Narasi Laut Nusantara
Indonesia sejatinya bukan negara kepulauan, tetapi wilayah lautan yang ditaburi pulau-pulau. Sayangnya, pemahaman ini masih sulit masuk ke kesadaran kolektif kita. Padahal, ini terkait kesadaran atas jati diri bangsa.
Setiap tanggal 2 Juli diperingati sebagai Hari Kelautan Nasional. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem laut bagi Indonesia. Hal ini penting sebab Laut itulah yang sesungguhnya menjadi ruang hidup manusia Nusantara sejak ribuan tahun yang lalu. Di sini pulalah narasi persatuan dan kesatuan antarpulau yang ada di Nusantara itu dijahit.
Fakta bahwa nenek moyang orang-orang Nusantara adalah pelaut bukan hanya terdapat dalam lagu atau dongeng, melainkan sudah bisa dibuktikan secara ilmiah.
Hasil penelitian mutahir terkait jalur kayu manis (Cinnamon Route) dan jalur rempah-rempah (Spice Route) yang tulis oleh Charles EM Pearce & Frances M Pearce dalam buku Oceanic Migration: Paths, Sequence, Timing and Range of Prehistoric Migration in the Pacific and Indian Oceans menunjukkan bahwa pelaut-pelaut Nusantara dengan perahu layarnya yang bernama perahu halmahera dengan cadik ganda (The Halmaherian double-outrigger) telah melakukan pelayaran hingga ke Madagaskar sejak ribuan tahun lalu. Bentuk perahu layar pelaut Nusantara ini masih terpampang di relief Candi Borobudur yang dibuat pada abad ke-8 Masehi dan masih digunakan sampai pada masa Kerajaan Majapahit berkuasa.
Baca Juga: Arus Utama Pemanfaatan Ruang Laut
Dengan kata lain, narasi kebangsaan Indonesia itu sebenarnya sudah terbentuk lama di wilayah ini. Itu sebabnya Bung Karno dengan sangat yakin mengatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang menjadi dasar NKRI itu, sebenarnya diambil dari masa 2.000 tahun yang lalu. Bahkan, M Yamin dalam buku 6000 Tahun Merah Putih mengatakan, corak persatuan itu sudah terwujud sejak dari 6.000 tahun yang lalu.
Hanya saja, sejak memasuki era kolonialisme bangsa Eropa, corak persatuan itu direduksi. Kita dipecah belah, baik secara vertikal maupun horizontal. Metode yang dilakukan para penjajah ketika itu bukan dengan menaklukkan pulau demi pulau, tetapi dengan merebut legitimasi lautnya.
Legitimasi laut Nusantara
Apabila ditinjau dari perspektif strategis, metode yang dilakukan oleh penjajah ini sebenarnya sangat tepat. Sebab, sebagaimana sejarah membuktikan, hampir semua kekuatan yang menguasai lautan Nusantara akan secara otomatis berpotensi membentuk karakter seluruh kepulauan di Nusantara.
Dahulu, ketika Empu Nala berhasil membangun kekuatan laut Majapahit, mereka langsung menjelma menjadi adidaya baru di Nusantara. Dengan adanya armada inilah, Patih Gadjah Mada berhasil mempersatukan Nusantara.
Memasuki abad ke-15, imperium Majapahit mengalami kemunduran setelah mengalami serangkaian perang saudara. Identitas laut Nusantara kemudian digantikan oleh Kesultanan Malaka.
Hampir semua kekuatan yang menguasai lautan Nusantara akan secara otomatis berpotensi membentuk karakter seluruh kepulauan di Nusantara.
Menurut MC Ricklefs, sejak adanya Malaka, seluruh komiditas di gugusan pulau Nusantara dikirim ke sin sehingga membentuk satu sistem jaring perdagangan tersendiri. Di Malaka, sistem perdagangan Indonesia itu dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan Laut Tengah; ke utara sampai ke Siam dan Pegu; serta ke Timur sampai ke China dan mungkin Jepang. Ini adalah sistem perdagangan yang terbesar di dunia masa itu (MC Ricklefs: 1991).
Dengan adanya Malaka, laut Nusantara makin semarak, progresif, dan makmur. Sejumlah kesultanan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Secara otomatis, kohesivitas antarpulau yang ada di Nusantara makin erat dan saling tergantung satu sama lain.
Lalu, pada November 1511, armada laut Portugis yang dipimpin Afonso de Albuquerque menyerang Malaka. Jumlah armada Portugis ketika itu hanya terdiri dari 1.200 personel, dengan 17 atau 18 kapal. Dengan kekuatan inilah Portugis mengambil alih hegemoni laut Nusantara, sekaligus membawa gugusan pulau yang ada di Nusantara memasuki fase terkelam dalam sejarah peradabannya, yaitu kolonialisme.
Baca Juga: Budaya Bahari untuk Mengenal Jati Diri Bangsa
Pada fase selanjutnya, metode yang sama juga kembali diulang VOC ketika mengambil alih dominasi di Nusantara dari tangan Portugis. Tidak perlu menaklukkan pulau-demi pulau, tetapi cukup ambil alih hegemoni lautnya. Maka, siapa pun akan mengambil alih kontrol atas seluruh interaksi antarpulau yang ada di Nusantara.
