Upaya penurunan prevalensi tengkes seharusnya sekaligus mengangkat posisi perempuan. Perlu intervensi norma jender agar perempuan mendapatkan derajat kesehatan fisik yang baik sehingga dapat melahirkan anak yang sehat.
Oleh
FOTARISMAN ZALUCHU
·6 menit baca
Ketika mengunjungi Provinsi Nusa Tenggara Timur yang disebut Kompas sebagai ”lumbung stunting tertinggi nasional” (Kompas, 23/3/2022), Presiden mengingatkan ulang jika target penurunan stunting atau tengkes secara nasional berada di angka 14 persen pada 2024. Berdasarkan data terakhir, prevalensi tengkes di Indonesia saat ini masih berada di angka 24,4 persen. Oleh karena itu, Presiden mendukung upaya untuk mengedukasi calon pengantin sebagaimana telah menjadi tanggung jawab Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
Kita patut menghargai perhatian besar Presiden terhadap tengkes ini. Sampai-sampai Presiden berkunjung ke tempat yang digambarkan seperti lokasi akar masalah dan sekaligus memberikan arahan penting untuk diingat terus oleh seluruh pihak. Itu tanda keseriusan.
Namun, saya justru khawatir, karena Presiden telah memberikan atensi yang begitu besar, seluruh sumber daya yang ada hanya sibuk mengejar penurunan prevalensi, yaitu 14 persen tersebut. Lupa kalau masalah tengkes berarti menyangkut perempuan. Lupa kalau penurunan prevalensi tengkes seharusnya sekaligus mengangkat posisi perempuan.
Mengapa perempuan? Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa kondisi yang terjadi pada perempuanlah yang memicu terjadinya tengkes. Analisis dari satu basis data yang penulis lakukan mengidentifikasi lebih dari 100 hasil penelitian dalam 5 tahun terakhir saja dan memperlihatkan berbagai kondisi fisik perempuan yang meningkatkan risiko tengkes. Kondisi tersebut adalah rendahnya pendidikan ibu, usia menikah ibu kurang dari 20 tahun, fisik ibu yang kurus, konsumsi gizi ibu yang kurang sebelum dan selama hamil, serta status kesehatan perempuan yang rendah.
Yang menarik adalah basis data yang sama juga menunjukkan bahwa kondisi fisik di atas tidak dapat dilepaskan dari kondisi psikologis perempuan. Apa sajakah itu? Sederetan bukti ilmiah memunculkan beberapa hal: otonomi perempuan yang rendah, depresi yang terjadi pada perempuan, pengambilan keputusan mengenai kesehatan yang tidak ada di tangan perempuan, pandangan norma jender yang rendah pada perempuan itu sendiri, dampak akibat kekerasan dalam rumah tangga, serta perempuan yang tidak berdaya dalam kehidupan sosial.
Mengatasi tengkes bukan hanya dengan meningkatkan kesehatan fisik perempuan semata. Justru perempuan mengalami masalah kesehatan karena rendahnya posisi mereka, baik di rumah tangga maupun komunitas.
Dengan demikian, mengatasi tengkes bukan hanya dengan meningkatkan kesehatan fisik perempuan semata. Justru perempuan mengalami masalah kesehatan karena rendahnya posisi mereka, baik di rumah tangga maupun komunitas. Marjinalisasi hak perempuan telah mengasingkan perempuan dari hak-hak dasarnya, yaitu setidak-tidaknya mendapatkan makanan yang sehat bergizi selama hamil, bahkan sebelum hamil.
Itulah penjelasan paling sederhana mengenai terjadinya tengkes. Perempuan di masa hamilnya hanya mendapatkan makanan dengan kualitas paling buruk, beristirahat paling sedikit, tetapi bekerja paling banyak karena norma jender yang ada di sekitarnya membenarkan hal itu.
Maka, dapat diasumsikan, penanganan tengkes melulu hanya melalui PMT (pemberian makanan tambahan), tablet zat besi selama hamil, bahkan asupan gizi dengan protein dosis tinggi tidak menjadi jaminan kesehatan perempuan yang paripurna. Perlu intervensi pada norma jender sehingga seluruh komunitas mendukung perempuan untuk memiliki derajat kesehatan fisik yang lebih baik. Di berbagai macam komunitas dengan prevalensi tengkes besar, seperti dapat dilihat pada pola sebaran prevalensi tengkes, makin buruk kesehatan fisik ibu, diduga kuat derajat keberpihakan kepada perempuan di tempat itu juga rendah.
Maka, bagi saya, intervensi tengkes tanpa mengangkat derajat perempuan hanya melestarikan penggunaan tubuh perempuan sebagai obyek upaya kesehatan semata. Itu sama saja dengan merendahkan perempuan. Di masa lalu, target program Keluarga Berencana (KB) pernah berhasil dicapai.
