Koalisi Prapemilu
Penting bagi partai membangun blok politik yang kuat sebelum kampanye pemilu mulai. Hal ini untuk menyediakan ”executive toolbox” bagi presiden terpilih guna mengonsolidasikan dan mengoordinasikan koalisi dan legislatif.
Pemilu nasional 2024—meskipun masih melibatkan pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota—adalah pemilu serentak nasional kedua di Indonesia setelah pemilu paralel 2019.
Jika merujuk pada teori Duvergerian, kini salah satu efek mekanisnya mulai terlihat: koalisi partai ”prapemilu”, yaitu kesepakatan di antara partai politik, terutama dalam rangka menghadapi pemilu presiden (pilpres), sebelum tahapan pemilu dimulai.
Koalisi prapemilu tidak bisa dipahami sebagai koalisi ”sebelum pemilu” yang bisa disalahpahami sebagai koalisi sebelum hari pemungutan suara. Atau juga bukan koalisi last-minute yang dibangun sebelum jam batas akhir pendaftaran (pencalonan) nama kandidat presiden dan wakilnya.
Koalisi partai yang dibentuk ketika tahapan pemilu dimulai, seperti pendaftaran calon anggota legislatif atau bahkan ketika kampanye sudah dimulai, tak akan bisa disebut koalisi ”prapemilu” karena fungsi dan efeknya akan jauh tereduksi.
Golkar, PAN, dan PPP yang telah bersepakat berada di bawah payung Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) untuk menghadapi ”hujan” elektoral Februari 2024 adalah salah satu contoh koalisi prapemilu. Terlepas dari berbagai spekulasi terkait dengan motif, tujuan, dan aktor politik di balik terlembaganya konsensus politik di antara ketiga partai tersebut, kita perlu merasionalisasi—sekaligus memproblematisasi—koalisi prapemilu bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Koalisi prapemilu tidak bisa dipahami sebagai koalisi ”sebelum pemilu” yang bisa disalahpahami sebagai koalisi sebelum hari pemungutan suara.
Namun, yang jelas, elite partai telah mengambil pelajaran betapa pentingnya membangun blok politik yang kuat sebelum kampanye pemilu dimulai. Bagaimanapun sistem presidensialisme menyediakan executive toolbox bagi presiden terpilih untuk mengonsolidasikan dan mengoordinasikan koalisi dan legislatif. Dalam perspektif anggota koalisi, toolbox inilah ”barang-barang politik” yang mereka cari.
Alat-alat eksekutif ini, baik berupa posisi di kementerian (ministerial portfolio) untuk merealisasikan platform politik, ”rampasan perang” (spoils of office) berupa akses terhadap proyek negara, misalnya, maupun ”distribusi kesejahteraan” (pork barrels), baik yang terlihat maupun tak tercium oleh publik.
PAN, misalnya, mengambil pelajaran penting dari ”puasa” kursi menteri sejak mereka tahu bahwa koalisi pascapemilu serentak tak sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Penyerentakan pemilu yang terlihat sederhana bagaimanapun adalah sebuah game changer yang memaksa politisi dan pemimpin partai untuk mengubah rumus politik antarpartai: dari wait-and-see ke prepare-early.
Meskipun demikian, efek psikologis pemilu serentak dari pemilih—linearitas preferensi partai dan capres yang sama atau straight voting—masih sangat mungkin tetaplah kecil atau campur aduk sebagaimana Pemilu 2019.
Hal ini wajar saja di dalam sistem proporsional terbuka di mana pemilih termobilisasi atau juga teraktivasi preferensi politiknya oleh para calon anggota legislatif yang bergerak mengikuti pendulum konstituen dibandingkan garis keputusan partai.
Pada 2019, para caleg di Sumatera Barat, umpamanya, lebih memilih diam atau bahkan terang-terangan mendukung Prabowo meskipun partainya mencalonkan Jokowi. Akhirnya, mitos coattail effect—kecenderungan pemilih memilih partai/caleg yang mendukung atau mengusung capres pilihannya—tidak bekerja.
Apalagi, pendekatan klientelistik yang dalam banyak kasus bekerja secara efektif dalam adu nasib elektoral oleh para caleg juga berkontribusi mengacaukan efek psikologis dari pemilu serentak.
