Tata Kelola Organisasi Profesi Kedokteran Perlu Perbaikan
Sejumlah pihak mendorong adanya transformasi organisasi Ikatan Dokter Indonesia. Hal ini diperlukan agar dokter Indonesia mampu menjawab tantangan kesehatan masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Transformasi mendasar perlu dilakukan pada organisasi profesi kedokteran di Indonesia, yakni Ikatan Dokter Indonesia. Sejumlah pihak menilai tata kelola dan sistem yang terbentuk pada organisasi tersebut sarat akan konflik kepentingan sehingga dikhawatirkan dapat berdampak pada masyarakat luas.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI) Judilherry Justam menilai, organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah memonopoli dunia kedokteran dari hulu ke hilir, mulai dari pendidikan kedokteran hingga profesi kedokteran dan pelayanan kesehatan. Sistem yang bersifat sentralistik ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dari organisasi.
”Wewenang yang dijalankan menjadi kebablasan dan cenderung dapat disalahgunakan,” katanya dalam peluncuran buku komik parodi IDI Mau Dibawa ke Mana-2? secara virtual di Jakarta, Senin (21/3/2022). Buku tersebut disusun oleh Judilherry bersama dengan Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Judilherry menuturkan, persoalan wewenang IDI muncul dari aturan yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam aturan tersebut terdapat sejumlah pasal yang multitafsir. Pada pasal 38 Ayat (1), misalnya, untuk mendapatkan izin praktik dokter dari dinas kesehatan, seorang dokter harus terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi surat izin praktik dari IDI. Ketentuan ini dinilai menjadi anomali di dunia kedokteran karena belum ada referensi serupa dari negara lain.
Selain itu, pada Pasal 14 Ayat (1) juga disebutkan bahwa anggota Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) terdiri atas 17 orang yang terdiri dari 7 orang dari kolegium kedokteran, 7 orang dari kolegium kedokteran gigi, dan 3 orang dari unsur masyarakat. Adapun kolegium kedokteran tersebut, antara lain, terdiri atas perwakilan IDI.
Wewenang yang dijalankan menjadi kebablasan dan cenderung dapat disalahgunakan.
”Permasalahannya adalah IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan fungsi sebagai anggota KKI. Namun, pada saat yang sama juga menjadi obyek regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut,” kata Judilherry.
Menurut dia, keanggotaan KKI tidak seharusnya merupakan unsur dari organisasi profesi, kolegium, asosiasi fakultas kedokteran, dan asosiasi rumah sakit karena berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pihak yang menjadi sasaran regulasi tidak tepat jika merangkap sebagai regulator.
Pandu menambahkan, persoalan lain yang ditemukan adalah pada pelaksanaan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Pada 2007-2013, UKDI merupakan tanggung jawab Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (KBUKDI). Pada saat itu, banyak dokter yang tidak lulus UKDI.
Kondisi tersebut kemudian mendorong Pandu yang ketika itu Ketua Kolegium Dokter Primer Indonesia (KPDI) untuk meminta PB IDI menyelesaikan masalah tersebut. Namun, menurut Pandu, sebagian pengurus IDI justru memiliki keinginan kuat untuk melakukan pemutihan sehingga ujian kompetensi dokter hanya dijadikan sebagai formalitas.
Sejumlah pengurus KDPI pun tidak menginginkan hal tersebut karena dapat berpengaruh pada praktik kedokteran. Pemutihan berpeluang membuat sertifikat kompetensi diberikan kepada dokter yang tidak kompeten. Akhirnya, restrukturisasi KDPI dilakukan oleh PB IDI dengan membubarkan KDPI yang kemudian membentuk kolegium baru yang dapat melakukan upaya pemutihan tersebut.
”Membiarkan adanya dokter yang tidak kompeten untuk berpraktik itu dapat membahayakan keselamatan rakyat, keselamatan publik,” kata Pandu.
Judilherry menuturkan, organisasi IDI saat ini memerlukan transformasi yang mendasar. Berbagai perbaikan perlu dilakukan untuk menjadikan IDI lebih baik, terutama untuk menghindari adanya konflik kepentingan di dalamnya.
”Yang dibutuhkan IDI saat ini adalah pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya dan yang mewakafkan dirinya untuk IDI, tidak memiliki kepentingan lain apa pun, baik kepentingan pribadi maupun kelompok. Dan jangan menjadikan IDI sebagai batu loncatan untuk menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan maupun lembaga,” tuturnya.
Secara terpisah, Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih menyampaikan, adanya keterwakilan IDI dan asosiasi lain dalam kepengurusan KKI justru diperlukan. Hal itu diperlukan untuk mewakili semua elemen terkait karena aturan yang akan dihasilkan amat berkaitan dengan pelayanan yang dijalankan. Karena itu, pihak terkait harus dilibatkan.
Sementara terkait izin praktik, Daeng menyampaikan, organisasi profesi berperan untuk mengawasi dan membina para dokter agar tetap sesuai dengan kode etik dan kompetensi yang seharusnya dimiliki. Jika izin praktik diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini dinas kesehatan, fungsi pengawasan tidak akan optimal.
”Karena itu, seorang dokter juga harus tergabung dalam organisasi profesi kedokteran. Jika tidak tergabung, siapa yang dapat menjamin etika dan kompetensi dari dokter tersebut. Organisasi profesi berperan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar layanan pada masyarakat dapat terjamin aman,” katanya.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) yang juga mantan Dekan FKUI, Ratna Sitompul, menilai, masalah-masalah yang terjadi terkait organisasi IDI menunjukkan betapa berat tantangan yang dihadapi sebagai organisasi profesi. Karena itu, langkah perbaikan dan restrukturisasi perlu dilakukan agar bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa setiap dokter selalu menjaga kemuliaan dalam profesinya. ”Profesi dokter adalah profesi yang mulia. Kita perlu berhimpun dalam organisasi yang melaksanakan visi dan misi yang mulia pula, yaitu menolong dan memberikan upaya terbaik bagi pasien dan masyarakat,” pungkasnya.