Pendisiplinan siswa tak lagi realistis hanya dengan mengunci satu posisi kontrol guru, yaitu penghukum. Guru sudah harus sampai pada posisi sebagai ”coach” dengan terapan restitusi berkelanjutan dan berkesabaran.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·6 menit baca
Saya baru saja membuat sebuah eksperimen sederhana pada anak didik saya. Kebetulan, ada dua orang siswa yang masalahnya identik. Dan, menurut ukuran saya, kenakalan mereka pun relatif sama. Kepada seorang siswa, saya membuat penanganan dengan cara tradisional. Artinya, saya lebih menonjolkan hukuman dan ancaman kepada siswa tersebut. Hukuman dan ancaman itu, misalnya, saya dasarkan kepada peraturan sekolah bahwa jika siswa melanggar, mereka bisa dikeluarkan dari sekolah. Kepada siswa lain, saya membuat penanganan dengan pola coaching.
Sebagaimana diketahui, coaching berada di atas mentoring dan konseling. Dalam materi Program Guru Penggerak di modul 2.3, hubungan coaching dibuat setara. Artinya, posisi guru sebagai coach (pelatih) dan siswa sebagai coachee (yang dilatih)sederajat.
Teknisnya, guru menuntun siswa tanpa menggurui. Guru hanya perlu menggali banyak informasi dengan tujuan agar keyakinan siswa makin tebal. Satu catatan penting, guru tak memberi bantuan secara langsung. Guru hanya memberi keyakinan bahwa siswa tersebut mampu menyelesaikan masalah atau mencapai tujuannya dengan modal yang dimiliki siswa itu sendiri.
Berbeda dengan coaching, hubungan antara guru dan siswa pada pola mentoring cenderung beraroma antara yang berpengalaman (guru) dan kurang berpengalaman (siswa). Siswa menerima begitu saja saran guru. Sekilas, tak ada yang salah dengan skema mentoring dalam dunia pendidikan. Namun, besar potensi bahwa di kemudian hari, siswa akan tergantung pada orang yang berpengalaman. Artinya, kemandirian siswa kurang diletupkan dengan model mentoring. Hampir sama, demikian juga halnya dengan model konseling. Pada model ini, hubungan guru dan siswa adalah hubungan profesionalisme: antara ahli dan orang awam.
Jika guru sebagai ahli, siswa hanya perlu mendengar arahan dan petunjuk guru. Kelemahan model ini kemandirian siswa kurang disentuh, apalagi diletupkan sehingga sangat mungkin siswa selalu ketergantungan pada kehadiran konselor. Karena itu, belajar dari modul Program Guru Penggerak, saya mencoba menerapkannya pada dua siswa saya. Saya pikir, hasilnya bisa dipertanggungjawabkan karena berasal dari dua kasus dengan posisi yang sama. Hasilnya adalah, dengan pendekatan coaching sekaligus juga dengan pola restitusi, sekilas tidak terlihat perubahan yang kentara pada siswa.
Sebaliknya, saya melihat bahwa dengan pendekatan tradisional justru terjadi perubahan yang drastis. Pola tradisional terlihat jauh lebih baik daripada coaching. Namun, ternyata ini hanya tampak luar. Maksudnya, perubahan siswa dengan pola pendekatan tradisional itu tidak sebenar-benarnya berubah dengan kesungguhan. Sebab, setelah saya periksa, guru lain melaporkan bahwa siswa dengan pendekatan tradisional tetap berulah. Nyaris tak ada kemajuan apa pun. Demikian juga ketika saya tanyakan melalui teman-teman sekelasnya. Artinya, siswa dengan pendekatan tradisional itu hanya berubah ketika saya masuk.
Tentu saja itu adalah perubahan semu karena tidak didasari oleh kesadaran, tetapi oleh ketakutan atas berbagai hukuman dan ancaman. Masuk akal memang karena dengan pendekatan tradisional, posisi kontrol guru yang diterapkan adalah sebagai penghukum. Jadi, ketika berjumpa dengan saya, siswa tersebut memilih untuk menghindari hukuman dan ancaman. Sebaliknya terjadi dengan siswa yang saya dekati dengan pola coaching dan restitusi, saya tak hadir sebagai penghukum.
Alih-alih sebagai guru sehingga kastanya berada di atas, saya justru hadir sebagai sahabat. Hubungan kami sejajar. Hasilnya adalah bahwa ketika saya masuk ke kelas, ia tidak sedisiplin siswa dengan pola tradisional. Jika siswa dengan pola tradisional duduk rapi sehingga nyaris tak bergerak dan bersuara, siswa dengan pola coaching dan restitusi masih terlihat ribut sesekali. Dalam posisi kedisiplinan yang tertunjukkan, saya melihat perubahan yang lebih drastis terjadi pada siswa dengan pola pendekatan tradisional sehingga pola ini lebih efektif.
