Organisasi Profesi Dokter
Profesi dokter memiliki kekhususan karena terikat kontrak sosial dengan masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Karena itu, di satu negara seyogianya hanya ada satu organisasi profesi dokter.
Penutupan Muktamar Ikatan Dokter Indonesia Ke-31 pada 26 Maret 2022 dini hari merupakan peristiwa biasa. Salah satu agenda adalah pembacaan laporan dari Majelis Kode Etik Kedokteran yang telah melakukan sidang-sidang secara mandiri sejak beberapa tahun sebelum muktamar. Peristiwa ini menjadi ”tidak biasa” ketika ada ”seseorang” dengan sengaja memviralkan cuplikan video pembacaan laporan oleh MKEK sampai pada keputusan menghentikan keanggotaan Letnan Jenderal (Purn) Prof Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K) secara permanen dari IDI.
Dalam waktu beberapa jam sejak diviralkan hingga kini, bergemuruhlah respons secara serentak dari berbagai pihak (mayoritas bukan dari kalangan dokter) yang berisikan hujatan kepada IDI karena terlalu mendominasi dan terlalu berkuasa, serta tuntutan agar organisasi profesi dokter tidak lagi dimonopoli IDI. Bahkan muncul usulan revisi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang memberikan legitimasi bahwa IDI adalah satu-satunya organisasi profesi dokter.
Tulisan ini mencoba mendudukkan secara jernih organisasi profesi, khususnya profesi dokter, agar bangsa Indonesia tidak salah melangkah dalam memperbaiki tata kelola organisasi profesi dokter.
Baca juga : Terawan Direkomendasikan Dipecat dari Anggota IDI
Pengertian profesi
Profesi adalah sekelompok individu yang mendisiplinkan diri untuk mematuhi standar etik serta berpegang teguh pada disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan yang telah diakui melalui proses pendidikan dan penelitian pada jenjang pendidikan tinggi, serta siap menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk kemashlahatan pihak lain (Chhaparwal, et al, 2016).
Kode etik profesi memiliki peran sangat penting karena memberikan arah, mengendalikan, serta memberikan perintah bagaimana seorang profesi harus bertindak, berperilaku, serta berpraktik melampaui kepentingan individu. Kode etik profesi juga menunjukkan adanya kewajiban moral dan tuntutan terhadap standar perilaku yang tinggi ketika memberikan pelayanan publik serta ketika bekerja sama dengan kolega profesi.
Kode etik profesi dibutuhkan untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi tersebut, serta melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan keahlian. Ada empat prinsip etika profesi yang harus dijunjung tinggi, yaitu prinsip otonomi, prinsip integritas moral, prinsip keadilan, dan prinsip tanggung jawab.
Profesi dokter memiliki kekhususan karena terikat kontrak sosial dengan masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk individu, keluarga, dan masyarakat tanpa memandang latar belakang.
Profesi dokter memiliki kekhususan karena terikat kontrak sosial dengan masyarakat untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk individu, keluarga, dan masyarakat tanpa memandang latar belakang. Dokter mendapat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Dalam menjalankan praktik kedokterannya, dokter memiliki otonomi profesi dan independensi klinik.
World Medical Association (WMA) mengeluarkan Deklarasi Seoul tentang Otonomi Profesi dan Independensi Klinik pada 2008. Dengan otonomi profesi, seorang dokter memiliki kebebasan yang tinggi untuk membuat pertimbangan klinik (clinical judgement) dan keputusan klinik (clinical decision making) yang terbaik untuk pasien. Otonomi profesi dan independensi klinik merupakan unsur yang sangat penting dalam menyediakan pelayanan kesehatan yang bermutu untuk semua pasien dan masyarakat, yang pada akhirnya memberikan manfaat tinggi dalam menghasilkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Walaupun demikian, agar tidak terjadi kesewenangan ataupun penyalahgunaan terhadap otonomi profesi dan keahlian khusus yang dimiliki, profesi dokter memiliki regulasi yang sangat ketat. Profesi dokter dilindungi oleh UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. UU ini pernah diajukan dalam peninjauan kembali (judicial review) oleh 32 dokter dan dokter spesialis. Hasil peninjauan kembali ini dituangkan dalam amar Keputusan Mahkamah Konstitusi No X/PUU-XV/2017, yang salah satunya mengukuhkan IDI sebagai ”rumah besar” profesi kedokteran.
Regulasi profesi dokter dan peran organisasi profesi
Bagaimana regulasi profesi dokter dijalankan? Regulasi profesi dokter dituangkan secara lengkap dalam UU Praktik Kedokteran. Ada empat pemangku kepentingan utama yang mendapat mandat UU ini, yaitu pemerintah, organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan, serta asosiasi institusi pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi. UU ini juga mengamanahkan dibentuknya Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang anggotanya terdiri atas perwakilan keempat pemangku kepentingan tersebut.
Jelas sekali, model regulasi profesi dokter yang diadopsi di UU Praktik Kedokteran adalah professional-public partnership, yaitu kemitraan antara pemerintah dan kalangan profesi. Ini adalah bentuk yang sesuai untuk kondisi di Indonesia.
Menurut Chapparwal, et al (2016), aspek-aspek yang diregulasi adalah menjamin mutu pendidikan dan pelayanan, membangun dan mempertahankan kepercayaan antara pasien dan dokter, merumuskan standar kompetensi dan kode etik profesi, mendorong perilaku profesional, menjamin pemanfaatan sumber daya yang efisien dalam menjalankan praktik kedokteran untuk kepentingan pasien, menguji kompetensi untuk praktik, serta memantau dan meningkatkan kompetensi. Menurut UU Praktik Kedokteran, organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi mendapat mandat untuk merumuskan standar kompetensi, standar pendidikan, dan kode etik profesi; menguji kompetensi; melakukan pemantauan dan peningkatan kompetensi dokter.
Model regulasi profesi dokter yang diadopsi di UU Praktik Kedokteran adalah professional-public partnership, yaitu kemitraan antara pemerintah dan kalangan profesi.
Dengan adanya mandat tersebut, organisasi profesi telah melakukan penyesuaian AD/ART dan membentuk organ-organ yang dibutuhkan untuk melaksanakan mandat tersebut. Sesuai AD/ART IDI tahun 2018, struktur kepemimpinan terdiri dari Pengurus Besar IDI, Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), dan Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK), yang masing-masing memiliki wewenang dan tanggung jawab sesuai tugasnya.
MKKI bertanggung jawab mengatur bidang pendidikan kedokteran serta mengoordinasikan 38 kolegium spesialis dan satu kolegium dokter. MKEK bertanggung jawab mengatur bidang etik kedokteran. Adapun MPPK bertanggung jawab mengatur bidang pengembangan pelayanan keprofesian bermutu. MPPK membawahkan 89 organisasi profesi medis (berbagai perkumpulan, perhimpunan, atau persatuan dokter spesialis atau peminatan dari berbagai bidang keilmuan).
Sejatinya, di rumah besar IDI berhimpun berbagai organisasi keprofesian yang bekerja secara mandiri di bawah koordinasi majelis masing-masing. Selain itu, berhimpun pula para dokter yang melakukan praktik kedokteran yang tergabung dalam IDI cabang di tingkat kabupaten/kota dan IDI wilayah di tingkat provinsi.
Sesuai kebutuhan organisasi, IDI juga dilengkapi dengan badan-badan, seperti biro hukum, pembinaan dan pembelaan anggota (BHP2A), badan pengembangan keprofesian berkelanjutan (BP2KB), badan data dan informasi (badin), dan badan lain sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Pemberian sertifikat kompetensi menjadi wewenang kolegium yang akan dikeluarkan setelah dokter lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh kolegium. Dengan sertifikat kompetensi ini, setiap dokter dan dokter gigi dapat mengajukan permohonan surat tanda registrasi (STR) dari KKI. Di STR tertulis kompetensi sebagai dokter umum atau dokter spesialis sesuai bidang keahliannya. STR ini menjadi salah satu syarat untuk memperoleh surat izin praktik (SIP).
Baca juga : Mengamalkan Etika, Menjaga Marwah Profesi Kedokteran
Selain itu, organisasi profesi kedokteran mendapat mandat dari Menteri Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 untuk menerbitkan surat rekomendasi sesuai tempat praktik bagi dokter yang akan berpraktik. Pemberian rekomendasi ini menjadi tanggung jawab IDI cabang karena kepala dinas di kabupaten/kota yang akan mengeluarkan SIP. Setelah mendapatkan SIP, dokter berwenang menyelenggarakan praktik kedokteran sesuai kompetensi yang tercantum di STR. Sebagai contoh, ketika di STR tertulis ”sebagai dokter spesialis bedah umum”, dokter akan menjalankan praktik kedokteran sesuai dengan kompetensi sebagai dokter spesialis bedah umum.
