Presiden sudah mengambil Keputusan politik yang tepat untuk menjadikan Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Kedaulatan Negara. Ini perlu dilanjutkan dengan kebijakan Mendikbudristek dalam pembelajaran sejarah.
Oleh
ABDUL SYUKUR
·6 menit baca
HERYUNANTO
Penulisan sejarah memilki periodisasi yang diciptakan oleh para sejarawan setelah melakukan penelitian untuk memberikan kemudahan dalam menjelaskan perjalanan sejarah suatu bangsa. Misalnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari periode prasejarah hingga kontemporer yang berlangsung ribuan tahun dibagi menjadi beberapa periode, yaitu periode prasejarah (hingga abad ke-5 M), periode klasik Hindu-Buddha (abad ke-5 hingga abad ke-13), periode modern Islam (abad ke-13 M hingga abad ke-20), periode pergerakan nasional (1900-1945), periode kemerdekaan hingga kontemporer (1945-1998).
Di antara periode sejarah Indonesia tersebut, ada yang terabaikan, yaitu periode perang kemerdekaan yang berlangsung selama empat tahun (1945-1949). Proses mengabaikan periode ini sangat dipengaruhi perubahan politik yang terjadi sejak 1998, yakni pergantian pemerintahan Orde Baru dengan Reformasi.
Polemik Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Kedaulatan Negara memulihkan ingatan kolektif bangsa Indonesia terhadap periode perang kemerdekaan yang terlupakan tersebut. Kepres ini merujuk pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 oleh pasukan Indonesia terhadap ibu kota Yogyakarta yang dikuasai pasukan Belanda. Generasi milenial menjadi kepo tentang apa yang terjadi pada tahun 1949 tersebut karena pelajaran sejarah sekarang sangat berbeda dengan pelajaran sejarah pada masa Orde Baru.
Perubahan materi pelajaran sejarah di sekolah merupakan hasil desakan pendukung reformasi garis keras yang berpendapat bahwa narasi sejarah perang kemerdekaan dibuat oleh pemerintah Orde Baru melalui para sejarawan saat itu untuk memperkuat legitimasi kekuasaan, khususnya kekuasaan militer dan lebih khusus lagi kekuasaan TNI Angkatan Darat dan Presiden Soeharto. Untuk memenuhi tuntutan ini, Menteri Pendidikan Yuwono Sudharsono menerbitkan suplemen kurikulum 1999 karena tidak dapat menerbitkan kurikulum baru.
Di Indonesia, perubahan kurikulum dilakukan setiap 10 tahun sekali, yakni pada tahun 1964, 1974, 1984, 1994, 2004. Jadi tuntutan perubahan kurikulum pada tahun 1998 tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah karena masa berlaku kurikulum 1994 belum genap 10 tahun, dan kurikulum hanya dapat diubah pada tahun 2003 sesuai kebijakan perubahan kurikulum setiap satu dasawarsa.
Euforia kemenangan gerakan reformasi yang bersifat anti-militer menumbuhkan semangat demiliterisasi di segala bidang. Demiliterisasi dalam pelajaran sejarah adalah menciptakan narasi baru yang mengecilkan peranan militer atau melupakan periode sejarah yang peranan utamanya militer. Periode yang dilupakan itu adalah perang kemerdekaan. Volume pembahasan materinya dikurangi secara siginifikan sehingga menjadi bagian yang tidak menarik untuk dipelajari.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Anggota sejumlah komunitas pencinta sejarah mengikuti teater drama kolosal Serangan Umum 1 Maret 1949 di halaman Musem Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Minggu (5/3/2017).
Perjuangan Kemerdekaan
Polemik Kepres No 2/2022 menjadi momentum bagi pemerintah untuk menghidupkan kembali sejarah perang kemerdekaan. Ini penting karena periode ini dapat menumbuhkembangkan rasa cinta Tanah Air dan bangga menjadi bangsa Indonesia karena memperoleh kemerdekaannya melalui perjuangan, bukan pemberian dari pemerintah kolonial.
Apabila dilakukan perbandingan antara bangsa yang merdeka melalui perjuangan dan yang merdeka karena pemberian (hadiah) dari pemerintah kolonial, jumlah bangsa yang merdeka melalui perjuangan lebih sedikit. Di antara jumlah yang sediikit itu adalah bangsa Indonesia. Namun, data dan fakta sejarah perang kemerdekaan tidak diberikan kepada generasi muda sehingga mereka tidak menyadari sebagai keturunan bangsa pejuang.
Perjuangan kemerdekaan dimulai satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan, yakni kedatangan pasukan Sekutu yang beranggotakan tentara Inggris dan Belanda pada September 1945. Tugas utama mereka melucuti persenjataan tentara Jepang dan memulangkannya ke negeri mereka, serta membebaskan seluruh tawanan perang selama masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya ini terjadi pertempuran karena pimpinan Sekutu mengikutsertakan pasukan Belanda dalam menjalankan tugasnya sehingga terjadi perang di Surabaya, Ambarawa, Bandung, Padang, Medan, dan Palembang.
Perjuangan kemerdekaan dimulai satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan, yakni kedatangan pasukan Sekutu yang beranggotakan tentara Inggris dan Belanda pada September 1945.
Pembelajaran sejarah perang dapat mentransfer semangat perjuangan membela negara karena mereka berani melawan pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda) yang bersenjata lengkap dan sangat terlatih. Sementara pejuang memiliki persenjataan yang terbatas dan kurang terlatih. Namun, mereka melawan pasukan Sekutu yang dilatih dan dilengkapi persenjataan untuk berperang melawan pasukan Jepang.
Perlawanan para pejuang terhadap pasukan Sekutu pada September, Oktober, November 1945 telah memaksa panglima Sekutu mengakui pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta karena membutuhkan dukungan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan tugasnya sesuai rencana. Pengakuan Sekutu ini merupakan hasil dari perjuangan bersenjata para pejuang yang menguasai wilayah di luar kota, sementara dalam kota dikuasai pasukan Sekutu.
Pasukan Sekutu menyelesaikan tugasnya pada April 1946. Namun, mereka tidak menyerahkan wilayah yang dikuasainya kepada Pemerintah Indonesia, tetapi kepada Pemerintah Belanda. Berdasarkan fakta ini dapat dipahami kekecewaan Pemerintah Indonesia terhadap Pemerintah Inggris pada saat itu.
Penyerahan wilayah kekuasaan Sekutu kepada Pemerintah Belanda menyebabkan perang berlanjut menjadi perang antara Indonesia dan Belanda, antara April hingga Oktober 1946. Dalam suasana perang inilah ibu kota negara dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Perang tahun 1946 dihentikan melalui perundingan Linggarjati sehingga tercipta genjatan senjata sejak November 1946 hingga Juli 1947, yakni ketika Pemerintah Belanda membatalkan kesepakatan damai dengan melancarkan serangan besarnya yang pertama. Perang berlangsung antara Juli hingga Nopember 1947, dan dihentikan melalui Perundingan Renville pada awal Desember 1947.
Perundingan Renville tidak memuaskan Pemerintah Belanda dan Indonesia sehingga keduanya memanfaatkan masa genjatan senjata untuk mempersiapkan diri melanjutkan perang yang menentukan. Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia Jenderal Soedirman bersama para anggota stafnya menyusun rencana perang gerilya dengan menerbitkan perintah siasat.
Perang antara Indonesia dan Belanda, tahun 1946 hingga 1949, dikenang dengan dua istilah, Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai agresi militer, sedangkan Pemerintah Belanda menyebutkannya aksi polisionil.
Pada Desember 1948, Pemerintah Belanda kembali membatalkan kesepakatan damai hasil Perundingan Renville dan melancarkan serangan berskala besar yang langsung diarahkan untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Rencana ini berhasil sesuai rencana. Ibu kota Yogyakarta dikuasai dan sebagian besar pejabat tinggi negara Republik Indonesia ditangkap, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Keduanya beserta pejabat tinggi negara yang lainnya diasingkan ke luar ibu kota Yogyakarta, sementara Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX menjadi tahanan rumah dan Panglima Angkatan Perang Jenderal Soedirman memimpin perang gerilya.
Keputusan Soedirman diikuti para Panglima Divisi di seluruh Indonesia dengan mengerakkan pasukan untuk menyerang pasukan Belanda yang terkonsentrasi di pusat-pusat kota. Pasukan Indonesia beberapa kali melancarkan serangan ke markas Belanda di beberapa kota, termasuk ibu kota Yogyakarta. Di antara serangan umum yang mendapat perhatian internasional adalah serangan umum pada 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol Soeharto atas perintah Panglima Divisi III Jawa Tengah dan Yogyakarta/Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng.
Perang antara Indonesia dan Belanda, tahun 1946 hingga 1949, dikenang dengan dua istilah, Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai agresi militer, sedangkan Pemerintah Belanda menyebutkannya aksi polisionil, yakni menangkap pelaku kejahatan. Dalam propaganda Pemerintah Belanda, Pemerintah Republik Indonesia, tentara nasional Indonesia, dan semua pejuang lainnya adalah para penjahat atau kaum ekstremis. Sementara Pemerintah Indonesia menyebut serangan Belanda terutama pada tahun 1947 dan 1948 sebagai agresi militer, yakni melancarkan serangan terhadap negara yang berdaulat.
Masyarakat internasional menyetujui penjelasan Pemerintah Indonesia bahwa yang dilakukan Pemerintah Belanda terhadap Indonesia pada tahun 1948 adalah sebuah agresi militer sehingga Pemerintah Belanda dipaksa untuk membebaskan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan semua menteri yang ditawannya, mengembalikan ibu kota Yogyakarta ,dan menyerahkan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia.
Presiden Joko Widodo sudah mengambil keputusan politik yang tepat untuk menjadikan Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai peringatan nasional dengan menerbitkan Kepres No 2/2022. Keputusan politik ini perlu dilanjutkan dengan kebijakan Mendikbudristek untuk memasukkan materi perang kemerdekaan sebagai materi pembelajaran sejarah di sekolah dengan durasi waktu yang proporsional untuk membangkitkan kebanggaan sebagai bangsa pejuang kepada generasi muda.
Abdul Syukur,Dosen Prodi Pendidikan Sejarah UNJ; Koorpus Penelitian Sosial, Ekonomi dan Humaniora LPPM UNJ; Ketua Umum P3SI (Perkumpulan Prodi Pendidikan Sejarah Seluruh Indonesia)