Meski tingkat inflasi di Indonesia masih terkontrol jika dibandingkan dengan inflasi di negara lain, perlu ada antisipasi kebijakan untuk mencegah stagflasi. Salah satunya dengan pengendalian harga.
Oleh
IMAM MUKHLIS
·4 menit baca
Perang Rusia dan Ukraina yang berlangsung sejak 24 Februari 2022 memberikan tekanan pada suplai bahan baku industri. Akibatnya, terjadi kenaikan harga yang cepat pada bahan bakar dan makanan. Kondisi ini dapat mempersulit kehidupan ekonomi di banyak negara.
Dalam kondisi seperti ini, risiko terjadi stagflasi dapat meningkat di banyak negara dunia yang dibayangi perlambatan pertumbuhan ekonomi. Secara teori, kondisi stagflasi ini ditandai oleh tingkat inflasi yang tinggi, pengangguran tinggi, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Bank Dunia pada awal Juni 2022 telah mengingatkan kembali akan momok stagflasi dalam perekonomian global.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per 1 Juli 2022 menunjukkan bahwa tingkat inflasi tahun kalender (Januari–Juni) 2022 sebesar 3,19 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Juni 2022 terhadap Juni 2021) sebesar 4,35 persen. Inflasi pada periode Mei 2022 sebesar 0,40 persen dan periode Juni 2022 naik menjadi 0,61 persen.
Makanan, minuman, dan tembakau memiliki andil terbesar dalam pembentukan inflasi, yakni 0,47 persen, disusul transportasi serta penyediaan makanan dan minuman/restoran masing-masing sebesar 0,03 persen.
Pada tingkat global terjadi kenaikan indeks harga komoditas global untuk komoditas energi, makanan, dan pupuk masing-masing sebesar 160,92; 159,04; dan 223,11. Indeks harga tersebut mengalami kenaikan sejak periode Januari hingga Mei 2022. Tingkat inflasi Indonesia masih terkontrol jika dibandingkan dengan inflasi di negara lain.
Menurut laporan BPS, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia periode Februari 2021 hingga Februari 2022 menunjukkan adanya penurunan dari 6,26 persen menjadi 5,83 persen. Jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 8,40 juta orang per Februari 2022.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam rilisnya 6 April 2022 memproyeksikan perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5,0 persen pada 2022.
Berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2022 mencapai Rp 4.513,0 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 2.818,6 triliun. Ekonomi Indonesia triwulan I-2022 terhadap triwulan I-2021 tumbuh 5,01 persen (y-on-y). Namun apabila dilihat dari kondisi triwulan I-2022 terhadap triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan 0,96 persen (q-to-q).
Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam rilisnya 6 April 2022 memproyeksikan perekonomian Indonesia diperkirakan tumbuh 5,0 persen pada 2022. Sedangkan Dana Moneter Internasional dalam rilis world economic outlook (April 2022) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN-5 sebesar 5,3 persen (meningkat dibandingkan dengan proyeksi 2021 sebesar 3,4 persen).
Ruang kebijakan akomodatif
Strategi penanganan terhadap dampak ketidakstabilan perekonomian global tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang terjadi di Eropa sebagai akibat dari konflik Rusia-Ukraina. Kondisi ini membawa dampak contagion effect ke negara-negara lain di luar kawasan, termasuk ke Indonesia.
Eropa yang menjadi pangsa pasar ekspor komoditas andalan Indonesia memberikan sinyal pelemahan permintaan impor. Kondisi ini berdampak pada aliran sumber daya ekonomi yang mengalami ketidaklancaran lintas negara. Status keterbukaan perekonomian Indonesia terhadap perekonomian global memberikan tekanan pada stabilitas perekonomian dalam menghadapi situasi yang bersifat volatility, uncertainty, complexity, ambiguity.
Antisipasi kebijakan pada saat itu adalah memperbaiki perekonomian dari sisi aggregate demand dengan meningkatkan belanja pemerintah dan tingkat bunga yang lebih rendah.
Pilihan kebijakan dapat dilakukan pada skala prioritas pada aspek stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Stabilitas ekonomi terkait dengan pengendalian inflasi, nilai tukar mata uang, kesempatan kerja, dan meningkatkan investasi. Pertumbuhan ekonomi terkait dengan terciptanya kegiatan ekonomi dan perluasan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan output perekonomian. Pemerataan ekonomi terkait dengan akses terhadap sumber daya ekonomi bagi masyarakat dan pendapatan bagi masyarakat yang inklusif.
Pelajaran dari peristiwa stagflasi yang terjadi pada 1970 dalam perekonomian di Amerika Serikat. Stagflasi yang terjadi karena adanya defisit anggaran yang besar, tingkat bunga yang rendah, embargo minyak, dan kurs mata uang yang melemah.
Antisipasi kebijakan pada saat itu adalah memperbaiki perekonomian dari sisi aggregate demand dengan meningkatkan belanja pemerintah dan tingkat bunga yang lebih rendah. Kebijakan lainnya dari sisi supply side, yakni melalui pemotongan pajak, pengurangan belanja pemerintah, dan deregulasi pasar dalam negeri.
Salah satu poin penting dalam antisipasi kebijakan adalah pengendalian harga (tingkat inflasi) dalam perekonomian. Dampak jangka pendek dari perang Rusia dan Ukraina adalah tingkat harga komoditas yang mulai meningkat baik komoditas pangan maupun komoditas energi. Kekhawatiran utama dalam kedua jenis komoditas tersebut adalah terjadinya kelangkaan.
Pengendalian harga pada kedua komoditas tersebut sangat penting untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri. Pemerintah dapat terus mempertahankan subsidi pada energi dan pangan dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat pada harga yang terjangkau.
Penguatan kapasitas fiskal menjadi sangat penting. Sektor moneter dalam menyediakan likuiditas keuangan pada harga yang terjangku juga penting agar high cost economy dapat dikendalikan. Pada akhirnya bauran kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang ekspansif dan mitigatif dibutuhkan agar tercipta fundamental perekonomian yang tahan dari terpaan stagflasi ekonomi.
Imam Mukhlis, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang; Ekonom Indonesia Economic Fiscal (IEF)