Ketersediaan lahan per kapita di Indonesia rendah, lahan pun semakin tak subur. Pertanian harus dipacu ke arah teknologi hemat lahan dan hemat input untuk produksi yang lebih banyak. Keberpihakan kepada petani mutlak.
Oleh
KHUDORI
·4 menit baca
Banyak pihak (masih) percaya Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Negeri yang kaya sumber daya alam, lahan maha luas, tanahnya subur, lautnya luas, dan bejibun keanekaragaman hayati. Begitu suburnya tanah, meminjam lirik lagu ”Kolam Susu” Koes Ploes, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Narasi tersebut diajarkan di sekolah-sekolah dan aneka lembaga pendidikan, dari tingkat terendah hingga tinggi. Karena disampaikan berulang-ulang, narasi ini dianggap sebagai kebenaran (akhir). Benarkah demikian?
Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta kilometer persegi. Ini sudah mencakup sungai, rawa, dan hutan. Jika dibagi jumlah penduduk sebanyak 276 juta jiwa, luas lahan per kapita hanya 0,70 hektar (ha).
Apabila yang dihitung hanya lahan yang bisa ditanami (arable land) yang luasnya 26,3 juta ha, ketersediaan lahan per kapita lebih kecil lagi, hanya 0,096 ha. Sangat kecil. Ketersediaan lahan yang bisa ditanami per kapita ini jadi salah satu indikator kemampuan negara menjamin kecukupan pangan warganya.
Dibandingkan dengan negara lain, betapa kecilnya ketersediaan lahan yang bisa ditanami per kapita di Indonesia. Bandingkan dengan Etiopia yang ketersediaan lahannya mencapai 0,12 ha per kapita (luas 16,8 juta ha dengan penduduk 112,1 juta). Atau dengan ketersediaan lahan di Amerika Serikat 0,5 ha per kapita, Thailand 0,23 ha per kapita, dan China 0,12 ha per kapita. Indonesia, boleh jadi, unggul dalam kualitas lahan. Akan tetapi, setelah diperiksa saksama, klaim ini tak sepenuhnya benar.
Lahan-lahan di Indonesia sebagian besar, tepatnya 70-an persen, bersifat masam (Widowati, 2020). Tidak mudah berbudidaya atau berusaha tani di lahan masam. Butuh input lebih mahal, rakitan varietas khusus, dan teknologi spesifik. Jika pun berhasil, sebagian besar produktivitasnya tidak setinggi di lahan yang subur.
Lahan-lahan yang subur sebagian besar berada di Jawa. Pulau ini dikelilingi pegunungan aktif yang rutin memuntahkan erupsi. Erupsi itu kaya mineral penyubur tanah yang dibutuhkan tanaman.
Lebih dari itu, setelah mengalami eksploitasi sejak introduksi Revolusi Hijau era 1970-an, tanah-tanah kita sudah jenuh dan keletihan (soil fatique), bahkan sakit (sick soil). Menurut Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (2010), sekitar 73 persen lahan sawah memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik <2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen berkandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikatagorikan sebagai lahan sawah yang sakit, kelelahan, dan sangat kritis (Simarmata, 2012).
Jadi, selain ketersediaan per kapita amat sempit, lahan-lahan itu butuh pemulihan kesuburan. Praktik pertanian konvensional yang boros lahan dan air pasti tak lama lagi tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Praktik pertanian konvensional yang boros lahan dan air pasti tak lama lagi tak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Kala produksi pangan, seperti padi, jagung, kedelai, tebu, aneka umbi, dan tanaman lain, dipacu atau ditargetkan swasembada, pertanyaannya, di manakah hendak ditanam dan apakah lahannya tersedia? Tanpa banyak disadari, di lahan sawah seluas 7,4 juta ha saat ini telah berkompetisi aneka tanaman pangan. Yang paling utama tentu padi, jagung, kedelai, dan tebu.
Kala suatu tanaman diperluas, karena ditargetkan untuk swasembada, itu harus mengorbankan luasan lahan tanaman lainnya. Misalnya, ketika produksi kedelai dipacu, terpaksa harus mengorbankan lahan untuk padi, jagung, atau tebu. Begitu seterusnya.
Tak salah jika ada yang mengatakan ini ibarat orang memakai sarung kependekan atau cekak. Menutup dada kelihatan lutut, menutup lutut kelihatan dada. Serba salah. Ada yang menyebut ini teori sarung. Inilah yang terjadi pada pertanian Indonesia hari-hari ini.
Memang ada lahan-lahan suboptimal, seperti lahan kering, rawa pasang surut, rawa lebak atau lahan gambut. Masalahnya, pelbagai program, termasuk riset, at all cost dikembangkan untuk lahan-lahan yang baik.
Adalah benar ada program, penelitian, dan inovasi pemanfaatan lahan-lahan suboptimal itu. Namun, jumlahnya jauh dari memadai apabila dibandingkan dengan riset serupa di lahan-lahan subur. Padahal, inilah sebagian harapan yang tersisa. Tanah harapan yang menjanjikan kehidupan di masa depan.
Di hari-hari mendatang, pertanian Indonesia musti terus memacu diri ke arah teknologi hemat lahan dan hemat input guna memproduksi lebih banyak, lebih baik, lebih berkualitas, dan lebih menguntungkan. Teknologi biologis dan rekayasa genetika guna meracik varietas andalan jadi pilihan.
Pertanian presisi, teknologi aeroponik, hidroponik, dan pertanian vertikal jadi alternatif yang diupayakan. Peningkatan indeks pertanaman, tumpang sari, integrasi tanaman-peternakan, pemanfaatan pekarangan, lahan telantar, dan pertanian keluarga juga memberi harapan baru. Masih terbentang sekian opsi lain.
Termasuk potensi yang belum dioptimalkan adalah memanfaatkan sumber daya laut dan perikanan yang luar biasa besar. Berpuluh tahun potensi laut hanya jadi catatan statistik, tak pernah benar-benar menjadi sumber daya riil. Akibatnya, sumber daya laut justru dieksploitasi pihak asing lewat pencurian.
Inilah saatnya menempatkan pertanian, dalam arti luas, di posisi terhormat. Inilah saatnya memuliakan petani, memastikan kesejahteraan dan kehidupannya lebih baik. Bukan seperti selama ini: ditulis manis di pelbagai aturan, berbusa-busa dipidatokan, tetapi riil ditaruh di belakang dan ditinggalkan.
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)