Kearifan KPK Versus Kearifan Lokal
Penegakan hukum tanpa mempertimbangkan aspek budaya akan menjadikan negara otoriter dan hukum menjadi tak manusiawi. Tetapi mengutamakan kebudayaan saja tidak cukup manakala orang-orang jahat tak lagi punya mata batin.
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dan menahan bekas Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap Haryadi Suyuti yang baru beberapa hari lengser dari jabatannya sebagai orang nomor satu di Kota Yogyakarta itu merupakan prestasi tersendiri. KPK sekali lagi membuktikan bahwa tidak ada daerah di negeri ini yang steril penindakan kasus korupsi, tidak juga di Yogyakarta.
Tahun 2020 merupakan tahun KPK mulai masuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menindak kasus korupsi. Pada waktu itu, seperti dilansir beberapa media, Yogyakarta disebut-sebut bukan lagi ”daerah istimewa” yang bebas dari penindakan KPK.
Jaksa KPK Wawan Yunarwanto mengakui bahwa sampai 2020, DIY banyak mendapatkan penghargaan antikorupsi bahkan menjadi satu-satunya provinsi yang tak pernah mengalami penindakan KPK. Yang menarik, mengenai penindakan kasus korupsi oleh KPK pada 2020 itu dikomentari oleh Wawan, ”Kami ingin memperbaiki Yogya (DIY) biar tetap istimewa. Ini bisa jadi terapi kejut untuk Yogya.”
Baca juga: Misteri Tumpukan Dokumen Saat KPK Geledah Balai Kota Yogyakarta
Keberhasilan KPK beroperasi di DIY bukan hanya menunjukkan komitmennya, melainkan juga kearifannya. Pernyataan Jaksa Wawan saat itu visioner, tujuan penindakan KPK dimaksudkan untuk memperbaiki Yogya agar tetap istimewa. Sementara itu, sebagian masyarakat Yogya sejatinya juga mengharap kehadiran KPK sebagaimana tagar (hashtag) yang beredar di media sosial sejak lama: #JogjaKangenKPK.
Kearifan lokal Yogyakarta
Kebudayaan asli Yogyakarta memiliki sistem kontrol sosial unik yang terformulasi dalam ungkapan berbahasa Jawa dupak bujang, esembupati, sasmita narendra. Terdapat tiga level kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang masing-masing membutuhkan metode kontrol sosial yang berbeda.
Level narendra atau raja menunjuk kepada figur SDM pemimpin berbudi luhur yang peka dan bisa menyikapi tanda-tanda di sekitarnya (tanggap ing sasmita). Pribadi seperti ini punya self control yang kuat.
Level bupati adalah pemimpin yang well-educated dan berkarakter unggul sehingga cepat belajar dan mau diajar (teachable) serta mudah tersentuh batinnya untuk kemudian memperbaiki diri manakala bersalah (touchable). Menegur orang yang demikian tidak perlu dengan bahasa lugas dan berulang-ulang, bahkan cukup dengan bahasa simbolis ibarat disindir dengan senyuman (esem) saja sudah paham.
Mereka mengalami kemerosotan kecakapan dalam hal merespons kontrol sosial, hingga akhirnya harus di -dupak begitu lengser dari kursi kekuasaannya.
Adapun level bujang menunjuk kepada jenis SDM yang uneducated, bodoh, keras kepala, susah diatur, cuek. Menegurnya harus secara lugas, langsung, bahkan harus dengan teguran keras, ibarat tendangan fisik (dupak).
Jika formula dupak bujang, esem bupati, sasmita narendra menunjukkan peningkatan mekanisme kontrol sosial dan kapasitas pemimpin dari level bujang, bupati, hingga narendra, yang terjadi pada pemimpin di daerah yang korupsi adalah sebaliknya. Mereka mengalami kemerosotan kecakapan dalam hal merespons kontrol sosial, hingga akhirnya harus di-dupak begitu lengser dari kursi kekuasaannya.
Meski sang pemimpin daerah menjadi abdi dalem Kraton, yaitu bekerja sukarela sebagai pelayan raja di Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat, serta menggeluti, menghayati, dan belajar mengamalkan kepemimpinan luhur berbasis nilai-nilai sasmita narendra, praktik kepemimpinanya semakin lama justru semakin tidak pro-rakyat. Masyarakat pun mulai protes bahkan melawan.
Hal yang menarik, protes warga Yogya kepada pemimpinnya itu dilakukan secara kultural mengikuti formula esem bupati. Rakyat tetap menaruh respek sehingga tidak langsung mendepak atau menendangnya (dupak) supaya terjungkal dari kursi kekuasaan (lengser).
Senyuman (esem) pertama yang dilemparkan oleh rakyat kepada sang pemimpinnya adalah berupa video musik parodi berjudul “Ora Masalah, Har!” (Tidak Masalah, Har!). Video klip komedi kreatif ini bernuansa lagu rap dan tarian ala Gangnam Style yang kala itu lagi viral, dengan pesan protes terhadap kebijakan sang pemimpin yang dianggap menghambat kegiatan bersepeda yang telah membudaya.
Protes warga Yogya kepada pemimpinnya itu dilakukan secara kultural mengikuti formula esem bupati.
