Melanggar protokol kesehatan, walau ada pelonggaran, bisa merugikan orang lain. Kita hendaknya menjalani kebebasan dengan menerapkan tanggung jawab, apalagi pandemi belum berakhir.
Oleh
TOTO TIS SUPARTO
·4 menit baca
Jumlah penambahan kasus harian kasus Covid-19 kembali menunjukkan tren kenaikan dalam beberapa hari terakhir dengan 500 lebih kasus yang dilaporkan hingga 13 Juni 2022. Rinciannya, pada 7 Juni berjumlah 518 kasus. Kemudian 8 Juni naik menjadi 520 kasus, 9 Juni kembali meningkat menjadi 556 kasus, dan 12 Juni mencapai 551 kasus, kemudian 13 Juni masih 551 kasus baru.
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 menduga tingginya mobilitas warga yang dibarengi longgarnya protokol kesehatan (prokes) menjadi salah satu penyebab kembali meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Ironisnya, angka 551 kasus tersebut tidak membuat masyarakat gentar. Sekarang, kalau kita perhatikan, kerumunan dalam event memberi kesan bahwa negeri ini sudah aman. Tak perlu ditakuti. Barangkali dalam benak banyak orang, sekarang sudah endemi! Lihat saja dalam perhelatan bulu tangkis Indonesia Masters 2022 ataupun Piala Presiden 2022, kerumunan bukan lagi hal yang menakutkan.
Merujuk kepada dugaan Satgas Penanganan Covid-19, tampaknya banyak di antara kita menempatkan ”kelonggaran” itu sama dengan ”kebebasan”. Masyarakat tengah menikmati kebebasan. Longgarnya pemakaian masker merupakan salah satu bentuk kebebasan dimaksud.
Kebebasan, kata K Bertens, kadang-kadang dimengerti (oleh masyarakat) sebagai kesewenang-wenangan (arbitrariness). Jika berpegangan pada pengertian ini, seseorang bisa berbuat bebas dengan sesuka hati tanpa keterikatan. Boleh juga disebut dengan berbuat ”semau gue”.
Empati
Celaka bilamana banyak orang berbuat ”semau gue”. Dalam konteks pandemi (yang belum menuju endemi), kita menyamakan kelonggaran dengan bertindak seenaknya. Kita mengumbar keinginan atas nama kelonggaran, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini, kita lupa akan empati.
Dari perspektif filsafat moral, empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Bilamana tidak ingin disakiti, kita tidak boleh menyakiti orang lain. Kita tidak ingin ditipu, maka jangan menipu orang lain. Jika kita tidak ingin dirugikan, ya jangan merugikan orang lain.
Apabila melanggar prokes, walau ada pelonggaran, sadarlah akan kerugian yang bakal diderita orang lain. Kita mungkin merasa sehat, tetapi bisa saja di kerumunan terdapat orang lain yang lebih rentan atau membawa komorbit. Berdasarkan empati, kita tetap menjaga kebersamaan agar tidak ada orang lain yang dirugikan. Empati adalah dasar bagi hidup bersama.
Kita mengumbar keinginan atas nama kelonggaran, bahkan dengan merugikan orang lain. Pada titik ini, kita lupa akan empati.
Tatkala kita terbiasa melihat dunia dari sudut pandang orang lain, alias berempati, maka kala ingin bebas, lebih cenderung kepada kehendak bebas (free will). Etikawan menyatakan, kebebasan ini erat dengan kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berasio. Ia mau berpikir sebelum bertindak. Dalam tingkah lakunya, ia tidak membabi buta, tetapi berkelakuan dengan sadar dan pertimbangan sebelumnya.
Jika manusia bertindak bebas, ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa sebabnya diperbuatnya. Berkat kebebasan ini, ia dapat memberikan suatu makna kepada perbuatannya (Bertens, 2007: 109).
Free will itulah yang membuat seseorang menjalani kebebasan dengan menerapkan tanggung jawab. Berdasarkan rasionya itu, ia akan mengedepankan tanggung jawab prospektif, yaitu tanggung jawab atas perbuatan yang akan datang. Ini berlawanan dengan tanggung jawab retrospektif, yakni tanggung jawab atas perbuatan yang telah berlangsung dan segala konsekuensinya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih banyak mengalami tanggung jawab retrospektif. Artinya, setelah berbuat, kita menyatakan tanggung jawabnya. Untuk kasus Covid seperti saat ini, yang dibutuhkan adalah tanggung jawab prospektif. Di sini, seseorang mempunyai tanggung jawab sebelum berbuat.
Misalkan, sebelum bertemu dengan banyak orang, kita bertanggung jawab atas konsekuensinya di belakang. Sadar akan konsekuensinya, kita pun bertanggung jawab dengan tetap memakai masker, mencuci tangan, ataupun prokes lainnya. Sebab, rasio membimbing kita bilamana tidak pakai masker atau tidak mencuci tangan, ancaman terpapar Covid-19 masih memungkinkan. Bukan saja untuk kita, tetapi juga orang lain.
Inilah tanggung jawab (prospektif) kita bersama saat Covid-19 masih ada. Berbeda saat masa darurat, pemerintah menerapkan aturan ketat sehingga masyarakat terkontrol dengan baik. Sekarang keadaan berbalik. Masih ada Covid-19, tetapi aturan telah dilonggarkan, mau tak mau yang mengontrol adalah diri kita sendiri. Kontrol yang paling tepat adalah tanggung jawab prospektif tadi.
Alangkah bagusnya jika tiap-tiap individu menerapkan tanggung jawab prospektif itu, maka terciptalah tanggung jawab kolektif. Inilah kekuatan bersama untuk secepatnya memasuki endemi.