JAKARTA, KOMPAS—Ikatan Dokter Indonesia diminta melaksanakan fungsi dan wewenang sesuai yurisdiksinya. Sejumlah pihak menilai IDI mengalami degradasi fungsi sehingga berpotensi menyalahgunakan wewenang.
Guru Besar Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sjamsuhidajat Ronokusumo menilai IDI mendominasi semua urusan kedokteran, termasuk pendidikan. ”IDI tak berwenang mengatur pendidikan kedokteran, tetapi yang terjadi seperti itu,” ujar Sjamsuhidajat dalam peluncuran buku IDI Mau Dibawa ke Mana?, Senin (22/10/2018), di Jakarta.
IDI tak berwenang mengatur pendidikan kedokteran, tetapi yang terjadi seperti itu.
Pihak yang berwenang mengatur pendidikan kedokteran ialah kolegium berupa badan hukum pendidikan seperti universitas. Badan hukum ini menerbitkan sertifikasi dan ijazah dokter. Namun, kini sertifikasi lulus uji kedokteran diberikan IDI.
Pengajar FKUI yang juga mantan Dekan FK Universitas Tanjungpura, Sugito Wonodirekso, menilai uji kompetensi digelar IDI substandar karena tanpa dasar keandalan. Uji kompetensi tak dievaluasi. Akibatnya, mutu dokter dipertanyakan.
Multitafsir
Staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI Judilherry Justam menambahkan, sengkarut fungsi organisasi kedokteran ini bermula dai Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Sejumlah pasal dari peraturan tersebut menimbulkan multitafsir. Pihak IDI pun menafsirkan pihaknya berwenang menyelanggarakan uji kompetensi dokter baru lulus sebelum memberi sertifikat kompetensi.
Judilherry berpendapat, hal yang seharusnya berlaku adalah tiap mahasiswa kedokteran yang lulus uji kompetensi mahasiswa program pendidikan kedokteran (UKMPPD) berhak mendapat sertifikat profesi dari fakultas dalam bentuk ijazah dan otomatis berhak mendapatkan sertifikat kompetensi dari kolegium dengan membayar biaya administrasi pengganti alat tulis kantor (ATK).
“Kenyataannya, untuk memperoleh selembar sertifikat kompetensi, dokter baru harus membayar RP 300.000. Berbekal setrtifikat ini lulusan dokter ini baru bisa mengurus surat tanda registrasi ke Konsil Kedokteran Indonesia untuk mengurus izin praktik,” ujarnya.
Sjamsuhidajat berharap, IDI bisa menyadari yuridiksinya dan tidak terlibat langsung dalam wewenang pendidikan ini. Sebab, IDI sejatinya hanya mengurusi masalah kesejahteraan anggotanya, seperti memastikan tarif yang diterima oleh dokter adil, adanya perlindungan hukum yang layak bagi dokter, serta memudahkan dokter dalam memenuhi sarana dan prasana dalam berpraktik.
Ahmad Djojosugito, Ketua Umum PB IDI Periode 2000-2003 pun berpendapat, instropeksi dan retropeksi bisa dijalankan oleh IDI periode saat ini agar bisa menjadi organisasi profesi yang mampu berperan maksimal dalam sistem kesehatan masyarakat yang sesuai dengan standar. Struktur pengawas pun seharusnya diadakan dalam organisasi IDI.
“Dalam UU No 29/2004 perlu dijelaskan lebih rinci melalui peraturan turunan. Pemerintah dari Kemenkes dan Kemenristek dan Dikti, serta profesi belum sepakat tentang praktik kedokteran. Jangan sampai hal ini menyebabkan penurunan mutu kedokteran di Indonesia,” katanya.