Sejumlah petinju profesional pernah mengharumkan nama Indonesia. Perlu kerja keras untuk menghidupkan kembali dunia tinju yang mati suri saat pandemi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kemeriahan sekitar 1.000 penonton yang menyaksikan laga tinju profesional di Balai Sarbini, Jakarta, Jumat (1/7/2022) malam, memperlihatkan, tinju profesional tetap diminati meski mati suri beberapa tahun terakhir, terutama di masa pandemi Covid-19. Malam itu, penonton hadir menyaksikan lima laga tinju profesional, dengan duel Daud Yordan melawan petinju Thailand Panya Uthok untuk mempertahankan gelar kelas ringan super WBC Asia sebagai puncaknya.
Dalam usia 35 tahun, Daud Yordan masih menjadi petinju profesional Indonesia yang paling populer saat ini. Berbekal gelar juara kelas ringan super WBC Asia, juara dunia kelas ringan versi Organisasi Tinju Internasional (IBO) pada 2013, serta masih menjadi juara dunia kelas ringan super Asosiasi Tinju Internasional (IBA), menjadikan setiap duel Daud menarik untuk disaksikan.
Nama besar masih menjadi salah satu pemikat bagi peminat tinju, promotor, dan sponsor. Setidaknya empat nama petinju pernah mengharumkan nama Indonesia dengan menjadi juara dunia pada salah satu dari empat badan tinju utama, yakni Dewan Tinju Dunia (WBC), Asosiasi Tinju Dunia (WBA), Federasi Tinju Internasional (IBF), dan Organisasi Tinju Dunia (WBO).
Dimulai dengan Ellyas Pical, petinju Indonesia pertama yang menjadi juara dunia. Pical tiga kali menjadi juara dunia kelas super layang IBF pada 1985-1986, 1986-1987, dan 1987-1989. Disusul Nico Thomas, juara dunia kelas terbang mini IBF pada 1989, serta M Rahman di kelas terbang mini IBF (2004-2007) dan WBA (2011).
Banyaknya badan tinju dunia di luar empat badan utama memberi peluang besar pada petinju Indonesia untuk unjuk gigi.
Yang terakhir adalah Chris John, yang disebut-sebut sebagai salah satu petinju kelas bulu terbaik dunia pada masanya. Chris John 18 kali mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu WBA, sejak merebutnya pada 2003, hingga pensiun setelah kekalahan pertama dalam kariernya tahun 2013.
Selain itu, terdapat nama Suwito Lagola dan Ajib Albarado yang berprestasi pada Federasi Tinju Dunia (WBF) dekade 1990-an, serta Ongen Saknosiwi (IBA) dan Tibo Monabesa (IBA). Di tangan Daud, Ongen, dan Tibo, kini tersandang harapan prestasi tinju profesional Indonesia di dunia.
Banyaknya badan tinju dunia di luar empat badan utama memberi peluang besar pada petinju Indonesia untuk unjuk gigi. Tiga organisasi tinju profesional Indonesia, yakni KTPI, ATI, dan KTI perlu bersaing sehat untuk menelurkan petinju profesional yang tangguh dan berprestasi.
Bekerja sama dengan Kemenpora sebagai pembina olahraga, perlu diciptakan iklim yang positif yang bisa mendorong lebih banyak promotor muda untuk menggelar pertandingan. Prestasi petinju nasional, ditambah antusiasme penikmat tinju, akan menarik minat sponsor dan lembaga penyiaran untuk mendukung perkembangan olahraga ini.