Laut merupakan bagian tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mengenal budaya bahari menjadi sarana untuk mengenal lebih jauh jati diri bangsa.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/LASTI KURNIA
Miniatur perahu Janggolan pada Pameran Temporer Perahu Tradisional Nusantara di Museum Bahari, Jakarta, Selasa (3/12/2019). Pameran menggambarkan keberagaman perahu tradisional Nusantara, fungsi perahu, hingga teknologi rancang bangun perahu Asia Tenggara. Dalam pameran ini juga disertakan sejumlah paparan cerita dan visual tradisi masyarakat pesisir, rekaman jejak perahu tradisional zaman prasejarah, fungsi perahu dalam perdagangan Nusantara, dan aktivitas manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya menumbuhkan ingatan akan budaya bahari Nusantara kembali digiatkan. Budaya bahari dinilai berkaitan dengan upaya mengenal jati diri bangsa, melestarikan kearifan lokal, serta menguatkan identitas negara maritim.
Wacana ini mengemuka pada pembukaan Pameran Manusia Laut: Menemukan dan Mengenali Indonesia Melalui Budaya Bahari, Selasa (11/11/2021), secara daring. Pameran ini diadakan di Museum Kebaharian Jakarta sejak 26 Agustus hingga 31 Desember 2021. Pameran dapat diakses secara daring dan luring.
Menurut Direktur Pelindungan Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Irini Dewi, laut merupakan bagian tak terpisahkan bagi bangsa Indonesia. Lebih dari 17.000 pulau di Indonesia dihubungkan oleh laut dan membentuk budaya bahari.
Selama ini kita mendengar (istilah) jangan lupa daratan. Paradigma itu perlu dibalik bahwa kita juga tidak boleh membelakangi lautan. Sebab, laut adalah sumber kehidupan dan sumber potensi kekayaan.
TANGKAPAN LAYAR
Pameran Manusia Laut: Menemukan dan Mengenali Indonesia Melalui Budaya Bahari dibuka pada Kamis (11/11/2021) secara daring. Pameran ini diadakan di Museum Kebaharian Jakarta sejak 26 Agustus hingga 31 Desember 2021. Pameran dapat diakses secara daring dan luring.
Budaya bahari dimaknai sebagai kumpulan nilai, pengetahuan, kepercayaan, aktivitas, dan perilaku masyarakat yang hidup berdampingan dengan laut. Bangsa Indonesia pernah mengalami masa kejayaan bahari beberapa abad silam. Kejayaan itu meredup seiring berjalannya waktu.
”Selama ini kita mendengar (istilah) jangan lupa daratan. Paradigma itu perlu dibalik bahwa kita juga tidak boleh membelakangi lautan. Sebab, laut adalah sumber kehidupan dan sumber potensi kekayaan. Keragaman budaya masyarakat Indonesia pun karena keterhubungan pulau dengan laut,” kata Irini.
Itu sebabnya, ingatan masyarakat masa kini tentang budaya bahari dinilai perlu dihidupkan kembali. Pameran dapat menjadi media edukasi tersebut.
Pameran Manusia Laut: Menemukan dan Mengenali Indonesia Melalui Budaya Bahari dibagi dalam enam subtema. Masing-masing subtema menjelaskan soal budaya dan sejarah maritim, menjaga dan mengelola sumber daya laut, konektivitas maritim, diplomasi maritim, kekuatan pertahanan maritim, serta kondisi maritim saat ini.
TANGKAPAN LAYAR
Pameran Manusia Laut: Menemukan dan Mengenali Indonesia Melalui Budaya Bahari dibuka pada Kamis (11/11/2021) secara daring. Pameran ini diadakan di Museum Kebaharian Jakarta sejak 26 Agustus hingga 31 Desember 2021. Pameran dapat diakses secara daring dan luring.
Pameran itu juga menampilkan sejumlah koleksi Museum Kebaharian Jakarta. Beberapa di antaranya ialah kapal, perahu, biota laut, dan alat pancing tradisional. Ada pula lokakarya membuat miniatur kapal tradisional dan alat pancing tradisional bagi pengunjung.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana, budaya bahari yang berkembang di Indonesia berdampak pada keberagaman budaya bangsa. Ini tampak dari kearifan lokal yang diwariskan melalui folklor atau cerita rakyat.
Kurator pameran Noor Fatia Lastika mengatakan, folklor diartikan sebagai tradisi dan kepercayaan warga yang diwariskan secara turun-temurun. Folklor umumnya disampaikan secara lisan, baik dengan puisi, nyanyian, maupun bahasa. Ada pula yang disampaikan secara nonlisan, misalnya melalui pakaian, obat, makanan dan minuman, kerajinan tangan, karya arsitektur, serta musik.
Salah satu folklor yang masih hidup di masyarakat adalah perburuan paus di Desa Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan dilakukan pada musim tertentu saja, yakni Mei-Oktober atau ”Leva Nuan” (Kompas.id, 12/8/2020).
”Tradisi ini lestari karena tidak bersifat komersial dan berkaitan erat dengan ritual yang dipercaya dapat melancarkan rezeki. Paus tidak diburu besar-besaran. Paus muda dan yang sedang hamil tidak diburu. Selain itu, tidak semua jenis paus diburu karena ada beberapa jenis yang dinilai punya ikatan batin dengan masyarakat desa,” ucap Noor.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Inilah paus yang diburu masyarakat tradisional Lamalera. Dua paus ini mati beberapa waktu lalu di Pulau Raijua, Kabupaten Sabu Raijua. Masyarakat setempat tidak tahu mengonsumsi paus.
Menurut dia, hal ini menjadi contoh folklor untuk menambah pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan kearifan lokal. Tujuannya untuk kemajuan bangsa maritim ke depan. Ini karena folklor mengandung pengetahuan dan nilai-nilai untuk kehidupan sehari-hari.
”Pelestarian folklor kebaharianartinya juga pelestarian nilai-nilai tradisional yang membentuk karakter kita sebagai orang Indonesia,” ujarnya. ”Ini persiapan kita agar semakin layak menjadi negara maritim yang akar kebahariannya kuat.”