Meski konstelasi politik tak lagi ideal untuk memberantas korupsi, bangsa ini, khususnya masyarakat sipil, tak boleh lelah menyuarakan bahaya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian merajalela.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi atas terdakwa Samin Tan. Samin Tan pun bebas.
Sebelumnya, Samin Tan dijerat dalam perkara gratifikasi dengan terdakwa Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih. Dalam harian Kompas, Selasa (14/6/2022), memang ada uang Rp 4 miliar. Eni disebutkan menerima uang dari Direktur PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Nenie Afwani dan Indri Savatri Purnama Sari. Uang diterima melalui Tahta Maharaya selaku tenaga ahli di DPR.
Dalam resume persidangan, tidak jelas konteks yang Rp 4 miliar. Ada komunikasi antara Eni dan Samin Tan. Namun, karena ketidakjelasan status uang Rp 4 miliar itu untuk apa dan diperuntukkan siapa, Samin Tan bebas. Putusan MA hanya memperkuat putusan Pengadilan Korupsi yang justru mengonstruksikan pengusaha batubara sebagai korban pemerasan. KPK harus melakukan peninjauan kembali.
Putusan bebas Samin Tan oleh Pengadilan Korupsi dan diperkuat MA hanya mengonfirmasi temuan sejumlah lembaga survei, bahwa tren pemberantasan korupsi di Tanah Air dalam tren menurun. Survei terakhir Charta Politica menyebutkan, tren pemberantasan korupsi sedang menurun dari waktu ke waktu.
Menurunnya tren pemberantasan korupsi di Tanah Air juga seiring dengan menurunnya kepercayaan publik kepada KPK. KPK, lembaga produk reformasi yang pernah disegani, kini justru kedodoran. KPK sedang bergulat dengan masalah etika komisionernya. Kepercayaan publik kepada KPK tergolong paling rendah dibandingkan dengan penegak hukum lain, seperti Polri dan Kejaksaan Agung. Situasi ini memprihatinkan sekaligus mencemaskan.
Pada level penegak hukum, wafatnya hakim agung Artidjo Alkostar menciptakan kekosongan elite yang mempunyai keyakinan kuat soal berbahayanya korupsi. Sosok Artidjo, hakim killer terhadap koruptor, memang dimusuhi koruptor, tetapi sangat dibutuhkan di negeri ini. Dukungan pemimpin nasional pun kian meredup. Kekuatan politik telah mengacak-acak KPK sehingga lembaga produk reformasi itu telah kehilangan wibawanya. Gelombang balik antikorupsi sedang terjadi. Perwira korup tetap dipertahankan.
Tren penurunan pemberantasan korupsi harus dibalikkan. Perlu kekuatan masyarakat sipil, dunia kampus, untuk mengingatkan betapa berbahayanya korupsi yang bisa mengganggu kredibilitas pemerintahan. Meski komitmen elite mengendur untuk memberantas korupsi, langkah kecil di dunia kampus yang berkomitmen menarik ijazah lulusannya yang terbukti korupsi bisa saja memberikan perlawanan moral terhadap ketidaksungguhan elite negeri melawan korupsi.
Meski konstelasi politik tak lagi ideal untuk memberantas korupsi, bangsa ini, khususnya masyarakat sipil, tak boleh lelah menyuarakan bahaya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kian merajalela. Ketika hukum formal tak lagi berdaya, hukuman sosial, berupa pengucilan sosial, mungkin perlu dipikirkan untuk melawan perilaku korup yang menyengsarakan.