Program Pendidikan Guru Penggerak tak hanya soal memperbaiki paradigma mengajar bagi guru peserta, tetapi juga menyiapkan guru menjadi pemimpin. Karena itu, materi antikorupsi mestinya masuk dalam program ini.
Oleh
HERMANTO PURBA
·6 menit baca
Setengah tahun sudah, berawal dari medio November tahun lalu, Program Pendidikan Guru Penggerak angkatan keempat berlangsung. Setelah mempelajari seluruh modul, ada banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang saya dapat. Salah satu perubahan terbesar yang saya alami adalah bagaimana cara saya memandang, memperlakukan, mengajar, dan mendidik anak-anak didik saya kian berubah ke arah yang lebih baik.
Hal yang kurang lebih sama juga diungkapkan oleh rekan-rekan saya calon guru penggerak (CGP) lainnya. Ada semacam perubahan paradigma yang mereka alami setelah mengikuti Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP). Hal-hal yang selama ini kami anggap sebagai hambatan dalam proses belajar-mengajar, ternyata jika dilihat dari sisi yang lain sesungguhnya bukan hambatan, tetapi lebih pada cara melihat dan menyentuh yang kurang tepat.
Selama ini saya terlalu fokus kepada ketuntasan materi belajar. Saya mengukur kesuksesan belajar anak didik saya lewat perolehan nilai yang tinggi. Ketika anak-anak didik saya berhasil mencapai nilai setara atau di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), maka saya merasa tugas saya sebagai guru telah ”selesai”. Pencapaian itu menjadi sebuah penanda bahwa saya telah berhasil menyampaikan materi ajar kepada anak-anak didik saya dengan baik.
Sebaliknya, ketika ada anak yang tidak tuntas dalam satu atau beberapa kompetensi dasar, yang pada akhirnya nilainya tidak mampu mencapai KKM, saya merasa gagal. Berbagai usaha akan saya lakukan agar nilai rendah itu terdongkrak. Ketika pada akhirnya usaha-usaha itu tidak berhasil, biasanya saya akan menyalahkan anak didik saya. Mereka lalu akan saya cap ”bodoh” atau ”pemalas” yang tidak memiliki semangat belajar.
Ternyata, persoalannya tidak sesederhana itu. Ada hal yang jauh lebih penting dari sekadar perolehan nilai yang tinggi. Menyamaratakan seluruh anak ternyata bukan cara yang tepat. Menguji kemampuan siswa dengan tes yang sama ternyata bukanlah tindakan yang baik. Sebab, setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Setiap anak memiliki kebutuhan belajar yang berbeda. Minat, kesiapan, dan bagaimana cara mereka belajar dan diajar berbeda.
Hal semacam ini yang tidak saya sadari selama ini. Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa setiap anak memiliki kodrat yang berbeda. Maka sudah barang tentu pendidilk harus pula memperlakukan anak-anak didiknya yang berbeda itu secara berbeda pula. Ikan tidak dapat kita paksakan terbang. Atau burung, misalnya, akan menemui kesulitan ketika diajari berenang, Maka setiap anak mestilah diperlakukan sesuai dengan porsinya.
Materi antikorupsi
Namun, terlepas dari berbagai kebaikan yang saya dapat dari program ini, sebutlah tentang filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara yang masih up to date hingga kini atau mungkin puluhan tahun ke depan, tentang pentingnya menerapkan budaya positif di sekolah, tentang strategi pembelajaran berdiferensiasi karena pada dasarnya setiap anak berbeda, tentang cara mengelola emosi, praktik coaching, atau bagaimana menjadi pemimpin pembelajaran dalam pengembangan sekolah, saya melihat ada yang absen dalam program ini.
Apa itu? Yaitu, tidak adanya materi tentang antikorupsi. Sebelumnya saya berpikir jika materi antikorupsi akan menjadi salah satu submodul di Modul 3. Ternyata perkiraan saya meleset. Terkait antirasuah tidak ada disinggung sama sekali. Modul 3 hanya membahas tentang pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran, pengelolaan dan identifikasi berbagai sumber daya, serta pengelolaan program sekolah yang berdampak kepada murid.
Apa urgensinya sehingga materi antikorupsi mesti dimasukkan ke dalam PPGP? Sebagaimana tertuang dalam Permendikbud Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi kepala sekolah adalah harus memiliki sertifikat Guru Penggerak. Salah satu tujuan PPGP untuk mencetak calon-calon kepala sekolah untuk menjadi agen perubahan di sekolah-sekolah yang kelak mereka pimpin.
Dengan adanya materi antikorupsi, setidaknya, para CGP diingatkan untuk senantiasa berpegang teguh pada aturan yang ada serta dapat menjaga kualitas sikap dan moralnya.
Seorang kepala sekolah tentu akan mengelola anggaran. Sedikit-dikitnya, akan mengelola dana bantuan operasional sekolah (BOS). Dengan adanya materi antikorupsi, setidaknya para CGP diingatkan untuk senantiasa berpegang teguh pada aturan yang ada serta dapat menjaga kualitas sikap dan moralnya. Memang, tidak ada jaminan ketika seseorang belajar materi antikorupsi lalu tidak akan korupsi ketika nantinya diberi kepercayaan sebagai kepala sekolah. Namun, setidaknya, ada semacam penguatan bagi para CGP.
Jamak terdengar, di era otonomi daerah sekarang ini, ada orang (baca: guru) yang rela merogoh kocek cukup dalam, puluhan bahkan hingga ratusan juta rupiah, untuk ”membeli” jabatan kepala sekolah. Lazimnya, semakin banyak jumlah siswa di sebuah sekolah maka akan semakin besar pula fulus yang harus ”disetor”. Hal tersebut berkaitan dengan jumlah dana BOS yang nanti akan dikelola. Sebab, besaran dana BOS sebuah sekolah bergantung pada seberapa banyak jumlah siswanya.
Tak dapat dimungkiri, maju mundurnya kualitas pendidikan sebuah sekolah sangat bergantung kepada kualitas kepala sekolahnya. Pertanyaannya sekarang, ketika kursi kepala sekolah didapat dengan cara menyogok, bagaimana mungkin akan lahir kebijakan-kebijakan yang berpihak pada murid? Dan bagaimana mungkin kita akan melihat kebijakan-kebijakan berkualitas yang bermuara pada kemajuan kualitas pendidikan di sekolah?
Maka, sesungguhnya, salah satu cara terbaik untuk mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia adalah dengan memastikan seluruh sekolah di negeri ini dipimpin oleh orang-orang yang tepat, oleh orang-orang yang kompeten, dan satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah oleh orang orang-orang yang berintegritas. Mungkin itu pula tujuan pemerintah sehingga PPGP dicetuskan untuk mencetak calon-calon pemimpin sekolah terbaik.
Lewat modul antikorupsi, setidaknya para CGP diajak supaya tidak menggilai sebuah jabatan agar senantiasa menjaga kualitas dirinya.
Namun, cita-cita besar itu rasa-rasanya kurang klop dengan tidak hadirnya materi antikorupsi dalam PPGP. Sebab, lewat modul antikorupsi, setidaknya para CGP diajak supaya tidak menggilai sebuah jabatan agar senantiasa menjaga kualitas dirinya dengan tidak berusaha mendapatkan jabatan dengan cara-cara yang tidak patut.
Pola rekrutmen kepala sekolah tidak sama di setiap daerah. Ada daerah yang memilih kepala sekolah lewat serangkaian tes yang ketat dan kompetitif dengan melibatkan tim perekrut independen yang kredibel. Namun, tidak sedikit pula daerah yang memilih kepala sekolah berdasarkan pertimbangan yang subyektif. Mungkin saja karena kedekatan dengan pejabat daerah atau bisa jadi pula karena faktor fulus tadi.
Mungkin, untuk menghindari praktik-praktik tak baik seperti itu, Kemendikbudristek lalu meluncurkan PPGP. Saya percaya, ada niat yang baik dan tulus dari pemerintah untuk memperbaiki pendidikan Indonesia lewat PPGP. Namun, sayang, ada yang tertinggal: materi antikorupsi. Materi antikorupsi jika dikemas dengan baik dapat membangun dan meningkatkan kepedulian para CGP terhadap bahaya dan akibat dari tindakan korupsi yang berdampak buruk pada hampir seluruh sendi kehidupan.
Lewat tulisan ini saya ingin menitipkan pesan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sebagai pelaksana PPGP agar untuk PPGP angkatan kelima dan seterusnya memasukkan materi belajar antikorupsi sebagai salah satu topik yang mesti dipelajari dengan mengemasnya semenarik mungkin sehingga akan lahir calon-calon pemimpin pembelajaran yang berkarakter baik dan berintegritas.
Hermanto Purba, Guru Bahasa Inggris di SMPN 2 Pakkat Humbang Hasundutan, Calon Guru Penggerak