Baca juga Komunikasi Kian Intens, Koalisi Demokrat-PKB-PKS Tinggal Tunggu Waktu
Perolehan kursi anggota Dewan tidak ditentukan oleh sejauh mana platform partai sampai pada pemilih dan mengakomodasi preferensi mereka; juga bukan sejauh mana partai mampu menyelaraskan pilihan capres konstituennya; dan juga bukan sejauh mana para caleg turun langsung berkampanye atau membedak citra mereka. Namun, nasib elektoral ditentukan oleh sejauh mana rupiah terdistribusi ke rumah-rumah.
Split voting ini sangat mungkin akan tetap terjadi pada 2024. Namun, koalisi prapemilu seperti yang dilakukan Golkar-PAN-PPP akan mereduksi perilaku memilih zig-zag tersebut. Partai anggota koalisi yang telah membangun kesepakatan dan kesepahaman sebelum tahapan pemilu dimulai akan lebih siap merekrut dan menyeleksi calon anggota legislatif yang tidak hanya berfungsi sebagai votegetter, tetapi juga party worker.
Selain caleg yang lebih disiplin dan pada saat yang sama kontributor suara bagi partai, koalisi prapemilu memungkinkan partai untuk merealisasikan agenda elektoral pokok yang berimplikasi positif bagi anggota koalisi: coalitional convention atau pemilu pendahuluan koalisi. Konvensi ”gotong royong” ini sudah jamak dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, seperti Peru dan Urugay, meskipun beberapa di antaranya adalah seremonial karena adanya kandidat kuat secara elektoral dari salah satu partai anggota koalisi.
Artinya, jika Gerindra berhasil membangun koalisi sebelum tahapan pemilu, pemilu pendahuluan koalisi akan lebih substansial menyasar cawapres. Sementara KIB yang tak punya kandidat elektoral secara kuat akan mendapatkan insentif melimpah jika melibatkan publik dalam menentukan capres ataupun cawapresnya.
Kandidasi yang inklusif—pencalonan yang ditentukan baik oleh anggota partai maupun populasi pemilih—dalam literatur selalu mengerek suara partai. Selera publik, dan bukan selera elite, dalam kandidasi, adalah kunci menang pemilu. Dan konvensi inklusif adalah cara penting untuk menangkap selera publik.
Meskipun wait-and-see itu sendiri merupakan strategi, terlalu lama menunggu juga akan berimplikasi pada hilangnya momentum; dan kesempatan bisa jadi tidak datang dua kali. Hal inilah yang menjelaskan koalisi prapemilu beserta dengan program-program elektoralnya dilakukan di banyak negara presidensial dengan desain pemilu serentak.
Pemilu pendahuluan oleh tiap-tiap partai—terutama Partai Republik dan Partai Demokrat—di setiap negara bagian di Amerika Serikat rata-rata dilaksanakan satu tahun sebelum pemilihan umum, begitu juga di banyak negara di Amerika Latin yang telah lama mengadopsi penyerentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif.
Kalkulus dan logistik politik dalam pembentukan koalisi bisa berimplikasi hingga lima tahun ke depan atau bahkan lebih.
Catatan saya bahkan ada sedikitnya 18 negara di Amerika Latin yang mengatur koalisi prapemilu ke dalam perundang-undangan mereka. Artinya, partai-partai dan pemilih di Indonesia akan merasakan efek positif bagi terbentuknya koalisi partai paling tidak satu tahun sebelum pemilu atau Februari 2023; atau selambat-lambatnya sebelum Mei 2023 yang konon agenda Komisi Pemilihan Umum adalah pendaftaran caleg.
Tentu, pembentukan koalisi partai berbeda dengan penyelenggaraan balap mobil atau balap motor di mana penyelenggara dan penonton dapat langsung membubarkan diri setelah balapan selesai. Kalkulus dan logistik politik dalam pembentukan koalisi bisa berimplikasi hingga lima tahun ke depan atau bahkan lebih.
Terakhir, beberapa studi bersikukuh bahwa partai-partai di Indonesia adalah alat para oligark dalam mempertahankan aset; dan pilpres adalah ”bursa politik” di mana mereka menanam saham pada setiap kandidat. Meski demikian, pelembagaan-pelembagaan elektoral seperti koalisi partai paling tidak menjaga fungsi pemilu sebagai mekanisme akuntabilitas publik: memilih kandidat (baca: partai atau koalisi partai) yang dianggap tak lebih buruk dari semua yang buruk.
Arya Budi, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Direktur Riset Poltracking Indonesia