Tamadun Maritim: Spiritual Nawacita
Cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia akan tercapai jika berlandaskan pada kebijakan dan keyakinan akan kelautan dan kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Gemuruh ombak menderu-deru
Hanyutkan kelapa berbilang hari
Dengan semangat Indonesia yang baru
Tamadun maritim tercipta di negeri
Cita-cita Indonesia menjadi poros maritim dunia sebagai bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa dengan lima pilar poros maritimnya masih jauh dari realitas. Diperlukan sebuah visi di atas visi untuk mengawal azam bangsa ini.
Lima pilar poros maritim meliputi budaya maritim, pengelolaan sumberdaya laut, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim. Sebenarnya, apakah yang ingin dicapai ketika kelima pilar poros maritim dapat secara simultan dapat terbangun?
Jawabannya adalah sebuah peradaban di bumi Nusantara yang mengandalkan sumberdaya maritim untuk penyejahteraan masyarakat yang berkeadilan, tangguh, dan unggul dengan memelihara tata susila dan budaya serta spiritual yang tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kondisi majunya suatu peradaban disebut ’tamadun’ sehingga kemajuan peradaban berbasis kemaritiman dapat disebut tamadun maritim.
Tamadun maritim didefinisikan sebagai ”kondisi terbentuknya sebuah peradaban dengan mengandalkan sumberdaya maritim untuk penyejahteraan masyarakat yang berkeadilan, tangguh, dan unggul dengan memelihara tata susila dan budaya serta spiritual yang tinggi.”
Baca juga: Haluan Maritim untuk RPJPN 2025-2045
Cita-cita dan agenda di atas akan menjadi fokus Indonesia pada abad ke-21. Indonesia akan menjadi poros maritim dunia, kekuatan bangsa bahari yang sejahtera dan berwibawa dengan lima pilar poros maritim.
Pertama: budaya maritim Indonesia. Artinya, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitas, kemakmuran, dan masa depannya sangat ditentukan oleh kepiawaian mengelola laut dan samudera. Di bidang budaya, Indonesia memiliki banyak referensi sejarah dan literasi maritim.
Sebagai contoh, nilai-nilai kepelautan juga harus menjadi bagian revolusi mental. Bangsa maritim meyakini bahwa pelaut itu adalah seorang yang secara teknis sangat visioner, bagaimana pada malam hari dengan keyakinan akan tujuannya mereka mengendalikan kapal dengan aman. Pelaut juga displin dan bekerja dengan presisi tinggi.
Tentu ada banyak khazanah terkait budaya maritim. Dapat dibayangkan di kepulauan Nusantara ini berdiam 770 suku bangsa, 19 daerah hukum adat (rechtkringen), dan 726 bahasa.
Kedua, kita harus menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut, melalui pengembangan industri perikanan, dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Ketiga, pemerintah juga telah memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritim.
Keempat, diplomasi maritim yang tentu akan dapat meminimalisasi konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. Sebagai Maritime Nation Staat, Indonesia harus tangguh dan unggul di bidang pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim serta menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.
Jati diri maritim
Selain lima aspek di atas, ruh dari pelaksanaan pilar tersebut adalah tata susila dan spiritualitas yang tinggi sebagai bangsa bahari. Tata susila dalam konteks kemaritiman sederhananya adalah aturan berkepribadian dan berkelakuan sebagai bangsa maritim. Ini dimulai dari persepsi dan pemahaman kita akan jati diri maritim, bahwa ruang laut, kandungan kekayaan di bawahnya, serta ruang udara di atasnya adalah bagian tidak terpisahkan dari hidup dan kehidupan masyarakat Nusantara.
Masih banyak orang hari ini menganggap laut sebagai tempat yang sangat berbahaya ditakuti, bangsa pelaut harus menjadikan laut sebagai sahabatnya. Laut masih dianggap pemisah antara daratan-daratan, padahal laut adalah pengikat dan pemersatu daratan daratan di benua maritim Indonesia yang bernama Nusantara.
Aspek kesusilaan maritim juga dapat berupa upaya sadar mencegah dan mengurangi secara signifikan polusi laut dari segala jenis, terutama dari kegiatan berbasis darat, termasuk sampah plastik laut dan pencemaran lainnya. Pada gilirannya, penghormatan kita kepada segala aspek kemaritiman akan dapat melestarikan dan melindungi ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan untuk menghindari dampak buruk yang signifikan. Dalam konteks ini, termasuk upaya memperkuat ketahanan ekosistem dan pesisir, dan mengambil tindakan untuk restorasi ekosistem dan pesisir agar mencapai samudera yang sehat dan produktif.
Aspek spiritualisme dalam tamadun maritim merupakan internalisasi dan kristalisasi peran spiritualitas agama-agama yang masuk di Nusantara. Bahkan, sejak era animisme, Hindu, Buddha, Kristiani, dan Islam ada kesamaan cara pandang dalam upaya mengelola kemaritiman untuk kemaslahatan masyarakatnya. Perilaku masyarakat pada masa itu tidak terlepas dari peran para pemuka agama, guru, tokoh adat, dan lainnya dalam menata dan membina spiritualism masyarakat sehingga perilaku sosial masyarakat tidak keluar dari koridor ajaran agama.
Secara historis, Indonesia mengalami dua kali peradaban maritim, yakni pada jaman Sriwijaya dan Majapahit. Pada abad ke-18, kawasan Kepulauan Riau juga merupakan pusat tamadun maritim.
Baca juga: Negara Kepulauan dan Benua Maritim Indonesia
Proklamator kita, Soekarno, telah meletakkan dasar penting dalam upaya mengembalikan kejayaan historis dengan mengantarkan Indonesia melalui apa yang beliau sebut jembatan emas, yakni kemerdekaan. Sayangnya, meskipun telah menjadi suatu Nationale Staat, yakni negara kebangsaan yang menyatukan Sabang sampai Merauke, kita tidak menempatkan kebijakan dan keyakinan akan kelautan dan kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Beruntung pada pada era Jokowi program prioritas Nawacita telah mengajak segenap elemen bangsa agar kembali memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
Gunung Bintan jadi sebutan
Gunungnya tinggi tiada bertepi
Tamadun maritim jadi sebutan
Peradaban tinggi tak hanya mimpi
Agung Dhamar Syakti, Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji; Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia