"Quo Vadis" Sejarah Indonesia
Penyampaian sejarah inklusif yang menggantikan sejarah dengan warna nasionalistik dapat menjadi jalan keluar dari merebaknya ekstremisme yang mengancam kebangsaan Indonesia dan nasionalisme itu sendiri.
Pada 24 Juni 2022, Tropenmuseum Amsterdam membuka pameran bertajuk ”Our Colonial Inheritance” (Warisan Kolonial Kita, disingkat OCI) yang akan dipajang di sana sampai tujuh tahun lagi. Setahun sebelumnya, pada 13 Mei 2021, film The East yang disutradarai Jim Taihuttu juga dirilis.
Kedua produk kebudayaan itu menunjukkan satu fenomena yang sedang terjadi di Negeri Belanda. Publik, dimulai dari kalangan intelektual mudanya, mulai membuka diri kepada pengetahuan sejarah yang inklusif, yaitu pengetahuan sejarah yang tidak hanya mempertimbangkan sudut pandang satu pihak dalam sejarah.
Sebagai pelaku dari kolonialisme yang sistematis di berbagai belahan dunia, langkah Belanda untuk memamerkan perspektif rakyat terjajah di dalam pameran OCI dan, secara tersirat, dalam The East (Timur) merupakan langkah yang menentang kemapanan pengetahuan masyarakat umum negerinya sendiri. Tim penyusun film The East juga meramu sebuah modul pendidikan yang ditujukan bagi siswa sekolah menengah Belanda.
Baca Juga: Maaf Atas Nama Sejarah
Modul tersebut menampilkan penjelasan atas lima perspektif dari lima tokoh berlatar belakang berbeda dalam film, yaitu pejabat kolonial Belanda, pejuang kemerdekaan Indonesia, serdadu wajib militer Belanda, tentara kolonial Bumi Putra (KNIL), dan masyarakat Indonesia biasa. Lewat modul itu, siswa dapat membaca bagaimana kelima tokoh tersebut memandang satu peristiwa sejarah yang sama, revolusi di Indonesia tahun 1945 hingga 1949, dari lima sudut pandang berbeda. Pameran OCI juga akan memproduksi modul yang serupa.
Sejarah Indonesia untuk nasionalisme?
Lalu, bagaimana dengan arah keilmuan sejarah di Indonesia sekarang? Pada tataran pendidikan tinggi, para pengajar masih mengarahkan para mahasiswa untuk melakukan penjelajahan terhadap topik-topik yang terpinggirkan. Sejarah maritim yang terasing versus sejarah agraris yang menjadi primadona. Sejarah sosial versus sejarah politik. Sejarah lokal versus sejarah nasional.
Kelompok pertama kini memang diberi perhatian dan usaha penelitian terhadap topik-topik tersebut memang baik dan diperlukan. Namun, bersama itu, kita belum menyaksikan adanya penyelaman terhadap kekayaan perspektif dari masing-masing topik sejarah itu sendiri. Lebih-lebih, tren sejarah untuk nasionalisme sejak era prareformasi juga masih dilanjutkan hingga kini. Pendidikan sejarah di sekolah menengah dan tampilan narasi sejarah di muka publik masih diarahkan untuk membangun nasionalisme.
Dari sudut pandang ilmiah, penetapan tujuan pembelajaran sejarah untuk nasionalisme justru membonsai keilmiahan sejarah itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah penggunaan sejarah seperti ini benar? Dari sudut pandang ilmiah, penetapan tujuan pembelajaran sejarah untuk nasionalisme justru membonsai keilmiahan sejarah itu sendiri. Sejarah yang seharusnya dibiarkan setia kepada sumber dan metode penelitian sejarah harus diberi warna dan perspektif dari satu sisi.
Dengan demikian, tentu saja ada sumber-sumber sejarah yang dipilih tidak digunakan karena tidak sesuai dengan ”cetakan” sejarah nasionalistik. Pahlawan, yang sebenarnya tidak ada di dalam sejarah ilmiah, diadakan demi membangun nasionalisme. Tokoh-tokoh yang melawan penjajah asing diberi label pahlawan.
Baca Juga:
- Meluruskan Narasi Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI
- Meluruskan Narasi Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI (2)
Sejarah akhirnya menampilkan dua kubu, kami orang Indonesia yang baik dan kalian orang asing yang jahat. Masalahnya, ini memupuk segregasi masyarakat, sebuah warisan kolonial tidak kunjung meninggalkan bekas jajahan. Penggunaan sejarah seperti ini justru membelah karena tidak memberikan ruang bagi pihak-pihak yang harus berseberangan dengan para ”pahlawan” tadi dalam historiografi nasionalistik. Di mana letak Bone yang kontra Sultan Hasanuddin? Atau orang Tionghoa yang dijadikan pemungut cukai dan bandar tol?
Sejarah yang inklusif
Pertanyaan ini tidak akan terjawab hanya dengan, misalnya, mengangkat nama pahlawan nasional dari Bone atau menunjukkan tokoh-tokoh Tionghoa kontra Belanda. Orang akan dengan mudah berseru, ”mereka kan beda orang!” Pertanyaan-pertanyaan itu hanya dapat terjawab dengan menyajikan sebuah narasi yang multiperspektif.
Bone ataupun para pemungut cukai Tionghoa memiliki alasan dan sudut pandang dalam memandang keadaan pada periode mereka. Alasan dan sudut pandang semacam inilah yang dijelaskan oleh modul pendidikan dari The East maupun OCI kepada siswa-siswa Belanda. Mereka diajak untuk memahami alasan pejuang kemerdekaan Indonesia melawan kekuasaan Belanda yang selama ini mereka pandang, seperti tecermin dalam Dutch Administration in the Netherlands Indies (1944:13), ”[…] memiliki maksud baik […] seperti ayah yang berusaha menyejahterakan keluarganya”.
Pandangan kritis seperti yang hendak dicapai modul tadi, di Indonesia, seharusnya tidak hanya dipupuk pada jenjang pendidikan tinggi, tetapi juga setidak-tidaknya pendidikan menengah atas (SMA). Tidak ada mata pelajaran sekolah menengah yang menyediakan lapangan seideal sejarah untuk mempelajari berbagai perspektif dari suatu fenomena.
Sejarah tidak memproduksi satu kebenaran tunggal, tetapi justru menyediakan banyak pandangan alternatif.
Sejarah tidak memproduksi satu kebenaran tunggal, tetapi justru menyediakan banyak pandangan alternatif. Paparan berbagai pandangan itu meminimalkan kemungkinan seseorang untuk memeluk satu pandangan yang sangat ekstrem.
Dengan demikian, ekstremisme yang kini justru menjadi pengancam prominen dari kebangsaan dapat dihindari kelahirannya lewat pembelajarah sejarah yang multiperspektif, bukan yang diwarnai nasionalisme secara eksplisit. Dalam perkataan lain, siswa diajak untuk menemukan sendiri nasionalisme, bukan dicekoki dengan nasionalisme.
Museum sebagai prasarana
Seperti juga Tropenmuseum yang menjadi prasarana pameran OCI, museum pada umumnya memiliki potensi yang besar untuk menyajikan sejarah yang inklusif kepada publik. Museum sebagai ruang publik menyediakan ruang multidimensi yang dapat digunakan secara kreatif dalam menyampaikan informasi. Namun, sebagai konsekuensi dari kurangnya narasi sejarah yang inklusif, museum-museum di Indonesia pun tampaknya tidak ada yang mengambil posisi untuk menampilkan kisah sejarah multiperspektif.
Saya membayangkan alangkah menariknya apabila ada museum yang dapat menampilkan beda pandangan berbagai tokoh Indonesia tentang rancang bangun pendidikan nasional. Misalnya, pandangan Sutan Takdir Alisjahbana, Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, Muhammad Yamin, dan lain-lainnya. Maksudnya, yang kita tampilkan bukan sekadar evolusi sistem pendidikan, melainkan juga perdebatan dan perbedaan perspektif tentangnya.
Baca Juga: Periode Sejarah yang Terabaikan
Tampilan semacam itu akan membuat pengunjung tidak sekadar mengetahui suatu informasi, tetapi juga memiliki keingintahuan dan imajinasi, seperti, ”bagaimana wajah sekolah saya jika gagasan Sutan Takdir tentang pendidikan ala Barat diimplementasikan alih-alih gagasan Ki Hadjar?”.
Akhirnya, pengunjung akan mengetahui bahwa berpikir itu boleh dan perbedaan pandangan itu mungkin sehingga ia pun dapat memiliki pandangan bahwa status quo yang ada hari ini tidak selama-lamanya harus menjadi status quo. Pemikiran kritis seperti ini dapat mulai dibentuk dengan pertama-tama menanggalkan seragam nasionalisme dari sejarah.
(Christopher Reinhart, Peneliti Sejarah; Alumni Universitas Indonesia)