Akselerasi belanja modal pemda terlalu lemot. Dari tahun ke tahun tren pengendapan dana daerah terus meningkat. Padahal, dana itu untuk membangkitkan ekonomi rakyat daerah yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi.
Oleh
IMRON ROSYADI
·4 menit baca
Kinerja serapan anggaran daerah menjadi sorotan pemerintah pusat dan publik. Pasalnya, masih banyak pemda yang mengendapkan dana belanjanya di bank. Tak pelak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merasa kesal lantaran akselerasi belanja modal pemda terlalu lemot.
Menurut data Kementerian Keuangan (2022), dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) pada APBN 2022 disepakati sebesar Rp 769,6 triliun. Sementara dana daerah yang masih ”diparkir” di bank hingga akhir Mei 2022 mencapai Rp 200 triliun. Jauh lebih besar dibandingkan tahun anggaran 2021 (Rp 172 triliun) dan 2020 (Rp165 triliun).
Provinsi yang paling besar memarkirkan dana daerahnya di bank adalah Jawa Timur (Rp 24,1 triliun), diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua, DI Aceh, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Urutan paling buncit adalah Kepulauan Riau (Rp 1,07 triliun).
Terlihat bahwa dari tahun ke tahun tren pengendapan dana daerah terus meningkat. Kondisi ini bisa saja dimaknai pertumbuhan belanja daerah mengalami penurunan (yoy). Kemenkeu (2022) mencatat belanja pemda secara keseluruhan tumbuh minus 17 persen (yoy), dari Rp 270 triliun menjadi Rp 223 triliun.
Ironis memang, sebagaimana ungkapan kekesalan Menkeu. Sebab, di saat rakyat membutuhkan infrastruktur dasar, pemda justru membiarkan dana belanjanya ”menganggur”. Apalagi, dana itu sejatinya bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat daerah yang belum sepenuhnya pulih akibat pukulan pandemi Covid-19.
Persoalannya tak sekadar pengalokasian belanja pemda an sich, melainkan juga dampak yang ditimbulkan terhadap keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Proyek-proyek produktif yang seharusnya bisa menstimulus geliat ekonomi kerakyatan jadi terganggu karena dana yang digunakan untuk mendanai proyek itu tidak kunjung cair.
Apalagi, dana itu sejatinya bisa dimanfaatkan untuk membangkitkan ekonomi rakyat daerah yang belum sepenuhnya pulih akibat pukulan pandemi Covid-19.
Hal itu mengingat fungsi APBD sebagai instrumen kebijakan yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Untuk itu, penyusunan APBD pun harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan keunggulan, karakteristik/kekhasan, dan potensi yang dimiliki setiap daerah.
Problem itu akan semakin ”runyam” apabila dikaitkan dengan dana perimbangan pemerintah pusat dan daerah yang salah satu instrumennya adalah dana alokasi umum (DAU). Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Interpretasinya, DAU tak boleh disimpan terlalu lama di bank karena dana itu bersifat block grant, yang berarti penggunaannya diserahkan ke daerah sesuai prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Logikanya, karena DAU dikucurkan atas permintaan daerah untuk memenuhi hajatnya di daerah, tak elok jika dana itu diendapkan dan tak segera dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan yang sebelumnya telah diajukan dan disetujui oleh pusat.
Mengendapnya dana belanja daerah mengindikasikan sejumlah hal penting. Pertama, produktivitas anggaran sangat rendah. Anggaran yang tak terserap selama satu tahun anggaran mengindikasikan pemda kurang produktif mengelola dana belanjanya.
Padahal, penyusunan APBD didasarkan atas kinerja. Maknanya, harus ada relasi antara belanja/pengeluaran dan kinerja yang dihasilkan. Jika daya serap anggarannya rendah, otomatis kinerja pemerintahannya juga rendah, terutama pertumbuhan ekonomi daerah menjadi rendah.
Kedua, pengelolaan anggaran tak efisien dan tak efektif. Dalam konteks penganggaran, efisien dan efektif itu berkaitan dengan penghematan dana (input) yang dikeluarkan pemda, seyogianya bisa menghasilkan ouput (PDB) yang tinggi. Pengendapan anggaran jadi paradoks karena dampaknya justru memperlambat laju pertumbuhan ekonomi daerah, bahkan nasional.
Ketiga, rendahnya kreativitas dan inovasi pemda. Parkirnya dana belanja daerah di bank diduga kuat karena pemda ”kesulitan” menghabiskan anggarannya dalam setahun sebab para eksekutif di daerah kurang kreatif dan inovatif, baik dalam penyusunan APBD maupun pada saat mengeksekusi anggaran.
Gagasan dan tangan-tangan kreatif-inovatif para pemangku kepentingan sangat dibutuhkan dalam pembangunan, dalam rangka menggerakkan sektor-sektor produktif masyarakat daerah, misalnya agar UMKM dan ekonomi kreatif di daerah semakin menggeliat.
Jika daya serap anggarannya rendah, otomatis kinerja pemerintahannya juga rendah, terutama pertumbuhan ekonomi daerah menjadi rendah.
Keempat, APBD tidak pro-poor, pro-job, dan pro-growth. Menurut UU Keuangan Negara, APBD itu salah satunya memiliki fungsi alokasi, artinya daerah harus mengalokasikan pos belanjanya untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang kontraproduktif karena pemda ”membiarkan” ratusan triliun rupiah dana itu jadi kurang produktif sehingga menghambat program-progam pengurangan kemiskinan. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan di daerah.
Kita berharap ke depan pemda tak perlu lagi dihantui rasa ”takut korupsi” sepanjang anggaran itu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab, dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Imron Rosyadi Peneliti pada Pusat Studi Kewirausahaan FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta