Tiada keistimewaan apa pun untuk menjadi ASN. Mereka berasal dari masyarakat umum yang mengikuti seleksi, bukan dari keturunan ataupun kesukuan seperti dalam sistem kasta.
Oleh
MARLIS KWAN
·4 menit baca
Artikel Ratih D Adiputri tentang ”ASN dan Kasta di Masyarakat Kita” (Kompas.id, 10/5/2022) menarik untuk disimak dan didiskusikan lebih lanjut. Tulisan tersebut berposisi bahwa perhatian pemerintah yang lebih kepada aparatur sipil negara atau ASN menciptakan hierarki di masyarakat, antara ASN dan masyarakat kebanyakan. Dengan beragamnya pekerjaan dalam masyarakat Indonesia, perhatian berlebih kepada ASN amat tidak adil.
ASN seakan-akan memiliki kedudukan istimewa dalam masyarakat, pekerjaan yang selalu diperhatikan pemerintah. Ini menciptakan hierarki dalam masyarakat, bahkan dapat dimasukkan dalam kategori membentuk kasta (Ratih D Adiputri, 2022).
Melekatkan klaim kasta kepada ASN cukup gegabah untuk dilakukan. Faktanya tiada keistimewaan apa pun untuk menjadi ASN. Mereka berasal dari masyarakat umum yang mengikuti seleksi, bukan dari keturunan ataupun kesukuan seperti dalam sistem kasta. Setiap warga negara berkesempatan untuk menjadi ASN, bahkan jika ia penyandang disabilitas sekalipun.
Mengapa sangat banyak orang berminat mendaftar menjadi ASN? Alasannya sederhana. Perekrutan ASN amat terbuka. Informasi sudah beredar jauh hari sebelum seleksi. Jadwal perekrutan jelas. Masyarakat di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Papua, dapat mendaftarkan diri.
Jika pekerjaan lain dapat melakukan perekruten seperti ini, tentu pendaftarnya juga akan banyak. Namun, sayangnya, institusi swasta tidak memiliki infrastruktur kepegawaian yang ada di setiap daerah seperti halnya Badan Kepegawaian Negara. Sehingga untuk mendaftar ke institusi swasta bonafit pada umumnya orang-orang harus pergi ke kota-kota besar.
Dalam segi pendapatan, ASN pun sebenarnya tidak memiliki pendapatan yang lebih baik jika kita bandingkan dengan pekerjaan pada tingkat pendidikan yang sama di swasta. Sebagaimana diketahui, sangat banyak ASN di Ibu Kota tidak mampu membeli tempat tinggal di wilayah administrasi tempat mereka bekerja sehingga harus berumah di luar daerah.
Sebagai contoh, banyak ASN di Jakarta berumah di Bogor dan mereka pergi bekerja sekitar pukul 04.30 pagi setiap hari supaya tidak terlambat ke kantor. Keterlambatan presensi kerja bagi ASN membawa konsekuensi pemotongan tunjangan kinerja. Bahkan jika keterlambatan itu 1 menit sekalipun.
Kasta di tubuh ASN
Tulisan Ratih D Adiputri tidak memuat data apa pun untuk mendukung klaim kasta ini. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya sistem kasta ada dalam tubuh sistem ASN itu sendiri. Pada beberapa institusi negara, ada ASN yang memiliki take home pay sampai dua digit, tetapi ada pada institusi lain memiliki take home pay di bawah upah minimum regional (UMR).
Jika ditelisik lebih dalam, sebenarnya sistem kasta ada dalam tubuh sistem ASN itu sendiri.
Sistem penggajian ASN saat ini bergantung kepada institusi ASN berasal. Meskipun tingkat pendidikan sama, jika institusi mereka mendapat remunerasi kecil, sekeras apa pun ASN tersebut bekerja, mau lembur sampai pagi, tetap kesejahteraan mereka tidak akan membaik.
Maka dari itu dikenal istilah di kalangan ”ASN kasta sultan” dan ”ASN kasta umbi-umbian”. Tak ayal, sebagaimana diwartakan CNBC Indonesia (27/5/2022), ratusan CPNS angkatan 2022 mundur setelah mengetahui besaran gaji kecil yang akan mereka terima. Dapat diprediksi, CPNS yang mundur dengan alasan gaji kecil ini masuk kategori ASN ”kasta umbi-umbian”.
Satu hal lagi, kekeliruan Ratih D Adiputri dalam membaca kebijakan publik di Indonesia adalah terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN. Ratih beropini bahwa pegawai KPK berkeinginan mengubah statusnya menjadi ASN dikarenakan adanya tunjangan, tanpa menyebutkan berapakah tunjangan ASN KPK itu sendiri.
Hal ini dapat menimbulkan kekeliruan publik dan membuat citra yang tidak tepat bagi ASN KPK itu sendiri. Pasalnya, perubahan status pegawai KPK bukan berdasarkan keinginan pribadi, melainkan perintah undang-undang yang dibuat oleh legislatif dan eksekutif.
Perihal alih status pegawai KPK menjadi ASN itu merupakan amanah dari revisi Undang-Undang KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019.
Perihal alih status pegawai KPK menjadi ASN itu merupakan amanah dari revisi Undang-Undang KPK menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019. Pasal 1 Ayat 6 UU No 19/2019 menyebutkan ”Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.”
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2020 Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pegawai ASN. PP itu sebagai aturan turunan dari UU KPK yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Juli 2020. Atas dasar itulah pegawai KPK dialihkan statusnya menjadi ASN.
Citra keistimewaan ASN memang terbentuk ketika banyak media memberitakan bahwa ASN mendapat tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 pada Lebaran kemarin. Hal ini sebenarnya kurang etis digembar-gemborkan di tengah pandemi Covid-19, baik untuk masyarakat umum maupun bagi ASN itu sendiri.
Bagi masyarakat umum, mendengar ASN mendapat THR di tengah kondisi banyak yang kehilangan pekerjaan karena pandemi Covid-19 akan menimbulkan kecemburuan sosial. Sementara bagi ASN, sudah dua tahun berturut di masa pandemi Covid-19 mereka tidak mendapat THR sebagaimana mestinya karena ada pemotongan anggaran untuk penanggulangan Covid-19.