Konflik kepentingan, ego sektoral, dan ”vested interest” pada Tim Koordinator Nasional SPBE harus segera diatasi. Dibutuhkan pemimpin visioner yang mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi.
Oleh
DEDI HARYADI
·5 menit baca
Mestinya Menteri Keuangan Sri Mulyani tak perlu mengeluh soal tidak efektifnya puluhan ribu aplikasi yang berujung pada inefesiensi dan pemborosan anggaran (Kompas, 11/07/22) . Mengapa? Baik secara sendiri-sendiri maupun kolektif, setidaknya Kemenkeu ikut ambil bagian penting pada gagalnya atau bahkan matinya moratorium pengembangan aplikasi pemerintah.
Pasal 63 Ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) menyebutkan bahwa setiap pimpinan institusi pemerintah pusat dan daerah diminta mencegah dan/atau menghentikan pembangunan dan pengembangan aplikasi sejenis dengan aplikasi umum dalam bidang perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa pemerintah, akuntabilitas kinerja, pemantauan dan evaluasi, kearsipan, kepegawaian, dan pengaduan pelayanan publik.
Aplikasi umum itu aplikasi SPBE yang sama, standar, dan digunakan secara bagi pakai oleh instansi pusat dan/atau pemerintah daerah. Semantara aplikasi khusus adalah aplikasi SPBE yang dibangun, dikembangkan, digunakan, dan dikelola oleh instansi pusat atau pemerintah daerah tertentu untuk memenuhi kebutuhan khusus yang bukan kebutuhan instansi pusat dan pemerintah daerah lain.
Sebagai anggota Koordinator Nasional SPBE, Kemenkeu bersama dengan Bappenas, Kemendagri, Kementerian PAN dan RB, Kemenkominfo, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN) ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengendalian moratorium aplikasi tersebut. Dengan demikian, gagalnya atau bahkan matinya moratorium pengembangan aplikasi pemerintah juga menjadi tanggung jawab Kemenkeu.
Kegagalannya terletak pada ketidakmampuan mengatasi problem kecamuk ego sektoral, vested interest, dan konflik kepentingan antar-kementerian, antardirektorat dalam satu kementerian, atau antara kementerian dan pemerintah daerah (pemda) atau antar-organisasi perangkat daerah (OPD) dalam satu lingkungan pemda dalam penggunaan dan pengembangan berbagai aplikasi.
Persistennya konflik kepentingan, vested interest, dan ego sektoral dalam pengembangan aplikasi tidak berdiri sendiri. Hal itu terkait dengan bisnis pengembangan aplikasi dalam industri digital. Magnitudo peluang bisnis pembangunan dan pengembangan aplikasi di sektor publik sangat besar. Kalau satu institusi pemerintah daerah—katakanlah tipe B yang membutuhkan sekitar 50 aplikasi—maka dibutuhkan sekitar 271.000 aplikasi, belum termasuk kebutuhan aplikasi dari 87 kementerian/lembaga.
Belanja semua instansi pemerintah—kementerian, lembaga, badan, pemprov, pemkab/pemkot—untuk mengembangkan berbagai aplikasi tersebut saat ini mencapai Rp 21 triliun per tahun. Angka itu belum termasuk biaya pemeliharaan.
Jelas ada relasi kuasa yang saling menguntungkan antara birokrat, pengembang aplikasi, dan politisi dalam pengembangan aplikasi. Pengembang aplikasi bisa lembaga pemerintah, bisa juga lembaga swasta (vendor). Kadang kala ada juga lembaga pemerintah yang berperilaku sebagai vendor atau birokrat yang bermetamorfosis menjadi vendor.
Jelas ada relasi kuasa yang saling menguntungkan antara birokrat, pengembang aplikasi, dan politisi dalam pengembangan aplikasi.
Lembaga pemerintah yang mengembangkan aplikasi, misalnya, adalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pernah memproduksi aplikasi Sistem Informasi Manajemen Perencanaan, Penganggaran, dan Pelaporan (Simral) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang memproduksi aplikasi Sistem Informasi Manajemen Daerah (Simda), Sistem Keuangan Desa (Siskeudes), dan Sistem Pengawasan Keuangan Desa (Siswaskeudes). Simda dan Simral banyak digunakan oleh pemda.
Ada juga lembaga pemerintah yang memproduksi sendiri kebutuhan aplikasinya, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang memproduksi aplikasi Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran (Krisna) atau Kemenkeu yang mengembangkan aplikasi Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi (Sakti). Dalam setiap relasi kuasa pemerintah versus pebisnis atau pemerintah versus pemerintah selalu ada risiko korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang bisa berujung pada pemborosan dan atau korupsi.
Akutnya konflik kepentingan
Ironisnya, problem akutnya konflik kepentingan, ego sektoral, dan vested interest (kepentingan pribadi) juga terjadi di antara anggota Tim Koordinator Nasional SPBE. Sudah jadi rahasia umum, Kemenkeu dan Kemendagri misalnya tidak akur dalam menjalankan aksi nasional pencegahan korupsi, utamanya dalam aksi integrasi perencanaan dan penganggaran berbasis elektronik, terutama integrasi vertikal pusat dengan daerah.
Akibatnya, aksi tersebut berjalan lamban, bahkan hampir stagnan. Melalui aksi ini, ribuan triliun rupiah dana APBN, APBD, dan APBDes akan ”dikunci” dalam satu sistem aplikasi yang terintegrasi secara horizontal di pusat, horizontal di daerah, dan secara vertikal pusat dengan daerah.
Ironisnya, problem akutnya konflik kepentingan, ego sektoral, dan vested interest (kepentingan pribadi) juga terjadi di antara anggota Tim Koordinator Nasional SPBE.
Beleid yang memayungi aksi ini, selain Peraturan Pemerintah No 17/2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional, juga Perpres No 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi dan Peraturan Pemerintah No 18/2016 tentang Perangkat Daerah. Pasal 120 beleid terakhir mewajibkan perangkat daerah secara bertahap menerapkan sistem informasi yang terintegrasi antarkabupaten/kota, provinsi, dan pemerintah pusat dengan menggunakan infrastruktur dan aplikasi secara berbagi pakai. Itu semua dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi, kualitas pelayanan kepada masyarakat, dan pengendalian risiko korupsi.
Bercokolnya problem tersebut juga ditengarai menjadi sumber kegagalan diimplementasikannya konsensus di antara Tim Koordinasi Nasional SPBE—khususnya antara Kemenkeu dan Bappenas—untuk menghentikan pembiayaan program/kegiatan kementerian/lembaga tentang atau yang terkait dengan pengembangan aplikasi.
Sebenarnya mendigitalkan tata kelola pemerintahan, tata kelola anggaran, dan pelayanan publik sudah menjadi keharusan. Selain kontekstual dan relevan dengan Revolusi Industri 4.0, hal itu juga sesuai dengan janji politik Presiden Joko Widodo yang ingin mengembangkan pemerintahan dilan (digital melayani). Janji itu disampaikan pada saat kampanye pemilihan presiden periode 2019-2024.
Beleid untuk mewujudkan platform pemerintahan dilan sebenarnya sudah ada jauh sebelum pelaksanaan kampanye pemilihan presiden dimulai, yaitu Peraturan Presiden No 95/2018 SPBE. Perpres ini bertujuan ganda: 1) ingin mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, transparan, dan akuntabel serta pelayanan publik yang berkualitas dan tepercaya; 2) meningkatkan keterpaduan dan efisiensi sistem pemerintahan berbasis elektronik; juga untuk 3) digitalisasi pengendalian risiko korupsi.
Untuk mengatasi kecamuk ego sektoral, vested interest, dan konflik kepentingan, tampaknya dibutuhkan pemimpin visioner yang mampu dan terampil menempatkan kepentingan publik/bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Tetapi, bisakah pemimpin yang demikian terekrut di tengah seriusnya defisit kepemiminpan, tingginya politik transaksional, dan lemahnya merit system dalam promosi jabatan?