Organisasi profesi dokter juga mendapatkan mandat dari UU Praktik Kedokteran, Pasal 7, untuk menetapkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi bersama pemangku kepentingan lain. Penyusunan standar pendidikan profesi dokter spesialis dilakukan oleh kolegium kedokteran. Setiap bidang spesialis memiliki kolegium yang beranggotakan para guru besar, kepala departemen, ketua program studi, ketua perhimpunan, dan anggota sesuai dengan bidang spesialisnya. Setiap kolegium spesialis menjalankan organisasi kolegium secara mandiri. Ada 38 kolegium spesialis yang berhimpun di bawah MKKI meregulasi tata kelola kolegium dan melakukan koordinasi.
Contoh lain adalah Permenristekdikti No 18/2018 tentang Standar Nasional Pendidikan Kedokteran. Menurut Pasal 35-36, standar kompetensi dokter spesialis dan dokter gigi spesialis disusun oleh kolegium dokter spesialis terkait bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan bidang kesehatan, asosiasi institusi pendidikan kedokteran Indonesia, asosiasi rumah sakit pendidikan Indonesia, dan disahkan oleh KKI.
Kemitraan pemerintah dan organisasi profesi
Dari penjelasan di atas jelas sekali ada banyak aspek—baik menyangkut pendidikan kedokteran maupun praktik kedokteran—yang diregulasi. Di setiap aspek, regulasi dilakukan secara bersama-sama dan melibatkan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, ataupun pemerintah kabupaten/kota, serta berbagai pemangku kepentingan, salah satunya organisasi profesi dokter dan dokter gigi.
Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dicontohkan di atas, mulai dari UU hingga peraturan menteri dan peraturan konsil kedokteran, jelas sekali bahwa organisasi profesi hanyalah salah satu pihak yang mendapatkan mandat dari pemerintah untuk melakukan regulasi. Oleh karena itu, pernyataan bahwa ”IDI terlalu berkuasa atau IDI mendominasi” adalah tidak tepat.
Apabila ditelisik lebih jauh, tidak ada satu aspek yang diregulasi yang ”betul-betul menjadi wewenang IDI dan hanya dilakukan oleh IDI secara penuh”. Di setiap tahap, mulai dari penyusunan standar kompetensi dan standar pendidikan profesi, penyelenggaraan pendidikan, pengembangan kurikulum pendidikan kedokteran, akreditasi program studi dan akreditasi rumah sakit, uji kompetensi, pemberian sertifikat kompetensi, penerbitan SIP, pengembangan keprofesian berkelanjutan, hingga resertifikasi, peran IDI adalah ”salah satu pemangku kepentingan”.
Tampaknya hanya pada penyusunan panduan atau pedoman pelayanan praktik kedokteran, peran perhimpunan keahlian cukup signifikan. Tentu saja hal ini terjadi karena memang yang memiliki otoritas keilmuan untuk menyusun panduan atau pedoman penatalaksanaan suatu penyakit adalah para dokter spesialis dan dokter subspesialis yang tergabung di perhimpunan.
Apabila ditelisik lebih jauh, tidak ada satu aspek yang diregulasi yang ”betul-betul menjadi wewenang IDI dan hanya dilakukan oleh IDI secara penuh ”.
Apakah IDI melakukan monopoli?
Begitu pula, tuduhan bahwa IDI melakukan monopoli perlu dikoreksi. Monopoli adalah istilah yang digunakan di dunia bisnis. Monopoli adalah keadaan ketika suatu bisnis dikuasai oleh satu perusahaan atau pasar, dan tidak memiliki pesaing.
Logika monopoli tidak tepat apabila diterapkan untuk organisasi profesi, apalagi untuk profesi dokter. Profesi dokter adalah profesi yang dilandasi oleh regulasi yang ketat dan kode etik kedokteran seperti telah dijelaskan di atas.
Sebagai contoh, di dunia bisnis adalah hal biasa suatu perusahaan melakukan pemasaran secara optimal—bahkan kadang melebih-lebihkan produknya—agar memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan pesaingnya. Sebuah perusahaan tidak segan-segan mengeluarkan dana cukup besar untuk melakukan pemasaran.
Di dunia bisnis, dimungkinkan pelanggan untuk berpindah-pindah perusahaan apabila tidak puas terhadap layanannya. Bahkan beberapa perusahaan diperbolehkan bersaing secara keras untuk memperebutkan pelanggan.
