Data angka prevalensi tengkes bisa berbeda. Padahal, besaran angka prevalensi tengkes berpengaruh kepada para pelaksana program di lapangan dalam menilai sejauh mana efektivitas program yang dilakukan selama ini.
Oleh
VENI HADJU
·4 menit baca
Sejak pengumuman hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tanggal 27 Desember 2021, banyak pihak yang mempertanyakan hasil ini. Penyebabnya adalah hasil yang diumumkan ini berbeda dari apa yang ditemukan di lapangan melalui aplikasi e-PPGBM (elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat).
Banyak daerah yang mengklaim telah menurunkan tengkes (stunting) secara signifikan berdasarkan e-PPGBM, tetapi berdasarkan SSGI tidak seperti itu. Diperlukan pemahaman yang baik terhadap perbedaan hasil penilaian dari kedua pengukuran ini.
Aplikasi e-PPGBM merupakan aplikasi untuk pencatatan dan pelaporan hasil pengukuran status gizi yang dilakukan masyarakat (kader). Aplikasi ini mulai diperkenalkan pada tahun 2017 dan terus dikembangkan sehingga pada tahun 2021 menjadi lebih baik dalam penggunaannya.
Aplikasi ini dibuat untuk mempermudah kader melaporkan hasil pengukuran di posyandu dan sekalligus mempermudah petugas gizi di puskesmas sampai pemegang program gizi di kabupaten, provinsi, dan nasional dalam memantau status gizi anak balita (bawah lima tahun). Hanya, kualitas data yang dimasukkan dalam aplikasi ini agak rendah mengingat diukur oleh kader yang umumnya tidak terlatih, alat ukur yang tidak standar, serta supervisi yang terbatas.
Sangat berbeda dengan pelaksanaan survei nasional yang memang ditujukan untuk evaluasi program. Survei status gizi secara nasional sebelumnya diperoleh melalui Riskesdas, sejak tahun 2007, 2013, dan 2018. Seterusnya pada 2019 dan 2021 melalui SSGI. Sebagai kebutuhan evaluasi di tingkat nasional sampai kabupaten/kota, survei ini didesain agar jumlah sampel mewakili sampai di tingkat kabupaten/kota.
Pelaksanaan survei ini melibatkan petugas lapangan (enumerator) dengan latar belakang pendidikan gizi (minimal diploma tiga ilmu gizi). Mereka memperoleh pelatihan yang optimal serta menggunakan alat ukur yang terstandardisasi. Selain itu, terdapat satu supervisor yang terlatih untuk setiap kabupaten dalam menjamin kualitas pengumpulan data di lapangan.
Kedua pengukuran di atas jelas tidak dapat dibandingkan karena memiliki karakteristik dan tujuan yang berbeda. Aplikasi e-PPGBM menjangkau seluruh balita di desa untuk monitoring status gizi oleh petugas gizi atau kader. Sementara survei nasional ditujukan untuk evaluasi program dengan prosedur pengukuran yang terstandardisasi.
Aplikasi e-PPGBM memiliki keunggulan karena data tersedia by name by address sehingga dapat digunakan untuk intervensi gizi dengan cepat. Selain itu, data ini menjadi dasar perencanaan yang dilakukan oleh kabupaten saat melakukan analisis situasi setiap awal tahun. Kesalahan yang terjadi selama ini adalah data e-PPGBM dibandingkan dengan data survei sebagai data evaluasi program.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Anak-anak menderita gizi buruk di Kecamatan Biboki Timor Tengah Utara saat menerima paket bantuan dari Dana Kemanusiaan Kompas, Juli 2017.
Evaluasi tengkes
Evaluasi program penanggulangan tengkes yang dilakukan setiap akhir tahun adalah salah satu pilar penanggulangan tengkes yang sangat penting. Perolehan besaran angka prevalensi tengkes akan memberikan pengaruh kepada para pelaksana program di lapangan dalam menilai sejauh mana yang efektivitas program yang telah dilakukan selama ini. Dengan evaluasi ini dapat diputuskan mana yang harus dilanjutkan atau yang harus diperbaiki untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Hanya, kemampuan dalam melihat kekurangan dan kesalahan dalam melaksanakan suatu program memerlukan analisis yang dalam. Tidak jarang kita melihat daerah yang melakukan kesalahan yang sama dari tahun ke tahun. Banyak program yang tidak efektif, tetapi masih tetap dilaksanakan tanpa ada perbaikan yang berarti.
Banyak program yang tidak efektif, tetapi masih tetap dilaksanakan tanpa ada perbaikan yang berarti.
Salah satu kesalahan yang juga terlihat adalah keinginan para pengambil kebijakan untuk melihat penurunan prevalensi tengkes yang drastis dari tahun ke tahun. Itu juga memicu mengapa data e-PPGBM dipakai sebagai evaluasi program karena pada umumnya data e-PPGBM memberikan hasil prevalensi yang rendah.
Contohnya, ada satu daerah yang melaporkan telah terjadi penurunan dari 30 persen (SSGI, 2019) menjadi 9 persen berdasarkan e-PPGBM di tahun 2021. Hasil SSGI 2021 memperlihatkan daerah ini hanya turun ke angka 26 persen. Sebenarnya penurunan ini sangat wajar mengingat hambatan pandemi yang melanda seluruh daerah sehingga mempersulit penangangan tengkes khususnya dalam dua tahun terakhir.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Dokter memeriksa perkembangan kesehatan setiap anak yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Agats, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Sabtu (27/1). Pengobatan dan perawatan dilakukan intensif oleh tenaga medis dan dokter bagi anak-anak yang menderita campak dan gizi buruk.
Penurunan prevalensi tengkes butuh waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Pengalaman di beberapa negara berkembang memperlihatkan waktu 10-20 tahun dengan upaya yang komprehensif dan terintegrasi untuk sampai di bawah angka prevalensi 10 persen. Proses menuju ke angka yang rendah seperti Thailand (13 persen, 2018) dan Singapura (4 persen, 2000) adalah mimpi yang masih panjang.
ARSIP FKM UNHAS
Veni Hadju
Namun, kita harus semakin yakin bahwa upaya yang telah kita lakukan selama ini telah memperlihatkan hasil walaupun belum maksimal. Diperlukan waktu yang cukup serta kerja cerdas untuk mencapai mimpi itu. Semoga semangat kita dalam menurunkan tengkes ini terus berkobar sampai tiba pada target yang telah kita ikrarkan bersama.
(Veni Hadju, Guru Besar Ilmu Gizi, FKM Unhas dan Tim Ahli Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Sulawesi Selatan)