Melawan Sindrom Tengkes
Meski angka tengkes di Indonesia turun menjadi sekitar 24,4 persen, persentase anak balita tengkes meningkat seiring dengan usia anak balita itu. Aksi-aksi nyata penanganan tengkes perlu dipercepat.
Pada 2015 Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO meluncurkan sebuah video edukasi publik berjudul stunting in a nutshell. Pada bagian pembuka disampaikan bahwa tengkes atau stunting merupakan fenomena yang tidak dapat disembuhkan. Video itu menjelaskan bagaimana tahapan tengkes terjadi pada seorang balita.
Jika seorang bayi selama berada dalam kandungan tidak memiliki asupan nutrisi yang baik dan atau ibu hamil mengalami infeksi berulang, saat dilahirkan bayi itu telah mengalami defisit tinggi badan sebesar 20 persen. Jadi, proses kejadian tengkes dimulai sejak dari kandungan.
Lalu ketika kekurangan zat yang dibutuhkan terus-menerus terjadi, defisit tinggi badan akan bertambah 20 persen ketika ia menginjakkan usia 6 bulan. Defisit tinggi badan ideal yang berlanjut tanpa penanganan akan semakin bertambah besar, menjadi 50 persen saat berusia 2 tahun dan kemudian akan bertambah 10 persen lagi saat menuju usia 3 tahun.
Total proses defisit tinggi badan tersebut berlangsung selama tiga tahun kehidupan seorang balita. Maka praktis, jika tengkes telah terjadi sejak dari dalam kandungan, hampir dapat dipastikan jika keadaan itu tidak dapat lagi dikoreksi tepat pada waktunya.
Baca juga: Memaknai Hasil Penilaian Tengkes di Indonesia
Data kita
Kondisi ini patut menjadi perhatian kita bersama karena jika merujuk kepada data yang ada, kita sedang berurusan dengan masalah yang begitu mengerikan dampaknya kepada anak-anak balita kita.
Benar bahwa angka tengkes di Indonesia telah turun menjadi sekitar 24,4 persen sesuai data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada akhir 2021. Namun, SSGI juga menunjukkan informasi yang jarang didiskusikan. Seperti senada dengan video dari WHO di atas, ternyata persentase anak balita tengkes di Indonesia meningkat seiring dengan usia anak balita tersebut.
Ternyata persentase anak balita tengkes di Indonesia meningkat seiring dengan usia anak balita tersebut.
Temuan SSGI, persentase tengkes pada anak balita usia 0-6 bulan adalah sebesar 0,70 persen, meningkat menjadi 7,5 persen pada usia 6 bulan-2 tahun, lalu sebesar 5,6 persen pada kelompok usia 2-3 tahun. Dan yang paling fatal adalah pada kelompok usia 3-5 tahun. Jika merujuk data WHO, di tahun 2021 sebanyak 10,5 persen anak balita yang tinggi badannya terlambat ditangani tepat pada waktunya alias kemungkinan besar permanen tengkes.
Tren angka-angka yang semakin membesar itu menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir sesungguhnya intervensi yang dilakukan belum berdampak banyak meskipun persentase total anak balita tengkes menurun dari 30,8 persen (Riskesdas 2018) menjadi 24,4 persen. Jangan-jangan persentase anak balita tengkes turun bukan karena intervensi, melainkan karena mereka sudah tidak lagi berusia balita. Maka, sesungguhnya, mereka yang secara permanen telah mengalami tengkes, jumlahnya jauh lebih besar daripada angka SSGI tersebut.
Tingginya angka tengkes yang masih begitu signifikan pada kelompok usia bayi baru lahir (0,70 persen) juga seolah memberi makna bahwa program 1.000 hari pertama dalam kehidupan yang selama ini digaungkan oleh pemerintah belum berdampak banyak. Sebab, masih banyak ibu melahirkan bayi dengan tinggi badan yang telah defisit sejak dari dalam kandungan.
Situasi ini jelas menyedihkan mengingat betapa besar dampak tengkes tersebut kelak pada kehidupan seorang anak. Dampak itu sering tidak disadari, seperti kita juga tidak menyadari angka-angka di atas. Benar bahwa ukuran tinggi badan seseorang masih bisa dikejar meski terlambat.
Baca juga: Cegah Tengkes Sebelum Genting
Andreas Georgiadis dan Mary E Penny pernah menulis di jurnal ilmiah The Lancet (2017), bahwa pertumbuhan seseorang masih bisa dikejar bahkan sampai berusia remaja. Namun, persoalannya, defisit kemampuan intelektual tidak serta-merta bisa mengiringi pertumbuhan tinggi badan yang terlambat.
Mereka yang di masa lalu pernah tengkes, mungkin masih dapat mencapai tinggi badan yang ideal kelak meski terlambat, tetapi tidak dengan kemampuan kognitifnya.Padahal kemampuan kognitif sangat bermanfaat dalam kehidupan seseorang terlebih di awal periode kehidupannya setelah berusia 5 tahun.