Akan tetapi, untuk profesi dokter, pada Kode Etik Kedokteran Indonesia 2021 Pasal 4 disebutkan bahwa ”seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri” dan Pasal 19 yang menyatakan ”setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan keduanya atau berdasarkan prosedur yang etis”.
Baca juga : Kolonialisasi Ilmu
Praktik baik yang terjadi di banyak negara adalah di tingkat nasional hanya ada satu representasi organisasi profesi yang mendapat mandat dari pemerintah. World Medical Association (Badan Kedokteran Dunia) yang beranggotakan 115 negara, di setiap negara hanya ada satu representasi organisasi profesi. Hal ini bukan berarti organisasi profesi melakukan monopoli. Justru, di dalam satu negara seyogianya hanya ada satu organisasi profesi yang mendapat mandat pemerintah.
Bisa dibayangkan betapa kacaunya sistem pelayanan kesehatan apabila logika bisnis diterapkan untuk organisasi profesi. Alih-alih meningkatkan mutu pelayanan, malah akan menghancurkan sistem pelayanan kesehatan yang telah terbangun secara mapan selama 20 tahun terakhir.
Sebagai contoh, apabila ada banyak kolegium ilmu bedah Indonesia, siapa yang akan diundang pemerintah untuk merumuskan standar kompetensi dokter bedah dan standar pendidikan profesi bedah? Siapa yang akan melakukan uji kompetensi? Kolegium yang mana? Atau apakah setiap kolegium bisa? Siapa yang akan merumuskan pedoman penatalaksanaan penyakit-penyakit bedah?
Akan ada banyak pedoman penatalaksaaan untuk penyakit yang sama. Lalu, rumah sakit, klinik, puskesmas akan merujuk ke pedoman yang mana? Bisa dibayangkan berapa UU, peraturan pemerintah, peraturan menteri, peraturan konsil yang harus direvisi apabila ini terjadi. Akan timbul suasana persaingan tidak sehat yang tentu saja akan melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia. Semangat nirlaba organisasi profesi yang telah berjalan hampir satu abad akan terancam. Hasil akhirnya adalah masyarakat dan pemerintah yang juga akan mengalami kerugian.
Solusi ke depan
Tidak dimungkiri bahwa IDI saat ini belum sempurna, karena itu tetap terbuka untuk peningkatan berkelanjutan (continuous improvement). Tetapi, bukan berarti perlu membentuk organisasi profesi dokter yang baru. Tata kelola organisasi profesi yang ada sekarang sangat memungkinkan diperbaiki, bahkan dapat direformasi, sepanjang memberikan efek manfaat lebih kepada pasien, keluarga, dan masyarakat. Jangan sampai reformasi atau perbaikan yang dilakukan malah merusak tatanan yang sudah ada. Hal-hal yang sudah baik tetap bisa dipertahankan.
Melihat tantangan ke depan yang lebih kompleks dengan adanya disrupsi teknologi 4.0, perkembangan masyarakat 5.0, perubahan pola penyakit, ancaman pandemi, perubahan demografi penduduk, ketimpangan antardaerah dalam hal akses dan mutu pelayanan kesehatan, maka peran IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dalam bermitra dengan pemerintah untuk memperkuat sistem kesehatan nasional, mencapai tujuan Sustainable Development Goals 3, serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat akan sangat penting.
Baca juga : Tata Kelola Organisasi Profesi Kedokteran Perlu Perbaikan
Untuk itu, organisasi profesi perlu dikelola secara lebih agile dan profesional. Pemerintah dapat berperan untuk memfasilitasi penguatan organisasi profesi melalui pemberian dana-dana hibah agar organisasi profesi dapat melaksanakan mandat yang diberikan, atau bisa pula mengembangkan infrastruktur pembelajaran jarak jauh untuk pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan.
Pemerintah dapat pula memfasilitasi mengembangan sistem informasi berbasis digital yang terintegrasi untuk pengurusan sertifikat kompetensi, STR, dan SIP sehingga dapat mengurangi jumlah waktu yang dibutuhkan. Ada banyak peluang kemitraan antara pemerintah dan organisasi profesi untuk mengembangkan berbagai inovasi agar mutu pelayanan pendidikan dan praktik kedokteran dapat lebih ditingkatkan.
Titi Savitri Prihatiningsih, Lektor Kepala Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Anggota Executive Council World Federation for Medical Education