Sejumlah kebijakan yang dirasa merugikan rakyat, di antaranya, terkait perizinan pendirian hotel-hotel di Kota Yogyakarta, di mana air tanah tersedot sehingga sumur-sumur warga mengering, kampung-kampung tergusur, dan konflik horizontal pun merebak. Sementara rakyat dan para aktivis mulai mengendus ketidakberesan yang diduga mengarah kepada praktik-praktik korupsi.
Hingga kurang lebih delapan tahun, protes rakyat pun mendapat jawaban dari KPK. Meski demikian, protes rakyat tetap dilakukan secara kultural. Tanpa kearifan lokal ini barangkali Yogya sudah tersulut api konflik sebab di sisi lain ada bayak pemain politik yang selalu ingin memancing di air yang keruh.
Protes demi protes dilakukan secara simbolis yang mengundang senyum (esem) karena sarat nuansa seni-budaya. Pada Agustus 2014, warga Kampung Miliran melakukan aksi mandi pasir. Pada Februari 2015 seorang warga mendemonstrasikan ritual mandi air kembang tujuh rupa dari tujuh sumur, dilakukan di depan Balai Kota Yogyakarta.
Baca juga: Orang-orang ”Kecil” Penebar Suluh Antikorupsi
Pada Mei 2018, sejumlah mahasiswa melakukan ritual ruwatan dengan menarikan tarian Bedhaya Banyu neng Segara. Pada Januari 2019, warga bernama Dodok melakukan ritual menyemburkan air kencing ke papan nama Kantor Wali Kota Yogyakarta sebagai simbol menolak aura jahat dan negatif. Dodok bernazar tidak akan memotong rambutnya sampai kasus-kasus korupsi terbongkar.
Bertahun-tahun masyarakat menyampaikan protes kultural itu tanpa terprovokasi amarah, apalagi anarkisme. Namun, metode esem bupati ternyata tidak membawa perubahan, hingga akhirnya datanglah KPK yang bagi rakyat Yogyakarta seperti malaikat pencabut nyawa yang berkuasa men-dupak sang pemimpin daerah hingga langsung masuk ke dalam bui. Dua hari setelah OTT itu, Dodok pun melakukan aksi cukur gundul di trotoar utara Balai Kota Yogyakarta (4 Juni 2022).
Hukum dan kebudayaan
Penindakan kasus bekas Wali Kota Yogyakarta dan para pejabat di Kota Yogyakarta itu merupakan wujud perpaduan antara kearifan KPK dan kearifan lokal. Kearifan KPK adalah kekuatan dimensi hukum dan kearifan lokal adalah kekuatan dimensi budaya. Perpaduan antara hukum dan kebudayaan diperlukan untuk menangani kasus-kasus korupsi di daerah.
Para ahli seperti Ter Haar dan L Pospisil telah lama memikirkan perbedaan dan pentingnya sinergi antara hukum dan kebudayaan (Koentjaraningrat, 1981). Hukum adalah bagian dari kebudayaan yang mempunyai kekuatan untuk men-dupak warga masyarakat (warga negara) yang bersalah. Sementara kebudayaan, meskipun memiliki sistem norma dan adat istiadat, tidak berkekuatan seperti itu.
Menurut Koentjaraningrat (1981), hukum adalah sistem norma sosial yang memiliki otoritas politis kenegaraan (attribute of authority), penerapan universal (global) untuk jangka panjang (attribute of intention of universal applicaton), ada mekanisme keputusan dari pemegang kekuasaan untuk mengatur hak dan kewajiban (attribute of obligation), dengan sistem sanksi (attribute of sanction).
Sedangkan kebudayaan adalah sistem gagasan (nilai, filosofi, pandangan hidup, ideologi, keyakinan-keyakinan) yang mengatur pola-pola perilaku manusia. Kebudayaan mendorong manusia bersikap dan bertindak dengan beretika, bermoral, berbudi pekerti. Kebudayaan bersifat manusiawi sehingga mengarahkan perilaku manusia secara manusiawi pula yang, antara lain, melalui seni dan edukasi.
Baca juga: Membaca Korupsi dari Kacamata Sejarah Sosial
Kebudayaan tidak bisa dipaksa atau direkayasa menjadi alat untuk menghakimi apalagi menghukum manusia. Domain kebudayaan adalah ranah moral, etika, nurani, dan spiritualitas. Tidak tepat jika orang menghakimi dan menghukum orang lain atas nama kebudayaan. Namun di sisi lain, ada orang-orang jahat yang memakai kebudayaan sebagai kedok, memelintir (memolitisasi) kebudayaan untuk melancarkan kejahatan dan membenarkan diri sendiri.
Penegakan hukum tanpa mempertimbangkan aspek budaya akan menjadikan negara otoriter dan hukum menjadi tidak manusiawi. Namun, mengutamakan kebudayaan saja tidak cukup manakala orang-orang jahat tidak lagi punya mata batin, tidak tanggap ing sasmita, dan tidak peduli saat ditegur dengan cara-cara halus, esem yang simbolis. Di sinilah negara harus hadir menegakkan hukum dengan tajam tanpa pandang bulu bahkan di daerah-daerah yang dikenal sangat berbudaya sekalipun.
Haryadi Baskoro, Tim Penilai Pembangunan Bappeda Provinsi DIY; Antropolog-Teolog