Meski begitu, jejak yang ditinggalkan Kesultanan Malaka di laut Nusantara tidak bisa sepenuhnya dihapus oleh kolonialisme. Alih-alih, apa yang ditinggalkan Malaka justru menjadi antitesis kolonialisme. Seperti bahasa Melayu yang merupakan lingua franca kehidupan sosial ekonomi di Nusantara pra-kolonialisme, kemudian menjadi instrumen komunikasi yang efektif dalam meracik ide persatuan dan menjahit ”perasaan senasib sepenanggungan” antara masyarakat di kepulauan Nusantara.
Kedua variabel ini (bahasa melayu dan perasaan senasib sepenanggungan) kemudian menjadi unsur utama penyusun ide persatuan nasional yang dideklarasikan dalam Sumpah Pemuda 1928. Pada 1945, nilai-nilai tersebut terobyektifikasi ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Maka, demikianlah nilai stratigis laut bagi bangsa Indonesia. Sayangnya, sejak awal kemerdekaan, terlebih ketika masa Orde Baru, orientasi pembangunan bangsa ini justru ke darat, bahkan cenderung memunggungi lautan.
Padahal, apabila kita cermati, Indonesia sejatinya bukan negara kepulauan, melainkan wilayah lautan yang ditaburi pulau-pulau. Sayangnya, pemahaman ini masih sangat sulit masuk ke kesadaran kolektif kita. Padahal, premis tersebut sangat substansial dan paradigmatik karena ini terkait dengan kesadaran atas jati diri bangsa.
Apabila kita gunakan kaidah definisi dalam logika, yang harus terdiri setidaknya atas genus (jenis) dan diferensia (faktor pembeda), bagi Indonesia ”lautan” adalah diferensianya.
Sejak awal kemerdekaan, terlebih ketika masa Orde Baru, orientasi pembangunan bangsa ini justru ke darat, bahkan cenderung memunggungi lautan.
Sebagaimana kita tahu bahwa segala sesuatu adalah unik. Itu sebabnya segala sesuatu memiliki ciri pembeda sehingga hal tersebut akan menjadi identitas dasar yang tanpanya ia akan kehilangan jati dirinya sebagai sesuatu itu.
Apabila dimaknai lebih jauh, faktor pembeda ini adalah sesuatu yang unik, sekaligus menjadi sumber eksistensinya. Sebab, hanya dengan itu dia bisa dirumuskan sebagai sesuatu secara definitif. Ketika definisinya sudah jelas, barulah dia bisa dikenali, kedudukannya diletakkan, dan nilainya ditentukan.
Dalam kasus Indonesia, jika ada sesuatu yang menjadi ciri pembeda negara ini dari negara lain di dunia, yang dengannya ia tidak bisa diartikan lain selain Indonesia, hal itu adalah lautannya, bukan pulau, gunung, ataupun hasil buminya. Dengan demikian, lautan adalah sumber eksistensi sekaligus juga jati diri bangsa Indonesia. Hanya di sinilah Indonesia secara hakiki bisa dikenali, dipahami, dan dimaknai.
Mungkin itu salah satu sebabnya mengapa setelah 77 tahun berdiri negara ini masih tergopoh-gopoh mencari formula untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan dalam Pancasila. Namun, alih-alih terwujud cita-cita nasional itu, sejumlah ironi malah terjajar di hadapan kita.
Sebagaimana kita tahu, wilayah negara ini dua pertiganya adalah lautan. Akan tetapi, negara ini rata-rata mengimpor garam setiap tahun mencapai 2,36 juta ton sejak 2010-2020. Warga negara lautan yang terletak di antara dua samudra ini ternyata lebih banyak mendapat asupan protein dari daging sapi impor daripada ikan segar yang memenuhi 1/3 wilayah kedaulatannya. Ini belum lagi apabila kita menjajarkan fakta tentang adanya ketimpangan ekonomi antarpulau hingga ancaman disintegrasi bangsa yang terus bereskalasi.
Jelas konsekuensinya, ketika konsep laut disamarkan dari imajinasi kebangsaan Indonesia, kita akan kehilangan orientasi dan, lebih gawatnya, akan terpecah belah dalam heterogenitas yang kompleks; kita akan menjadi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan seterusnya. Serta akan terperangkap dalam narasi persatuan yang rumit.
Baca Juga: Tamadun Maritim: Spiritual Nawacita
Sebenarnya kita cukup optimistis ketika lima tahun yang lalu Presiden Joko Widodo datang dengan konsep ”Poros Maritim Dunia”. Namun, sayangnya, setelah 5 tahun berlalu, konsep itu terus mengawang-awang, tidak jelas definisinya, apalagi wujud konseptualnya. Bahkan, dalam narasi kampanye Pilpres 2019, istilah itu sudah tidak lagi nyaring terdengar. Alih-alih, pemerintahan Jokowi periode pertama justru sibuk mengurusi sirkulasi daratan dengan membangun sejumlah infrastruktur jalan dan jembatan.
Memang ada sejumlah terobosan yang dilakukan pemerintah di bidang maritim, tetapi itu tidak terlalu signifikan apabila dibandingkan dengan pembangunan yang terjadi di daratan. Meski begitu, kita tetap berharap, setelah lima tahun membangun sejumlah infrastruktur daratan, inilah saatnya Jokowi menatap laut dan mulai mengorkestrasi gugusan pulau di Nusantara.
Sebab, semua jargon kebangsaan akan tak bermakna selama jati diri bangsa itu diabaikan dan bangsa ini tidak akan pernah menjemput takdir penciptaannya, sampai dia menjadikan laut sebagai paradigma pembangunannya. Selamat Hari Kelautan Nasional.
Wim Tohari Daniealdi, Dosen Hubungan Internasional FISIP Unikom Bandung