Masa depan pangan dunia ada di laut, dan masa depan pangan laut adalah di perikanan budidaya. Ke depan, basis penyediaaan pangan dan kekuatan ekonomi perikanan nasional adalah budidaya.
Oleh
M RIZA DAMANIK
·5 menit baca
McKinsey Global Institute dalam publikasinya, ”The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential” (2012), memproyeksikan Indonesia bisa menjadi perekonomian terbesar ketujuh dunia pada 2030 setelah China, AS, India, Jepang, Brasil, dan Rusia.
Salah satu syaratnya, meningkatkan produktivitas industri perikanan dengan semua aspek keberlanjutannya. Sebenarnya, komitmen negara untuk memperkuat kelembagaan dan pembiayaan di sektor perikanan terus membesar.
Akan tetapi, kinerja ekonomi perikanan Indonesia justru cenderung statis. Pertumbuhan rata-rata nilai tukar nelayan satu dekade terakhir hanya 0,8 persen. Begitu juga kinerja ekspor produk perikanan belum mampu menyentuh angka 5 miliar dollar AS sehingga Indonesia belum juga masuk ke dalam jajaran 10 besar eksportir ikan di dunia hingga hari ini.
Padahal, tren produksi perikanan di Tanah Air, baik tangkap maupun budidaya, dalam kurun 20 tahun terakhir selalu tumbuh: dari hanya 4,8 juta ton pada 1999 naik hampir lima kali lipat menjadi lebih dari 23 juta ton sekarang ini.
Minus tiga perkara
Sejak Departemen Eksplorasi Laut didirikan 1999 (sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan), ada tiga perkara yang tak berubah dalam praktik pengelolaan perikanan nasional. Ketiganya butuh perubahan paradigmatik dari sekadar programatik. Pertama, mengubah pengelolaan perikanan dari skala kecil menjadi berskala ekonomi.
Pelaku usaha perikanan Indonesia didominasi nelayan kecil dan tradisional.
Pelaku usaha perikanan Indonesia didominasi nelayan kecil dan tradisional. Merujuk UU No 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, 92 persen nelayan Indonesia masuk kategori kecil dan tradisional. Mereka menyumbang 60 persen lebih total kebutuhan ikan di Tanah Air, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri.
Maka, tak ada yang salah menjadi kecil dan tradisional dalam lanskap perikanan Indonesia—kecuali soal skala ekonominya yang teramat kecil. Ini berdampak pada tingginya biaya produksi dan lemahnya nelayan (perseorangan) dalam transaksi penjualan ikannya.
Indikasi lain, terbatasnya jumlah nelayan berkoperasi. Jumlah koperasi nelayan hingga akhir Desember 2019 tak sampai 3.000 unit atau hanya 2,34 persen dari total 123.048 unit koperasi di Indonesia. Itu pun yang aktif hanya 1.959 unit dan yang sudah dapat sertifikat nomor induk koperasi hanya 544 unit. Ini menunjukkan, sebagian besar usaha perikanan nasional masih dikelola secara perseorangan, kecil-kecil, tidak efisien, belum dalam skala ekonomi dan belum berkoperasi.
Perkara kedua, belum terhubungnya nelayan kecil dan tradisional ke dalam strategi besar penguatan ”rantai nilai global” industri perikanan nasional. Nelayan kecil dan tradisional selalu mendapat bagian terkecil dari ”kue” ekonomi perikanan. Padahal, secara akumulatif memiliki volume produksi dan serapan tenaga kerja lebih besar dibandingkan dengan industri.
Pelaku industri belum keluar dari persoalan kelangkaan bahan baku, minimnya standardisasi produk, dan rendahnya daya saing di pasar global.
Kertas Kerja ADB Institute berjudul ”Human Capital and Participation in Global Value Chains: Evidence from Small and Medium-Sized Enterprises in Indonesia” (2020) mendeteksi rendahnya rasio partisipasi UMKM Indonesia ke dalam rantai nilai global, yakni 4,1 persen. Jauh lebih rendah dari usaha besar yang 25,6 persen.
Perkara lain terkait pemerataan konsumsi ikan di dalam negeri. Pulau Jawa yang dihuni 60 persen penduduk mengonsumsi lebih sedikit ikan ketimbang luar Jawa. Kondisi ini memperparah ketergantungan Indonesia pada sumber protein hewani dari daging sapi impor.
Penyebabnya, sistem logistik ikan nasional belum sepenuhnya memudahkan distribusi ikan antarpulau. Akibatnya, harga ikan di Jawa lebih mahal daripada sumber protein hewani lain; dan industri perikanan nasional menjadi kurang kompetitif.
Pandemi Covid-19 berdampak negatif pada perdagangan antara eksportir dan importir ikan utama dunia di sepanjang 2020, termasuk China dan AS.
Transformasi
Pandemi Covid-19 berdampak negatif pada perdagangan antara eksportir dan importir ikan utama dunia di sepanjang 2020, termasuk China dan AS. Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2020 juga mengungkap ketegangan perdagangan di antara dua mitra dagang terbesar dunia, China dan AS, telah menyebabkan ketidakpastian pasar ikan global.
Sejumlah ikan paling diperdagangkan di pasar global, seperti nila dan lobster, telah dimasukkan ke dalam daftar tarif kedua negara sehingga memunculkan ketidakpastian dan menjadi pendorong utama perlambatan pertumbuhan secara global. Maka, sekaranglah momentum terbaik Indonesia melakukan transformasi ”membangunkan” keunggulan komparatifnya di sektor perikanan.
Transformasi paling awal adalah mendorong pelaku usaha perikanan rakyat bergerak dalam skala ekonomi berbasis koperasi dan masuk ke dalam rantai nilai (global). Insentif pembiayaan, pendidikan, pelatihan, dan ragam fasilitasi pemerintah, swasta, ataupun BUMN harus diprioritaskan untuk nelayan dan pembudidaya ikan yang berkoperasi.
Langkah ini harus diikuti dengan penguatan peran koperasi dalam mengelola tempat-tempat pelelangan ikan atau pelabuhan perikanan di sekitarnya. Selain pembinaan terhadap anggota, koperasi juga dapat berperan sebagai agregator sekaligus offtaker untuk membangun kemitraan dengan BUMN, BUMD, dan swasta untuk bersama-sama masuk rantai nilai global. Kemitraan lebih luas juga diperlukan untuk membangun ekosistem usaha perikanan budidaya yang lebih produktif dan inovatif.
Masa depan pangan dunia ada di laut, dan masa depan pangan laut adalah di perikanan budidaya. Karena itu, ke depan, basis penyediaan pangan dan kekuatan ekonomi perikanan nasional adalah budidaya. Seluruh daya upaya negara mulai ditujukan untuk memperkuat SDM dan inovasi teknologi yang mendukung tumbuh kembangnya perikanan budidaya.
Tak hanya nelayan dan industrinya yang bertransformasi, segenap rakyat juga harus mulai bertransformasi dengan menggeser asupan protein hewaninya dari daging impor ke ikan yang berasal dari perairan Indonesia. Sistem logistik ikan nasional harus dibenahi untuk memastikan akses terhadap ikan sehat kian terjangkau.
M Riza Damanik,Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Alumnus Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang.