Meluruskan Narasi Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI (2)
Proklamasi Kemerdekaan RI memang bukan hadiah Jepang. Namun, Pemerintah Jepang mempunyai kebijakan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dan berusaha merealisasikannya dengan membentuk BPUPK dan PPK.
Narasi sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI yang ada saat ini diciptakan dalam suasana perang melawan propaganda Pemerintah Belanda tahun 1945-1949 yang menarasikan Kemerdekaan RI sebagai hadiah dari Pemerintah Jepang kepada para elite Indonesia. Untuk melawan propaganda inilah, Pemerintah Indonesia menciptakan narasi yang menyangkal keterlibatan Pemerintah Jepang.
Banyak ditemukan malainterpretasi dalam narasi tersebut apabila diukur menggunakan metode ilmu sejarah. Salah satunya adalah interpretasi terhadap keputusan Laksamana Muda Tadashi Maeda (1898-1977) untuk mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI.
Dalam narasi sejarah proklamasi kemerdekaan, dukungan Maeda diinterpretasikan sebagai keputusan pribadi. Interpretasi ini dilakukan karena narasi harus disesuaikan dengan tujuan politik Pemerintah Indonesia pada ssat itu untuk menyangkal keterlibatan Pemerintah Jepang. Namun apabila diukur dengan menggunakan metode ilmu sejarah, akan terungkap bahwa interpretasi yang disesuaikan dengan tujuan politik itu merupakan sebuah malainterpretasi.
Baca juga : Yogyakarta dan Pesan Kemerdekaan Soekarno
Ada sejumlah fakta lain yang sengaja diabaikan dalam malainterpretasi tersebut, bahwa dukungan Maeda sebagai keputusan pribadi, adalah jenis pekerjaan, aturan dalam pekerjaan, tugas, dan kedudukan Maeda pada tahun 1945. Seluruh fakta lain ini sangat memengaruhi keputusan Maeda melakukan sesuatu yang sangat penting, seperti mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI.
Pertanyaan skeptis perlu diajukan, apakah benar dukungan Maeda terhadap kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 adalah sebuah keputusan pribadi? Jika benar, atas dasar apa Maeda melakukan keputusan pribadinya tersebut?
Apakah benar dukungan Maeda terhadap kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 adalah sebuah keputusan pribadi?
Jawaban terhadap dua pertanyaan tersebut harus dilakukan dengan mengurai fakta-fakta lain yang melekat pada diri Maeda sebagai anggota militer dalam Angkatan Perang Kekaisaran Jepang. Pangkat kemiliterannya adalah laksamana muda dengan jabatan Kepala Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang.
Dalam ilmu sejarah, data tersebut diinterpretasi menjadi sebuah fakta bahwa pangkat kemiliteran Maeda bukanlah yang tertinggi dan jabatannya bukan sebagai penentu kebijakan, melainkan pelaksana kebijakan. Fakta ini melemahkan interpretasi dukungan Maeda terhadap kemerdekaan Indonesia sebagai keputusan pribadi karena sebagai pelaksana kebijakan, ia harus bertindak sesuai perintah atasannya dalam hierarki komando.
Pada tulisan pertama (Kompas.id, 17/8/2021), penulis menjelaskan bahwa pemberian kemerdekaan Indonesia merupakan kebijakan kabinet pemerintahan Jepang yang dipimpin oleh Perdana Menteri Koiso. Kebijakan ini direalisasikan oleh pemerintahan militer Jepang dengan membentuk dua badan khusus untuk mempersiapkan dan melaksanakan kemerdekaan (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK dan Panitia Persiapan Kemerdekaan/PPK).
Baca juga : Meluruskan Narasi Sejarah Proklamasi Kemerdekaan RI
Perdana Menteri Koiso tidak pernah membatalkan kebijakan kabinet pemerintahannya untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan Panglima Angkatan Perang Kekaisaran Jepang melaksanakan kebijakan ini sebagai strategi di wilayah pendudukannya untuk menghadapi kekalahan perang melawan pasukan Sekutu. Jadi, dukungan Maeda terhadap Proklamasi Kemerdekaan bukan merupakan keputusan pribadi.
Disiplin militer dalam Angkatan Militer Kekasiaran Jepang tidak memungkinkan Maeda mengambil keputusan yang berbeda dengan atasannya. Apa yang dilakukan Maeda sesuai dengan kebijakan kabinet pemerintahan Perdana Menteri Koiso dan strategi Panglima Angkatan Perang Kekaisaran Jepang.
Jadi dukungan Maeda terhadap proklamasi kemerdekaan bukan merupakan keputusan pribadi.
Interpretasi tersebut memberikan penjelasan rasional yang berkaitan dengan penolakan Somobucho/Kepala Departemen Urusan Umum Militer Jepang di Jakarta Mayor Jenderal Otoshi Nishimura ketika PPK minta izin melaksanakan proklamasi kemerdekana RI. Pangkat kemiliteran, kedudukan, dan kewenangan Maeda lebih rendah dari Nishimura, tetapi mengapa Nishimura tidak dapat menghentikan atau menghalangi Maeda? Bukankah ia dapat menangkap Maeda ketika Maeda menemani pimpinan PPK menemui dirinya pada 16 Agustus 1945 di kantornya untuk meminta izin melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan RI?
Pembiaran Nishimura terhadap aktivitas Maeda hanya dapat dijelaskan apabila dikaitkan dengan kebijakan kabinet pemerintahan Perdana Menteri Koiso dan strategi Panglima Angkatan Perang Kekaisaran Jepang tersebut. Nishimura membiarkan Maeda mendukung kemerdekaan Indonesia karena Maeda menjalankan tugas negara.
”Janji palsu”
Dalam narasi sejarah proklamasi kemerdekaan, penolakan Nishimura tersebut dijadikan sebagai bukti pengingkaran Pemerintah Jepang untuk melaksanakan kebijakan pemerintahan Perdana Menteri Koiso memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Berdasarkan bukti inilah, kebijakan Perdana Menteri Koiso diinterpretasikan sebagai ”janji palsu”.
Interpretasi ini mengabaikan fakta-fakta lain berupa kebijakan Pemerintah Jepang untuk merealisasikan janjinya dan dimensi sosial, politik, dan militer. Alasan utama penolakan Nishimura karena tidak boleh mengubah status quo Indonesia dari wilayah pendudukan militer Jepang menjadi negara merdeka. Namun pada saat bersamaan, ia membiarkan PPKI mempersiapkan kemerdekaan di rumah dinas Maeda dan memproklamasikan kemerdekaan di halaman rumah Ketua PPK Soekarno.
Jadi, ada dua sikap Nishimura yang bertolak belakang, yakni menolak permintaan kemerdekaan dari PPK dan membiarkan PPK melaksanakan kemerdekaan. Sikap kedua Nishimura diabaikan dalam narasi sejarah proklamasi kemerdekaan karena tidak sesuai dengan tujuan politik untuk menyangkal keterlibatan Pemerintah Jepang.
Ada dua sikap Nishimura yang bertolak belakang, yakni menolak permintaan kemerdekaan dari PPK dan membiarkan PPK melaksanakan kemerdekaan.
Nishimura dan Maeda adalah dua perwira tinggi militer Angkatan Perang Kekaisaran Jepang yang mempunyai peranan dalam pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan RI. Keduanya mempunyai sikap berbeda. Nishimura bersikap ambivalen, sedangkan Maeda bersikap sangat jelas mendukung kemerdekaan Indonesia.
Kejelasan dukungan Maeda tidak sesuai dengan tujuan politik menyangkal keterlibatan Pemerintah Jepang dalam proklamasi kemerdekaan. Agar sesuai dengan tujuan politik tersebut, dukungan Maeda diberi interpretasi sebagai keputusan pribadi.
Interpretasi penolakan Nishimura sebagai janji palsu kemerdekaan dari Pemerintah Jepang dan dukungan Maeda terhadap kemerdekaan sebagai keputusan pribadi merupakan malainterpretasi karena tidak sesuai dengan fakta-fakta yang sesungguhnya terjadi. Narasi penyangkalan keterlibatan Pemerintah Jepang dalam proses kemerdekaan mempunyai kelemahan dari sudut pandang metode ilmu sejarah. Kelemahan ini menyebabkan narasi yang tercipta tidak merekonstruksi (membangun kembali) peristiwa masa lalu, tetapi menciptakan masa lalu yang disesuaikan dengan kepentingan politik tahun 1945-1949.
Diperlukan interpretasi yang terbebaskan dari beban tujuan politik masa lalu. Setelah 76 tahun berlalu, keadaan sudah sangat berubah. Kemajuan teknologi memberi kemudahan dan kecepatan mengakses data dan fakta. Artinya tidak ada lagi yang dapat disembunyikan.
Generasi muda membutuhkan narasi sejarah proklamasi kemerdekaan yang mempunyai kejujuran terhadap masa lalu. Pengakuan keterlibatan Pemerintah Jepang dalam proses kemerdekaan bukan merupakan aib masa lalu yang harus dirahasiakan karena tidak menghilangkan atau mengurangi makna proklamasi kemerdekaan sebagai hasil perjuangan bangsa Indonesia.
Baca juga : Mengapa Wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke?
Data dan fakta menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan bukan hadiah yang diberikan Pemerintah Jepang karena mereka sudah tidak mempunyai kemampuan melakukannya setelah menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan. Namun, fakta yang tidak dapat dimungkiri bahwa Pemerintah Jepang mempunyai kebijakan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dan berusaha merealisasikannya dengan membentuk BPUPK dan PPK. Hasil kerja kedua lembaga ini sangat besar manfaatnya bagi pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia.
Abdul Syukur
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah dan Korpus Penelitian Sosial, Ekonomi, dan Humaniora Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masayarakat Universitas Negeri Jakarta