”Kompas”, Indonesia Besar, dan Transendensi Kemanusiaan
Indonesia sekarang dan masa depan adalah negara dengan masyarakat majemuk, Integrasi negara hanya dapat dijaga dengan sikap toleransi dan penghormatan atas perbedaan. Inilah ruang hidup yang asasi bagi Kompas.
Oleh
Ashadi Siregar
·4 menit baca
Harian Kompas, lahir 28 Juni 1965, publik yang menjadi ruang hidupnya dan rezim yang dihadapi dari tahun ke tahun, jelas berbeda dengan masa sekarang. Pada masa Orde Baru dengan sistem fasis-militeristik, Kompas harus hidup dengan dua napas. Pertama secara politik berjaga-jaga dari ancaman kekuasaan rezim yang sewaktu-waktu dapat mencabut izin terbit, dan kedua secara ekonomi mengembangkan hubungan dengan publik yang menjadi sumber kehidupannya. Syukur tiada henti, kendati pernah tersandung oleh pembredelan kekuasaan Orde Baru (Orba), Kompas kemudian dapat bertumbuh sebagai entitas besar korporasi media.
Era pasca-Orba sekarang, izin terbit sebagai momok yang menghantui media pers telah lenyap. Maka, sepenuhnya Kompas dapat berkonsentrasi menjaga hubungan sosiologis dengan publik sebagai pendukung bagi keberadaannya.
Pada konteks kemajuan teknologi digital dan perubahan pola hidup serta komunikasi, pengelola Kompas sudah menjawab disrupsi dengan tepat. Namun, betapa pun keberhasilan teknis dan ekonomis dicapai, persoalan yang dihadapi tetap bersifat klasik, yaitu kualitas produk jurnalisme.
Untuk menjaga marwah Kompas sebagai institusi sosial, sejak awal reformasi pada tahun 2000 manajemen membentuk lembaga ombudsman yang berfungsi internal bagi hasil kerja keredaksian. Ombudsman pada dasarnya berjalan seiring dengan khalayak setia agar Kompas tidak mengkhianati publiknya. Kesetiaan khalayak pada institusi pers karena adanya persepsi atas kredibilitas Kompas yang terbentuk dari pemberitaan selama bertahun-tahun.
Untuk menjaga marwah Kompas sebagai institusi sosial, sejak awal reformasi pada tahun 2000 manajemen membentuk lembaga ombudsman yang berfungsi internal bagi hasil kerja keredaksian.
Setiap organisasi media pers membangun kredibilitas melalui proses institusionalisasi dengan otonomi dan independensi dalam operasi jurnalisme untuk mencapai kebenaran dan obyektivitas faktual, dalam kerangka kerja kaidah yang berlaku secara universal, yaitu akurat, berimbang, dan adil. Tetapi, standar ini tidak cukup untuk membentuk institusi yang memiliki personalitas yang distingtif dalam persaingan media.
Menguji diri
Terbentuknya kesetiaan berasal dari kesesuaian ekspektasi khalayak dengan personalitas Kompas. Karena itu, demi personalitas ini, Kompas perlu menguji diri dalam dua pertanyaan kunci. Pertama: untuk apa kehadirannya, dan kedua: bagaimana menjalani kehidupannya. Ini diwujudkan dengan pendekatan makro dan mikro.
Dari sini diingatkan pernyataan salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama, bahwa Kompas adalah Indonesia Kecil. Untuk itu, keterikatan dengan Indonesia Besar tak boleh putus. Praksisnya dapat dipelajari dengan pendekatan kesejarahan. Ini dapat dipahami sebab Pak Jakob untuk waktu yang lama didampingi P Swantoro membesarkan harian Kompas. Keduanya berlatar belakang pendidikan sejarah, bahkan mengawali tugas profesional pada masa muda sebagai guru sejarah. Begitu pula salah satu pendiri Kompas, PK Ojong. Kendati berlatar belakang pendidikan hukum, dari tulisannya tecermin ketertarikan yang kuat pada peristiwa sejarah.
Ketiganya telah mendahului. Tetapi, peninggalannya, yaitu pemahaman dan pendekatan sejarah dari awal, sangat berarti dalam kerja jurnalisme Kompas dalam menghadapi dan mengolah fakta aktual. Kualitas informasi jurnalisme Kompas tecermin dari aktualitas yang ditempatkan dalam perspektif kesejarahan.
Bagaimana membayangkan Indonesia Besar? Keindonesiaan tidak dibentuk atas dasar etnis dan agama tunggal. Indonesia sekarang dan masa depan adalah negara dengan masyarakat majemuk yang terdiri atas multietnis dan multiagama, masing-masing memiliki tradisi yang menjadi dasar bagi nilai multikultural. Integrasi negara hanya dapat dijaga dengan sikap toleransi dan penghormatan atas perbedaan di antara etnis dan agama. Inilah ruang hidup yang asasi bagi Kompas. Kiranya perlu menjadi landasan perspektif dalam menghadapi dinamika dalam kehidupan publik sehingga Kompas akan sensitif terhadap setiap ancaman pada integrasi kebangsaan.
Pendekatan makro dari Indonesia Besar sebagai konteks keberadaan Kompas menjadi dasar dalam liputan isu politik, ekonomi, sosial, dan kultural. Ini diwujudkan pada orientasi ke dalam menjaga integrasi keindonesiaan masyarakat majemuk dan multikultural, dan ke luar orientasi pada kepentingan nasional. Orientasi ke dalam dan ke luar kiranya sebagai perspektif atas kebenaran dan obyektivitas menilai fakta. Selain itu, dapat pula dicatat kesungguhan Kompas dalam pengolahan isu-isu lingkungan yang perlu menjadi kepedulian bersama.
Adapun pendekatan mikro, yaitu pada kehidupan manusia, menjadikan nilai kemanusiaan transendental sebagai sudut pandang. Untuk itu, nilai kemanusiaan diterapkan dari dua sisi. Pertama tidak mengadili dengan standar normatif, dan kedua melihat setiap manusia memiliki nilai kesetaraan yang mengatasi standar realitas. Sikap ini diwujudkan melalui pilihan diksi dalam deskripsi naratif.
Cara pandang makro dan mikro ini perlu dijadikan dasar dalam menilai liputan pemberitaan melalui berbagai desk dan pilihan artikel opini penulis luar oleh redaksi Kompas.
Patut disyukuri bahwa media ini berada di tangan para jurnalis kompeten. Ini dapat dilihat dari hasil kerja redaksi secara teknis telah mengolah informasi yang memberi kejelasan faktual (istilah alm Pak Jakob: duduknya perkara) baik dengan jurnalisme konvensional maupun jurnalisme data, dan pemberitaan sesuai asas etika jurnalisme, yaitu kebenaran-obyektivitas.
Kalau masih ada ketidaktepatan dari sisi teknis atas informasi yang disajikan, agaknya perlu dilihat sebagai keseleo yang manusiawi, bukan dari intensi kebijakan keredaksian. Jelas perlu dikoreksi. Tetapi, lebih jauh, sebaiknya Kompas dibaca pada aras ideal, yaitu pemberitaan membawa khalayak media pada apresiasi menjaga nilai kebangsaan, multikultural dan toleransi, dan kepedulian pada lingkungan, serta nilai transendensi kemanusiaan.