Impian Menjadi PNS Tinggal Impian?
Disrupsi teknologi mengancam banyak jenis pekerjaan. Salah satunya adalah keberadaan pegawai negeri sipil. Menjadi aparatur sipil negara bisa jadi tinggal kenangan. Mengapa?
Di tengah derasnya arus disrupsi teknologi dan wacana pembatasan perekrutan pegawai negeri sipil, pekerjaan PNS masih menjadi cita-cita banyak orang. Namun, impian menjadi PNS tampak makin sulit diraih.
Menjadi pegawai negeri sipil (PNS) adalah impian banyak orang. Setiap rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) yang terdiri dari calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) selalu diikuti pendaftar yang membeludak.
Tahun 2021, merujuk catatan Badan Kepegawaian Negara (BKN), total pelamar CPNS dan PPPK mencapai 4.542.798 orang dengan 4.030.134 pelamar yang merampungkan proses pendaftaran atau melakukan submit.
Sementara total kebutuhan ASN 2021 sebanyak 676.733 formasi yang terdiri dari CPNS 128.016 lowongan dan PPPK sebanyak 548.717 lowongan.
Pada 2019, jumlah pelamar CPNS bahkan menembus angka 5,05 juta orang. Angka ini tercatat terbesar sepanjang sejarah penerimaan CPNS. Proses perekrutannya pun berlangsung hingga tahun 2020 akibat terjadinya pandemi Covid-19 yang berimbas pada ditiadakannya perekrutan CPNS 2020.
Data tersebut menunjukkan bahwa profesi menjadi abdi negara ini masih sangat banyak peminatnya dan pengumuman perekrutannya menjadi momen yang ditunggu-tunggu.
Tidak hanya para pencari kerja yang menanti momen perekrutan PNS, tetapi juga karyawan swasta yang mencoba peruntungan menjadi PNS.
Dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada November 2019 terekam, hampir separuh responden (47 persen) mahasiswa di 34 provinsi menginginkan profesi sebagai PNS. Jumlah ini pun masih bisa bertambah karena 16 persen kalangan milenial ini mengaku masih pikir-pikir.
Baca juga : Kecurangan Tes Calon ASN Bisa Rugikan Pelayanan Publik
”Job security”
Minat kaum muda, terutama di daerah, yang masih begitu tinggi untuk menjadi PNS ini, antara lain, dilatarbelakangi faktor ekonomi dan sosial budaya. Profesi sebagai ASN, khususnya PNS, dipandang sebagai profesi yang bergengsi atau terhormat di masyarakat.
Profesi yang merupakan warisan zaman kolonial Belanda ini secara struktural kepegawaian hanya sebagai pegawai kasar atau kelas bawah. Akan tetapi, status sosial sebagai pegawai pemerintah dipandang tinggi derajatnya di mata rakyat bumiputra yang mayoritas menjadi petani.
Apalagi untuk menjadi pegawai pemerintah kolonial saat itu dibutuhkan mengenyam pendidikan sekolah yang jarang dilakoni masyarakat kebanyakan.
Berbeda dengan situasi sosial ekonomi saat ini, alasan ekonomi menjadi motivasi paling kuat bagi para pencari kerja berebut posisi sebagai PNS. Kestabilan secara finansial, jenjang karier yang jelas, dan masa pensiun yang cukup terjamin dinilai merupakan gambaran keamanan kerja (job security) yang lumayan ideal untuk zaman ini.
Menurut Borg dan Elizur (1992) dalam Staufenbiel dan Konig (2011), job security dapat didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap keberlangsungan pekerjaan yang dimiliki saat ini serta mencakup kesempatan promosi, kondisi pekerjaan pada umumnya, dan kesempatan untuk terus berkarier dalam jangka waktu yang panjang.
Terkait job security ini, pandemi yang sedang terjadi menjadi bukti bahwa PNS adalah profesi yang paling aman, di saat profesi formal yang lain (karyawan) menghadapi ancaman pemotongan gaji, bahkan berguguran karena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Meski sumber imbalan yang rutin diterima PNS (yaitu THR dan gaji ke-13) terimbas mengalami pemotongan untuk membantu penanganan Covid-19, kesejahteraan PNS dipandang tetap terjamin.
Hal inilah yang membuat sebagian pencari kerja tertipu oleh praktik-praktik ilegal oknum yang berdalih bisa membantu meloloskan menjadi PNS. Mereka rela mengeluarkan sejumlah uang kepada oknum, yang berujung kasus penipuan.
Padahal, pemerintah sudah memperbaiki sistem perekrutan PNS yang lebih ketat (memanfaatkan teknologi dan dalam jaringan/online) dan transparan untuk menghindari terjadinya kecurangan.
Baca juga : Pelamar Calon ASN Masih Kesulitan Sampaikan Sanggahan
Disrupsi teknologi
Mengutip catatan Rhenald Kasali dalam Kompas.com, dalam banyak segi PNS adalah profesi paradoks, yaitu posisinya kuat dan penting, tetapi sekaligus lemah.
Begitu penting dan kuatnya sehingga dalam menjalankan tugasnya harus disumpah, diseleksi dari jutaan orang untuk menegakkan aturan dan memegang mandat undang-undang. Namun, di sisi lain, desain organisasi, aturan, dan perilakunya membuat mereka lemah.
Hal inilah yang membuat ASN masih menghadapi persoalan terkait sumber daya manusia. Jumlah PNS dalam satu dekade terakhir yang fluktuatif dan cenderung menurun setelah moratorium tahun 2015 masih dinilai terlalu gemuk. Hingga Juni 2021, tercatat 4.081.824 orang dengan proporsi 23 persen PNS pusat dan 77 persen PNS daerah.
Minat menjadi PNS di daerah memang tergolong tinggi, apalagi jika daerah tersebut tidak memiliki sumber daya alam potensial bagi tumbuhnya industri yang memberi kesempatan bagi putra daerah untuk bekerja di sana. Di tempat seperti ini, menjadi PNS merupakan profesi yang diperebutkan lebih ketat.
Berdasarkan data BKN, pada tahun 2021, dari total 3.132.774 PNS di instansi di daerah, paling banyak tersebar di Jawa Timur, diikuti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Sementara itu, dari total 4,2 juta PNS tahun 2020, 1,6 juta orang (38 persen) menjabat posisi administrasi. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, jumlah itu masih terlalu banyak dan tidak bisa dialihfungsikan ke jabatan atau fungsi jabatan lain sehingga perlu ada evaluasi jabatan PNS secara menyeluruh.
Jumlah PNS yang terlalu besar juga berpengaruh pada anggaran pemerintah untuk belanja pegawai. Paling tidak pos belanja yang berhubungan dengan PNS adalah belanja pegawai tidak langsung, belanja pegawai langsung, serta belanja barang dan jasa yang proporsinya bisa jadi lebih besar dibandingkan pos belanja lain.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, anggaran belanja pegawai dialokasikan sebesar Rp 426,8 triliun. Angka ini naik 6,9 persen dari outlook 2021 yang sebesar Rp 399,3 triliun.
Dari komposisi berdasarkan usia, struktur PNS didominasi usia 51-60 tahun yang akan memasuki usia pensiun, sebanyak 37,9 persen. Mayoritas PNS di Indonesia berusia di atas 40 tahun.
Dengan adanya perbedaan usia yang jauh, menjadi tantangan bagi sepertiga jumlah PNS yang merupakan generasi milenial untuk dapat melakukan terobosan dalam menjalankan pelayanan publik. Birokrasi harus siap melakukan regenerasi agar roda pemerintahan dapat berjalan dengan optimal.
Apalagi diwacanakan rekrutmen CPNS akan mengikuti sistem minus growth, yaitu jumlah PNS yang pensiun tidak akan diisi penuh dengan pegawai baru. Yang diperbanyak adalah formasi PPPK. Ini sesuai desain awal Undang-Undang ASN Nomor 5 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa posisi PPPK lebih banyak dari PNS.
Jadi, posisi PNS yang pensiun akan diisi oleh PPPK. Formasi PPPK lebih banyak dari CPNS sudah terlihat pada rekrutmen ASN tahun ini. Kriteria CPNS dan PPPK yang dibutuhkan juga harus menguasai teknologi, responsif, adaptif, dan mempunyai kemampuan soft skills.
Era Revolusi Industri 4.0 dan munculnya era kenormalan baru akibat pandemi membuat profesi PNS pun tak luput dari disrupsi teknologi.
Penggunaan teknologi yang semakin masif dan perubahan pola kerja work from home (WFH) menjadi tantangan ASN dalam menjalankan tugas pelayanan publik secara profesional. Bisa jadi ke depan PNS tak lagi bekerja secara permanen atau penuh waktu.
Era Revolusi Industri 4.0 dan munculnya era kenormalan baru akibat pandemi membuat profesi PNS pun tak luput dari disrupsi teknologi.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana bahkan menyatakan, ”Dengan adanya inovasi teknologi, sepuluh tahun lagi mungkin tidak ada PNS, mungkin semuanya PPPK, dan tidak diperlukan lagi PNS ke depan.”
Jika benar, hal ini menjadi tantangan generasi mendatang dalam mencari pekerjaan. Mungkin ke depan impian banyak orang untuk menjadi PNS hanya tinggal impian. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : SDM Aparatur Pemerintah Dinilai Belum Mumpuni dalam Pengelolaan Teknologi Informasi