Namun, waktu itu dengan menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek semata. Perempuan dipaksa ber-KB di bawah ancaman berbagai macam norma. Penurunan tengkes saat ini pun bisa berhasil sesuai target 14 persen, tetapi tanpa penguatan posisi perempuan, tanpa keberpihakan kepada perempuan. Ini jelas sangat menyedihkan karena era ini seharusnya memiliki paradigma yang jauh lebih baik.
Kedua kondisi yang menimpa perempuan itu, baik masalah fisik maupun masalah pada posisi perempuan, di masing-masing wilayah konfigurasinya pasti berbeda-beda meski satu sama lain erat terkait. Di Provinsi NTT mungkin kesehatan perempuan selama hamil serta pendidikan yang rendah yang mendominasi karena pandangan mengenai perempuan sebagai pekerja untuk keperluan ekonomi rumah tangga.
Sementara di Provinsi Sumatera Utara, kurang gizi pada ibu hamil mungkin terjadi karena norma jender yang membuat perempuan tidak memiliki rasa percaya diri. Di Papua mungkin faktor lain dan di Kalimantan Tengah mungkin faktor lain lagi meski sama-sama kombinasi fisik-norma. Kombinasi faktor-faktor fisik-norma jender pada perempuan yang berhubungan dengan tengkes ini seharusnya dianalisis, dipetakan, lalu diintervensi.
Sayangnya pendekatan seperti ini justru terlupakan. Intervensi tengkes terlalu generik, seolah pendekatan dengan menyebut istilah ”sensitif” dan ”spesifik” sudah mewakili apa yang diperlukan. Jangan-jangan, kedua jargon itu pun sering tidak dipahami di lapangan.
Intervensi
Pun dalam upaya menangani masalah tengkes, beragam penelitian juga sudah memberikan semacam cetak biru (blue-print). Pertama, tentu karena ini menimpa perempuan, maka seharusnya upaya menanganinya juga melibatkan perempuan. Ini bukan hanya konsep di atas kertas. Ini bisa dipraktikkan. Contoh sederhana, jika mau membangun sumur air bersih, tanyalah kepada perempuan sejauh mana mereka bisa berjalan menuju sumur itu. Sebab, jika itu tidak dapat diakses oleh perempuan, sia-sialah solusi yang diberikan.
Demikian juga jika ingin mengajarkan pembuatan bahan pangan tinggi gizi, libatkanlah perempuan. Dalamilah apakah cara pembuatannya akan menyita waktu mereka selain dari mengurus rumah tangga, apakah bahan tersebut mudah didapatkan, dan apakah bahan tersebut tidak rumit dalam pembuatannya. Perempuan harus dijadikan rekan dalam menyelesaikan tengkes.
Kedua, tengkes berhubungan dengan peningkatan kapasitas perempuan. Kapasitas perempuan tidak meningkat dengan banyaknya rapat-rapat tim teknis tengkes seperti sering penulis lihat. Rapat sedikit, lalu rapat lagi. Terus-menerus seperti itu, sementara tengkes makin lama makin tak tertangani. Akibatnya, biaya rapat membengkak, anggaran habis, sementara prevalensi tengkes makin besar.
Pemerintah seharusnya melatih perempuan melalui lembaga keagamaan, perempuan diberikan keterampilan dan pendidikan gizi melalui kelompok masyarakat mereka, perempuan seharusnya ditingkatkan kemampuan dan otonominya melalui keterlibatan mereka pada organisasi-organisasi pemberdayaan yang terjun langsung mengasah kepercayaan diri perempuan. Kisah-kisah sukses penyelesaian masalah kesehatan menggunakan kelompok-kelompok pemberdayaan perempuan telah tersebar di berbagai macam publikasi dan mudah dipelajari. Kelemahan pendekatan pemerintah dalam menangani tengkes ini adalah terlalu bertele-tele soal konsep, pendekatan sangat elitis, dan, maaf, bukan memberdayakan perempuan.
Maka, saya mengusulkan kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden Joko Widodo, untuk membuat dua indikator tambahan capaian tengkes. Kedua indikator itu memuat setidak-tidaknya gambaran peningkatan derajat-martabat perempuan dan gambaran peningkatan keterlibatan organisasi perempuan dalam program-program tengkes. Kedua indikator tersebut harus disandingkan dengan prevalensi tengkes di masing-masing daerah, baik saat ini, sebagai pemonitoran, maupun ketika kelak dilakukan evaluasi di tahun 2024. Apalah target penurunan tengkes jika posisi perempuan tetap tidak berubah.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial FISIP Universitas Sumatera Utara; Penggiat di Perkamen