Maka, mau tidak mau, urusan tengkes yang sedang gencar-gencarnya digaungkan oleh pemerintah adalah urusan yang sangat serius bukan hanya bagi masa depan seseorang, melainkan juga bagi kepentingan kapasitas negeri kita kelak.
Mereka yang di masa lalu pernah tengkes, mungkin masih dapat mencapai tinggi badan yang ideal kelak meski terlambat, tetapi tidak dengan kemampuan kognitifnya.
Sindrom tengkes
Namun, apa itu mudah?
Kita masih berhadapan dengan persepsi publik yang belum terbuka mata dan semangatnya untuk melawan tengkes. Saya pernah berhadapan dengan kalangan media yang belum bisa mengerti sekalipun mengenai data tengkes ini dari sudut pandang yang baik. Saya juga pernah berhadapan dengan anggota-anggota partai politik yang belum memahami sebenarnya apa yang sedang kita hadapi.
Padahal, bayangkan jika awak media menulis dengan penuh semangat mengedukasi mengenai tengkes dengan benar, dampaknya akan sangat kencang, akan menimbulkan kepedulian yang lebih baik pada setiap pemangku kepentingan. Bayangkan juga jika partai politik terlibat di dalam mengedukasi kelompok sasaran strategis yang ada di wilayahnya, pastilah masalah tengkes ini akan dapat diatasi bersama-sama.
Situasi kita mirip seperti gejala ”sindroma tengkes”. Istilah ini dipakai oleh pakar kesehatan anak, Andrew JP dan Jean HH, dalam publikasi laporan mereka yang berjudul ”The Stunting Syndrome in Developing Countries” (2014). Mereka menjelaskan bahwa tengkes itu seperti lingkaran setan. Ibu yang di masa lalu mengalami tengkes, cenderung memiliki generasi berikutnya yang juga tengkes. Kondisi ini menghasilkan sebuah lingkaran kemiskinan antar generasi yang sulit dihentikan. Seperti sebuah kondisi yang dianggap normal saja. Dan itu diterima begitu saja karena dianggap seperti itulah yang terjadi.
Banyak orang saat ini pun menyebut kata tengkes seperti kata biasa saja. Latah karena pemerintah telah melakukan kampanye besar-besaran, bahkan telah menentukan target capaian di tahun 2024. Tidak banyak yang paham, betapa fatalnya masalah ini dalam kehidupan kita sebagai bangsa, sebagaimana dijelaskan di atas.
Tengkes itu seperti lingkaran setan. Ibu yang di masa lalu mengalami tengkes, cenderung memiliki generasi berikutnya yang juga tengkes.
Siapa yang peduli kepada mereka yang telah mengalami tengkes dan kini telah berusia di atas tiga tahun? Siapa yang peduli kepada ibu-ibu hamil yang mungkin tak mendapatkan asupan gizi yang memadai supaya dapat melahirkan anak dengan tinggi badan sesuai dengan seharusnya?
Kita menghargai aksi-aksi penanganan tengkes yang dilakukan pemerintah. Namun, aksi-aksi nyata sebenarnya perlu dipercepat karena korban tengkes terus-menerus terjadi. Jika menurut BKKBN 10.000 bayi lahir setiap hari di Indonesia (Kompas.com 18/2/11), dan jika angka tengkes mencapai 0,70 persen pada kelompok usia 0-6 bulan, perkiraan kasarnya total ada 12.600 anak balita telah mengalami tengkes dalam enam bulan terakhir. Ini jelas menyedihkan. Ibaratnya seperti sebuah pesawat ATR berkapasitas 70 orang, isinya anak balita di bawah usia 6 bulan diangkut terbang setiap hari. Semua tengkes!
Baca juga: Tengkes dan Derajat Perempuan
Kita perlu lebih mempercepat penanganan tengkes ini. Pemerintah perlu mengajak lebih banyak pengusaha berinvestasi di dalam edukasi tengkes, menyediakan sarana air bersih, sarana buang air besar (BAB), bahkan mengorganisasi pemeriksaan dan pemantauan kesehatan ibu hamil.
Pemerintah perlu mengajak awak media untuk meliput dan mengedukasi masyarakat agar sadar tengkes. Pemerintah perlu mengajak elemen organisasi sosial keagamaan dan politik untuk menggunakan saluran yang mereka miliki agar masalah tengkes ini bisa diselesaikan dalam waktu yang tinggal sedikit lagi.
Kita perlu menggelar kebersamaan, karena hanya dengan bersama, kita bisa menyelamatkan anak-anak kita dari dampak fatal tengkes.
Cashtry Meher, Ketua Umum Yayasan Cahaya Peduli Semesta Indonesia.