Namun, ternyata setelah diperiksa lebih jauh lagi dengan bertanya kepada beberapa guru dan teman sekelasnya, siswa dengan pendekatan coaching-restitusi tersebut menunjukkan hal yang sama ketika guru yang lain masuk, bahkan ketika guru tak hadir. Dari sanalah saya paham bahwa siswa tersebut berubah pelan-pelan atas kesadaran diri sendiri. Dari sana pula saya menyimpulkan bahwa untuk mendidik anak secara jangka panjang, maka pendekatan yang lebih efektif adalah dengan pola coaching dan restitusi. Memang, hasilnya terlihat tidak dengan cepat. Ia berubah secara perlahan.
Alih-alih sebagai guru sehingga kastanya berada di atas, saya justru hadir sebagai sahabat. Hubungan kami sejajar.
Namun, perubahan itu terlihat lebih awet dan didasari pula oleh kesadaran diri sendiri. Dan, inilah yang diharapkan. Sebab, bagaimanapun, pendidikan yang baik tentu tidak dilihat dari tingkah lakunya selama di sekolah. Lebih spesifik, guru hanya akan dikatakan berhasil manakala siswanya tetap patuh pada peraturan bahkan ketika tak ada guru atau ketika siswa sudah di luar sekolah. Dalam hal ini, saya berkeyakinan bahwa pola terbaik yang harus dihadirkan adalah pola coaching-restitusi. Sudah tak saatnya lagi kita sebagai guru selalu mengandalkan hukuman dan ancaman. Bukan berarti hukuman dan ancaman tidak penting.
Namun, pola tradisional ini cenderung sebatas mengandalkan bahwa hanya dengan hukuman dan peraturanlah maka siswa akan dapat disiplin. Rasanya, pendidikan kita sudah harus naik ke level selanjutnya, yaitu munculnya kesadaran. Sebab, kesadaran adalah bukti bahwa manusia sudah merdeka untuk bertindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Persoalannya, memunculkan kesadaran ini butuh waktu yang lama sehingga terkesan tak ada kemajuan. Dan, justru itu pola memunculkan kesadaran ini akan penuh dengan tantangan yang tak sederhana.
Sabar berproses
Betapa tidak? Melihat bahwa dengan pola tradisional siswa terlihat berubah lebih cepat, sering kali guru akhirnya terjebak untuk lebih memilih pola tradisional. Akibatnya, siswa disiplin hanya ketika dilihat oleh guru. Karena itu, sangat dibutuhkan kesadaran dan kesabaran guru untuk tetap setia berproses dengan menggunakan pola coaching-restitusi. Kita harus menyadari bahwa produk pendidikan yang kita inginkan bukan sebatas disiplin di lingkungan sekolah. Bukan pula ketika masih usia sekolah. Kita harus berpikir lebih luwes bahwa produk ini harus sampai ke luar gerbang sekolah dalam sepanjang hayat mereka.
Karena itu, menyitir Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline, pendisiplinan siswa tak lagi realistis hanya dengan mengunci satu posisi kontrol guru, yaitu penghukum. Guru sudah harus sampai pada posisi sebagai coach dengan terapan restitusi berkelanjutan dan berkesabaran. Memang, akan muncul banyak godaan ketika kita mendisiplinkan siswa bahwa ternyata hampir tak ada kemajuan sehingga kita tetap memilih pola tradisional. Namun, mari percaya bahwa jika hanya mengandalkan keketatan, apalagi kekakuan peraturan, kita akan mendapatkan produk nyaris tanpa kesadaran.
Ini persis seperti hasil studi behavioristik Ivan Petrovich Pavlov. Dalam tafsir saya atas studi itu, siswa dengan pendekatan hiperdisiplin justru menjajah siswa itu sendiri. Mereka tak lagi mandiri, tetapi cenderung dikontrol oleh bel sehingga kesadaran terbenam.
Ketika bel, misalnya, mereka sudah sigap berkumpul di lapangan, nyaris tanpa kesadaran, kecuali rangsangan belaka. Sebab, dengan teori classic conditioning, kita sejatinya bisa mengondisikan sesuatu bekerja sesuai dengan apa yang diharapkan. Sayang, ini nyaris tanpa kesadaran siswa. Karena itu, marilah sabar berproses dengan teknik coaching-restitusi.
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan Sumatera Utara; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Calon Guru Penggerak; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan