Dokter Minus Etika
Dokter profesi luhur. Dalam pengabdiannya mengutamakan kepentingan masyarakat. Etika kedokteran dibutuhkan agar dokter tak berbuat hal tercela dan menjaga keluhuran profesinya. Dokter minus etika merugikan kemanusiaan.
Dokter itu profesi luhur (noble profession) sebab dalam pengabdiannya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat (altruistic).
Profesi luhur itu sepantasnya hanya dipercayakan kepada orang yang memiliki etika luhur pula. Profesi dokter pernah mengalami sejarah kelam di masa lampau. Setelah Hippokrates meninggal, banyak muridnya yang tak patuh pada ajaran luhurnya seperti ”dokter tidak seharusnya bekerja untuk keuntungan pribadi, tetapi karena cinta pada manusia”.
Mereka menyalahgunakan ajaran itu dengan perbuatan tercela. Lebih memilih eutanasia dengan memberikan racun ketimbang berupaya menyembuhkan pasien. Menipu dan membocorkan rahasia, mencobakan metode pengobatan atau obat yang belum terbukti khasiatnya, dan sebagainya.
Kejadian itu mendorong Pythagoras dan pengikutnya untuk merebut kembali kepercayaan masyarakat dengan mengucapkan sumpah. Karena itu, tak salah bila disebut ”Manifesto Pythagorean” dan tidak salah pula apabila sumpah ini dinamakan ”Sumpah Hippokrates”, guna menghormatinya sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern.
Orang yang bergelut dengan nyawa manusia seharusnya orang-orang pilihan, mulia akhlaknya, rendah hati, tak tamak.
Di masa Ibnu Sina di Gurganj pun demikian. Banyak dokter tak kompeten, diagnosisnya sering keliru, menyalahgunakan pekerjaannya, sehingga merugikan masyarakat. Menurut Sina, syarat utama bekerja di bidang kedokteran ialah penguasaan ilmu dan latihan. Orang yang bergelut dengan nyawa manusia seharusnya orang-orang pilihan, mulia akhlaknya, rendah hati, tak tamak.
Dalam perkembangannya, tampaknya Sumpah Hippokrates belum cukup untuk mencegah perilaku tercela para dokter. Serentetan peristiwa kelam masih terjadi. Yang sangat fenomenal ketika para dokter melakukan tindakan kriminal dan kekejaman medis, dengan dalih penelitian ilmiah kepada tawanan Perang Dunia II.
Mereka melakukan riset tak etis, tak manusiawi, tanpa penjelasan dan persetujuan dari manusia yang dijadikan obyek. Akibatnya, banyak yang meninggal. Kejadian ini terungkap dalam Tribunal Nuremberg, yang kemudian dirumuskan dalam Kode Nuremberg 1947.
Tak berhenti sampai di situ, masih ada kejadian berikutnya, sehingga lahirlah Pedoman Internasional Pengaturan Penelitian Medis pada Manusia. World Medical Association pun kemudian memperbarui dan menyempurnakan bunyi sumpah dokter, 1947, dan merumuskan Kode Etik Kedokteran Internasional, 1949.
Mengapa perlu etika dan kode etik?
Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, karena profesi kedokteran melayani masyarakat. Boleh dikata semua orang butuh pelayanan dokter. Dalam pelayanan kedokteran terjadi hubungan kepercayaan antara dua insan, dokter dan pasien (fidu-ciary relationship). Begitu pula antara dokter peneliti dan orang coba. Hubungan kepercayaan yang amat tinggi ini yang memunculkan tanggung jawab dokter sebagai profesi.
Kedua, untuk mencegah dokter berbuat tercela kepada pasien yang awam. Ketiga, menjaga martabat dan keluhuran profesi kedokteran. Seorang dokter harus bertanggung jawab menjaga martabat dan keluhuran profesinya. Dimensi tanggung jawab ini yang menempatkan profesi dokter sebagai warisan kemanusiaan tertua, yang abadi selamanya.
Baca juga: Organisasi Profesi Dokter
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam etika kedokteran: etika jabatan kedokteran (medical ethics) dan etik asuhan kedokteran (ethics of the medical care). Etika jabatan menyangkut masalah yang berhubungan dengan sikap para dokter ke sejawat, para pembantunya, serta ke masyarakat dan pemerintah. Etika asuhan adalah etika kedokteran dalam kehidupan sehari-hari, peraturan tentang sikap dan tindakan seorang dokter terhadap pasien yang jadi tanggung jawabnya.
Etika kedokteran mengatur bagaimana seharusnya dokter berperilaku dan melaksanakan pengamalan profesinya. Etika ini hanya berlaku di lingkungan sendiri (tak mengatur kelompok masyarakat lain), mengandung larangan dan kewajiban, menggugah sikap manusiawi dalam melayani, disusun dan diterapkan organisasi profesi bersangkutan. Jadi tak benar bila ada organisasi profesi yang tak memiliki/mengurus etika anggotanya karena itu tak mencerminkan organisasi profesi.
Dikenal empat prinsip etika kedokteran. Pertama, tak merugikan (nonmaleficence). Perbuatan baik tak boleh dicapai dengan perantaraan buruk. Kedua, berbuat baik (beneficence), merupakan segi positif dari prinsip tak merugikan. Ketiga, otonomi, berarti adanya kebebasan untuk bertindak dan mengambil keputusan. Keempat, keadilan, berarti adanya perlakuan sama untuk orang yang sama pada situasi sama.
Heryunanto
Kewajiban dan larangan dalam etika kedokteran ada empat macam, sebagaimana termuat di Kode Etik Kedokteran Indonesia. Pertama, kewajiban umum. Kedua, kewajiban dokter terhadap masyarakat/pasien. Ketiga, Kewajiban terhadap teman sejawat. Keempat, kewajiban pada diri sendiri.
Kode etik kedokteran adalah aturan-aturan atau pedoman tentang sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan dipatuhi seorang dokter. Memuat hal yang boleh dilakukan dan yang harus dihindari. Dengan berpedoman pada kode etik, seorang dokter diharapkan dapat mengamalkan profesinya dengan baik.
Dalam penerapannya, tak semua perilaku spesifik dokter bisa dirumuskan dalam kode etik. Ini mengingat kode etik hanyalah daftar ketentuan tertulis dari moral rules. Sementara, moral rules sendiri baru bisa dirumuskan jika perilaku spesifik itu hampir selalu benar atau hampir selalu salah. Dalam kenyataannya, banyak hal yang tak bisa dipastikan moral rules-nya secara hitam-putih. Karena itu, moral standards dan moral principles perlu dijadikan acuan saat kode etik tak mampu menjawab isu-isu etika.
Baca juga: Tata Kelola Organisasi Profesi Kedokteran Perlu Perbaikan
Siapa yang diuntungkan?
Tak ada yang diuntungkan oleh dokter minus etika ini. Pihak paling dirugikan tentu masyarakat sebagai pengguna layanan. Pihak kedua, dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan tempatnya bekerja sebab reputasinya akan rusak dan tak dipercaya. Pihak ketiga, profesi kedokteran yang tercoreng martabat dan keluhurannya.
Jadi, sebetulnya dokter minus etika itu merugikan manusia dan kemanusiaan. Untuk mencegah, tentu harus dimulai dari dokter itu sendiri. Dokter harus sadar ia sedang menerima amanah dan tanggung jawab atas kepercayaan pasien. Ia harus menjunjung tinggi kepercayaan yang diterimanya dengan memberikan pelayanan dan perawatan sebaik-baiknya.
Tak ada yang diuntungkan oleh dokter minus etika ini.
Sementara, organisasi profesi harus mengambil tanggung jawab untuk mencegah terjadinya minus etika. Mengimbau dan melarang perilaku tercela anggotanya demi menjaga kehormatan masyarakat dan keluhuran profesinya. Membina anggotanya agar mematuhi sumpah dokter dan kode etik kedokteran di kesehariannya.
Apabila telah diingatkan tetapi tetap minus etika, organisasi profesi dituntut memberi sanksi etik. Sanksi bisa berupa teguran, pengasingan atau pengucilan, skorsing sampai dikeluarkan dari keanggotaan organisasi profesi. Bila sanksi diterima dan dijalani dengan tulus, organisasi profesi akan merehabilitasi namanya agar bisa kembali diterima para sejawatnya. Namun, jika tak setuju atau berkeberatan, ia berhak mengajukan pembelaan diri.
Begitulah sejatinya profesi dokter menjaga martabat dan keluhuran profesinya.
Zaenal Abidin, Ketua Umum PB IDI Periode 2012-2015 dan Sekjen PB IDI Periode 2006-2009