Mendongkrak Kontribusi PDB Perikanan
Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB nasional masih minim, hanya 2,8 persen. Selain nilai investasi sektor perikanan juga sangat minim, arsitektur data utama perikanan tangkap juga harus dibenahi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 22 Januari 2022 menyatakan, 62 persen wilayah Indonesia berupa laut, tetapi kontribusi ekonomi produk domestik bruto sektor kelautan dan perikanan sangat kecil, hanya 2,8 persen. Bahkan, disoroti juga, pangsa pasar ekspor hasil perikanan dalam perdagangan dunia hanya 3,5 persen.
Pada 29 Maret 2022, Menteri Keuangan kembali meminta Menteri Kelautan dan Perikanan untuk bisa membenahi sistem perikanan Indonesia agar dapat berkontribusi terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP) karena Indonesia sebagai negara kepulauan didominasi laut sehingga sudah semestinya kontribusi dari perikanan meningkat.
Kemudian, pada 28 Juni 2022, Sri Mulyani kembali menyoroti sektor kelautan dan perikanan yang kontribusinya kecil dalam menyumbang PNBP ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Indonesia itu isinya hutan sama perikanan, tetapi kontribusi sektor kelautan perikanan ke produk domestik bruto (PDB) is almost nothing.
Baca Juga: Polemik Kebijakan PNBP Perikanan
Cara menghitung nilai PDB perikanan yang digunakan selama ini atas dasar harga konstan (ADHK) untuk mengukur laju pertumbuhan konsumsi, investasi, dan perdagangan luar negeri. Adapun rumus PDB yang paling banyak digunakan adalah metode pengeluaran dengan menjumlahkan total pengeluaran konsumsi rumah tangga (C) total Investasi (I), total pengeluaran pemerintah (G), serta selisih ekspor dan Impor (X-M).
Realisasi pertumbuhan PDB perikanan dijadikan salah satu indikator kinerja utama KKP yang jika dihitung rata-rata pertumbuhan PDB perikanan periode 2014-2021 sebesar 3,99 persen, sedangkan realisasi pertumbuhan PDB tertinggi tahun 2015 mencapai 7,89 persen.
Di sisi lain, realisasi pertumbuhan PDB terendah terjadi pada 2020 sebesar 0,73 persen atau hanya mencapai 9,24 persen dari target yang ditetapkan Renstra (Rencana Strategis) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yaitu 7,9 persen. Pertumbuhan PDB 2021, walaupun meningkat menjadi 5,45 persen, persentase pencapaiannya hanya 62,57 persen dari target Renstra KKP sebesar 8,71 persen.
Jika mengacu kepada angka laju pertumbuhan PDB kelautan dan perikanan sebenarnya relatif cukup tinggi dibandingkan dengan sektor lain, bahkan realisasi pertumbuhan rata-rata PDB perikanan periode 2000-2021 mencapai 5,5 persen. Namun, yang perlu ditelaah lebih jauh, mengapa pertumbuhan PDB kelautan dan perikanan yang cukup tinggi ini kontribusinya sangat minim terhadap PDB nasional sehingga kurang bermanfaat sebagai indikator kinerja utama sektor kelautan dan perikanan.
Justru komponen investasi dalam PDB perikanan multiplier effect-nya lebih signifikan dalam mendorong peningkatan produksi dan ekspor hasil perikanan. Namun, ironisnya nilai realisasi investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) ataupun penanaman modal asing (PMA) sektor perikanan faktanya masih sangat minim.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, dari tahun 2014 sampai 2021 realisasi nilai investasi PMDN di sektor perikanan hanya Rp 2,24 triliun atau hanya 0,09 persen dibandingkan dengan nilai investasi seluruh sektor. Begitu pula realisasi nilai investasi PMA relatif minim, total hanya 334 juta dollar AS atau kurang dari Rp 5 triliun selama 8 tahun, sangat jomplang dibandingkan dengan anggaran yang dikeluarkan KKP.
Nilai realisasi Investasi penanaman modal dalam negeri ataupun penanaman modal asing sektor perikanan faktanya masih sangat minim.
Realisasi investasi PMDN triwulan I-2022 sebesar Rp 140 miliar turun 26,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2021 yang sebesar Rp 191 miliar. Bahkan, realisasi investasi PMA sektor perikanan periode yang sama 1,208 juta dollar AS, merosot drastis 76,9 persen dibandingkan dengan tahun 2021 yang mencapai 5,164 juta dollar AS.
Minimnya realisasi nilai investasi sektor perikanan tecermin pula dalam peringkat BKPM di mana sektor perikanan selalu terseok-seok di peringkat terbawah atau kedua terbawah dari 23 sektor. Realisasi investasi dan peringkat sektor perikanan sangat memprihatinkan sekaligus menggambarkan secara riil sejauh mana perkembangan investasi sektor perikanan sehingga sangat wajar Menteri Keuangan mengeluhkan minimnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional yang kontradiksi dengan potensi sumber dayanya dibanggakan setinggi langit.
Meluruskan nilai produksi perikanan
Dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR dengan KKP kerap kali nilai produksi perikanan Rp 224 triliun dibandingkan dengan minimnya nilai perolehan PNBP yang berasal dari usaha penangkapan izin pusat yang hanya Rp 600 miliar atau hanya 0,26 persen. Maka, ada tuduhan bahwa korporasi atau segelintir pemilik kapal penangkap ikan menikmati keuntungan yang fantastis dengan menguras sumber daya ikan.
Untuk menilai secara obyektif kebenarannya, sebaiknya nilai produksi perikanan diverifikasi dengan mengaitkannya dengan arsitektur data utama perikanan tangkap. Jumlah kapasitas GT (gross tonnage) kapal penangkap ikan izin pusat ukuran 30 GT ke atas hanya 450.000-550.000 GT. Jika dikalikan dengan angka produktivitas rata-rata satu, dan dikalikan asumsi harga patokan ikan rata-rata Rp 15.000, nilai produksi perikanan yang berasal dari izin pusat (yang dikeluarkan KKP) diperkirakan tidak akan lebih dari Rp 8,5 triliun. Oleh karena itu, sangat keliru membandingkan PNBP izin pusat dengan nilai produksi perikanan yang Rp 224 triliun.
Baca Juga: Neoliberalisme Perikanan Terukur
Jika dibandingkan dengan kapasitas GT nasional (izin pusat plus provinsi plus BPKP), jumlahnya kurang dari 1 juta GT sehingga sangat absurd dengan total kapasitas GT tersebut dapat menghasilkan produksi perikanan tangkap laut sebanyak 7,48 juta ton pada 2021.
Kekeliruan ini harus segera diakhiri dengan melakukan verifikasi data hasil tangkapan yang riil yang berasal dari kapal penangkap ikan izin pusat, bukan berdasarkan asumsi yang tidak masuk akal.
Target kuota penangkapan ikan terukur untuk izin industri yang semula 4,89 juta ton sempat direvisi beberapa kali, yang teranyar menjadi 5,99 juta ton. Target kuota ini bahkan lebih rendah dibandingkan dengan volume produksi perikanan tangkap laut yang sudah mencapai 7,48 juta ton.
Target kuota penangkapan ikan terukur untuk izin industri yang semula 4,89 juta ton sempat direvisi beberapa kali, yang teranyar menjadi 5,99 juta ton.
Bahkan, jika kuota industri ditambahkan dengan kuota nelayan lokal sebanyak 2 juta ton dan kuota hobi (nonkomersial), maka kuota nasional jumlahnya hanya 8,04 juta ton. Selisihnya hanya 0,55 juta ton sehingga upaya peningkatan produksi tidak terlalu signifikan untuk memenuhi kuota penangkapan ikan terukur.
Bahkan, jika mengacu kuota industri penangkapan ikan terukur sebelum direvisi yang sebesar 4,89 juta ton, terjadi anomali data produksi perikanan tangkap laut 2021 justru melampaui target kuota penangkapan ikan terukur sehingga surplus 0,54 juta ton.
Produksi perikanan tangkap dan budidaya merupakan komponen yang sangat memengaruhi PDB perikanan sehingga, jika data produksinya keliru, bukan saja akan mengakibatkan kekeliruan perhitungan PDB perikanan semata, melainkan juga akan memengaruhi secara signifikan data Badan Pusat Statistik, bahkan data statistik organisasi internasional, seperti Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Hal itu juga akan berdampak terhadap besarnya anggaran KKP serta ikut menentukan arah kebijakan rencana strategis kementerian ataupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Kebijakan KKP akan sangat memengaruhi kinerja PDB perikanan, termasuk komponen produksi dan investasi. Namun, sayangnya, kebijakan penangkapan ikan terukur sejak diluncurkan tahun lalu banyak menuai penolakan dari pelaku usaha penangkapan ikan di berbagai daerah.
Kebijakan KKP akan sangat memengaruhi kinerja PDB perikanan, termasuk komponen produksi dan investasi.
Semula kebijakan ini direncanakan akan diterapkan mulai awal Januari 2022, tetapi sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena terkendala belum ada dasar hukumnya. Permen KP sistem kontrak sedang dalam proses harmonisasi, bahkan peraturan pemerintah mengenai penangkapan ikan terukur sedang dalam penyusunan. Artinya, kebijakan penangkapan ikan terukur dapat dinilai terlalu tergesa-gesa diluncurkan tanpa persiapan yang matang.
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebaiknya lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan baru. Jangan sampai menambah beban berat nelayan pelaku usaha penangkapan ikan yang saat ini tengah didera berbagai kesulitan bertubi-tubi, mulai dari kenaikan pungutan hasil perikanan (PHP), denda administratif yang fantastis, menurunnya hasil tangkapan ikan, hingga melonjaknya harga bahan bakar minyak yang pada akhirnya terpaksa menghentikan kegiatan usaha penangkapan ikan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan juga harus melakukan pembenahan data produksi secepatnya agar valid dan reliable sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pengambilan kebijakan.
Baca Juga: Transformasi Ekonomi Perikanan
Indikator kinerja utama (IKU) KKP sebaiknya ditinjau ulang dan dipilih mana yang berdampak signifikan terhadap kemajuan sektor perikanan. Realisasi investasi sektor perikanan baik PMA ataupun PMDN seharusnya dijadikan IKU kementerian karena berdampak signifikan terhadap PDB nasional.
Kementerian Kelautan dan Perikanan harus lebih fokus dalam merumuskan kebijakan yang mampu mendongkrak peningkatan investasi di sektor perikanan karena investasi merupakan kunci meningkatkan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB nasional termasuk peningkatan PNBP. Syaratnya adalah KKP harus melakukan relaksasi kebijakan yang mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, memberikan kepastian hukum dan perlindungan investasi kepada pelaku usaha perikanan. Semoga ada perubahan arah kebijakan.
Hendra Sugandhi, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo)