Rusia menikmati lonjakan petrodollar secara eksponensial. Penyebabnya, dengan biaya produksi hanya 3-4 dollar AS, Rusia menikmati harga minyak global yang jauh di atas 100 dollar AS akibat embargo internasional.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Dalam upaya terakhir melumpuhkan Rusia, Amerika Serikat dan sekutu sepakat mendorong diterapkannya batas atas terhadap harga (price cap) ekspor minyak Rusia di pasar global.
Suatu langkah absurd yang diyakini sia-sia. Sebagian besar analis meyakini gagasan yang diinisiasi Menteri Keuangan AS Janet Yellen ini akan menemui kegagalan. Sebaliknya, justru berpotensi memicu pukulan balik berupa kian meroketnya harga minyak mentah dunia dan inflasi global.
Jika terjadi, hal ini akan kian membahayakan ekonomi global yang di ambang stagflasi akibat tingginya inflasi dan ancaman resesi, dan kian memicu gelombang kebangkrutan negara-negara.
Gagasan price cap merupakan langkah terakhir Barat untuk menyabotase aliran devisa masuk ke Rusia yang bersumber dari ekspor migas dalam upaya menghentikan invasi Rusia di Ukraina. Sejumlah sanksi ekonomi internasional yang diterapkan sebelumnya tak mampu menghentikan perang yang sudah berlangsung empat bulan.
Berdasarkan skenario terakhir ini, AS mengajak negara-negara lain untuk hanya membeli minyak dari Rusia pada batas harga tertentu (di bawah harga internasional yang ada saat ini). Gagasan Yellen mengasumsikan AS dan sekutunya bisa mengatur harga minyak Rusia, sementara kita tahu selama ini struktur pasar minyak dunia adalah pasar oligopoli di bawah kendali kartel OPEC+, termasuk Rusia di dalamnya.
Tak ada jaminan semua negara mendukung jika manuver ini justru berdampak negatif ke ekonomi domestik. Bagi negara-negara Uni Eropa (UE), misalnya, bagaimana jika Rusia justru memilih menstop sama sekali ekspor ke UE di saat UE tak mempunyai alternatif sumber pasokan untuk menggantikan minyak Rusia? OPEC sudah menegaskan pihaknya tak mampu mengisi kekosongan akibat embargo minyak Rusia.
UE yang selama ini sangat tergantung pasokan migas Rusia baru setuju mengakhiri sepenuhnya impor minyak dari Rusia, akhir 2022. Sanksi internasional selama ini tak efektif. Sebab, meski ekspor minyak Rusia ke AS, Kanada, dan Inggris turun, ke China, India, dan negara lain justru melonjak. Kepentingan dalam negeri tiap-tiap negara membuat sanksi dan embargo terhadap Rusia bagaikan macan ompong. Hal ini juga yang diyakini akan terjadi pada manuver terakhir G7 ini.
Gagasan penerapan price cap yang kontradiktif dengan prinsip pasar bebas dan ekonomi pasar yang selama ini diusung G7 menjadi gambaran keputusasaan dan lumpuhnya kepemimpinan global di bawah G7, dihadapkan pada situasi geopolitik Perang Rusia-Ukraina. Tak sedikit kalangan melihat langkah negara maju justru kian memperparah disrupsi ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Serangkaian sanksi ekonomi yang dimaksudkan untuk menstop penerimaan ekspor Rusia yang bisa dipakai untuk membiayai perang bukannya membuat Rusia lumpuh, melainkan justru makin kuat. Rusia menikmati lonjakan petrodollar secara eksponensial. Penyebabnya, dengan biaya produksi hanya 3-4 dollar AS, Rusia menikmati harga minyak global yang jauh di atas 100 dollar AS akibat embargo internasional.