusan yang dibuat. Negara pun sebagai institusi tidak sanggup mengontrol karena aparatur negara menjadi bagian dari kepentingan kekuasaan berbasiskan agama tersebut.
Beragama di bawah naungan syahwat Rahwana sebenarnya merupakan penjelmaan paling nyata dari adanya rezimintasi agama. Jika hal itu terus berulang dan berlangsung, akan terjadi posisi yang saling berhadap-hadapan antara kelompok agama rezim dan nonrezim.
Mereka yang menjadi bagian dari kekuasaan akan terus menekan mereka yang berada di luar kekuasaan. Mereka yang menjadi bagian kekuasaan akan meraup kenikmatan politik dari praktik-praktik politik menggunakan agama. Sedangkan lawan politiknya akan menderita untuk satu sampai dua periode kekuasaan.
Oleh sebab itu, kita tengah berhadapan bukan hanya dengan adanya kekuatan formalisasi agama di ruang publik, melainkan sedang berhadapan dengan adanya gejala rezimintasi agama oleh kelompok keagamaan. Rezimintasi agama akan menjelma semakin kuat sehingga berakhir pada adanya penguasaan makna agama di ruang publik.
Jika hal ini terjadi di Indonesia, hubungan sosial antarkelompok keagamaan, utamanya Muhammadiyah-NU, akan retak. Persoalan rezimintasi agama sebenarnya bersumbu pada adanya kehausan politik kekuasaan. Bahkan, bisa jadi karena adanya keinginan ”balas dendam” politik.
Negara pasca-agama
Dengan terjadinya gejala kuat rezimintasi agama, kita perlu mencoba hidup dalam kerangka negara pasca-agama-agama (religions post state) sehingga memungkinkan menghadirkan praktik-praktik keagamaan yang lebih humanis, adil, dan transformatif.
Gagasan negara pasca-agama dapat kita katakan sebagai bangunan paling mutakhir dari masyarakat pascasekuler, yang pernah digagas oleh Bryan S Turner. Masyarakat pascasekuler sejatinya merupakan konstruksi masyarakat beragama yang lebih santun, cerdas, beradab, dan adil.
Oleh sebab itu, masyarakat pascasekuler merupakan konstruksi masyarakat yang saleh dalam beragama. Masyarakat yang mampu memilah antara keinginan-keinginan politik kekuasaan dalam ranah keagamaan dan keimanan otentik.
Masyarakat pascasekuler sejatinya merupakan konstruksi masyarakat beragama yang lebih santun, cerdas, beradab, dan adil.
Itulah yang sekarang kita butuhkan hadirnya negara pasca-agama. Negara yang tidak didikte oleh kekuatan kelompok keagamaan di ruang publik. Tidak ada keputusan negara yang hanya mengakomodasi kekuatan salah satu kelompok agama, kemudian dijadikan keputusan resmi negara. Jelas hal ini jika terjadi, kita bukan saja jauh dari panggang mengharapkan lahirnya misi profetik keagamaan, melainkan malah terjadinya kehancuran agama di ruang sosial.
Kita perlu menumbuhkan keagamaan yang benar-benar saleh, humanis, menghargai sesama kelompok keagamaan, menciptakan ruang dialog dengan mereka yang berada di luar kekuasaan. Tidak dapat dibenarkan jika kelompok keagamaan menciptakan konstruksi bahwa mereka yang menolak keputusan yang telah dibuat oleh negara dianggap sebagai tidak mencintai, memberontak, dan melawan negara. Biarkan keragaman kelompok keagamaan tetap hadir di Indonesia. Jadikan perbedaan kelompok keagamaan sebagai rahmat Tuhan untuk kita semua.
Pada akhirnya, lahirnya pikiran-pikiran yang kritis atas kelompok keagamaan perlu dihadirkan sehingga negara ini tidak berada pada jurang keterpurukan nilai-nilai kemanusiaan yang dijiwai agama. Kita tidak dapat menunggu lahirnya para messiah untuk menyelamatkan kehancuran agama di Indonesia. Namun, yang kita butuhkan saat ini adalah lahirnya para penganut agama yang kritis terhadap kelompoknya, pada keimanannya, pada kepercayaan, keyakinan, dan praktik-praktik yang selama ini telah dianggap baku.
Saat ini perubahan sosial telah begitu nyata adanya di depan mata. Krisis kemanusiaan, etika, dan teladan benar-benar menjadi hantu di hadapan kaum beragama. Beragama, tetapi menakutkan.
Oleh karena itu, menghadirkan wacana dan praktik keagamaan yang mampu ”menjauhkan syahwat Rahwana” tidak dapat ditunda-tunda. Kita membutuhkan lahirnya keagamaan yang rendah hati, mampu menjaga kesucian keimanan.
Kita tidak membutuhkan kerakusan beragama. Oleh sebab itu, kita harus berpikir dan bekerja untuk menjauhkan terjadinya praktik rezimintasi agama di ruang publik karena sungguh menghkawatirkan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dalam keragaman Indonesia.
Zuly Qodir, Sosiolog; Dosen Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta