Langkah yang mungkin paling tepat untuk mengakhiri gelombang regresi ketatanegaraan dan deregulasi struktural dengan menuntaskan agenda reformasi struktural, khususnya di bidang politik.
Oleh
M NURUL FAJRI
·5 menit baca
Lemahnya fungsi pengawasan oleh parlemen terhadap jalannya pemerintahan dapat mengakibatkan kemunduran terhadap sistem dan praktik ketetanegaraan. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi lemahnya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan tersebut. Pertama, kreativitas gagasan parlemen terutama oposisi yang lemah (Subekti, 2021). Kedua, penggelembungan kekuasaan eksekutif serta pembungkaman terhadap kritik (Mietzner, 2019;Power, 2018).
Sebagai negara hukum, tentu kita heran kalau penyimpangan kekuasaan amat mudah dilakukan lewat tindakan merekayasa bahkan mengada-ada sesuatu yang sejatinya tidak diatur atau dibenarkan menurut hukum. Begitu juga dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga yang paling berbahaya adalah pelanggengan kekuasaan. Rangkaian peristiwa ini merupakan langkah regresi terhadap demokrasi konstitusional atau spesifiknya terhadap sistem ketatanegaraan. Terutama terhadap cita-cita reformasi konstitusional tahun 1998 yang termanifestasikan lewat UUD 1945 perubahan.
Perubahan UUD 1945 memang dilakukan dalam rangka pembenahan terhadap sistem ketatanegaraan, dan penguatan pengaturan terhadap hak-hak dasar dan kewajiban warga negara. Selang beberapa tahun pasca perubahan UUD 1945, upaya regresi mulai dilakukan dengan mempereteli kembali sistem ketatanegaraan untuk menariknya kembali seperti pada masa orde baru. Tidak terkecuali pengabaian terhadap hak-hak dasar turut dilakukan.
Sebagai instrumen pendukung demokrasi secara lebih luas, regresi terhadap sistem ketatanegaraan adalah semancam validasi terhadap perubahan sejak reformasi yang terbatas pada formalisme hukum. Akan tetapi tidak pada aspek demokrasi secara menyeluruh. Demokrasi tidak bisa dikatakan mundur, karena sejauh ini elemen-elemen pro-demokrasi jauh dari teroganisir serta tidak pernah menjadi kekuatan yang signifikan sebagai penyeimbang kekuasaan yang anti-rakyat (Mudhoffir, 2021).
Perubahan yang terjadi hanyalah dari struktural-konstitusional (sistem ketatanegaraan) dan komposisi elite. Sementara fase awal reformasi hanyalah masa jeda bagi struktur demokrasi oligarki-otoritarianisme untuk menarik diri sementara waktu dan kembali pada waktu serta keputusan yang tepat.
Langkah regresi
Langkah regresi ketatanegaraan oleh struktur demokrasi yang tidak berubah dimulai dengan melakukan deregulasi struktural. Deregulasi struktural adalah tindakan atau upaya merusak kapasitas inti kelembagaan negara dan melakukannya sebagian besar di luar pandangan dan di luar jangkauan untuk dilakukan upaya hukum, yang menyebabkan kerugian yang berpotensi bertahan lama (Freeman & Jacops, 2021).
Langkah deregulasi struktural merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan utama dari regresi ketatanegaraan. Dengan mempereteli lembaga negara yang diperkirakan dapat mengganggu jalannya pemerintahan akan memberkan kemudahan bagi tindakan kekuasaan yang menjurus otoriter, KKN, hingga upaya melanggengkan kekuasaan.
Langkah deregulasi struktural merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk mencapai tujuan utama dari regresi ketatanegaraan.
Dalam hal ini, konteks deregulasi struktural dilakukan dengan “merusak” kapasitas inti lembaga negara independen atau lembaga negara pengawas untuk memperkuat atau mempertahankan agenda kekuasaan presidensil. Freeman & Jacops (2021) merumuskan empat agenda utama dalam upaya deregulasi struktural, yaitu; 1) merecoki aspek sumber daya manusianya, baik struktural, fungsional, hingga sengaja mengosongkan posisi strategis; 2) gangguang terhadap sumber daya lain seperti, alokasi anggaran atau kantor; 3) keahlian lembaga, seperti produk kebijakan kelembagaan yang tidak lahir dari tinjauan akademik yang mumpuni dan berintegritas; dan (4) penyerangan reputasi lembaga, seperti serangan tuduhan buruk atas sebuah lembaga hingga pengabaian terhadap keputusan atau rekomendasi lembaga pengawas.
Indikator sebagai agenda utama dalam deregulasi struktural mengarahkan kita pada beberapa situasi yang telah atau masih terjadi. Semisal revisi UU KPK yang terang-terangan telah mengganggu kapasitas kelembagaan KPK dalam pemberantasan korupsi. Tidak terkecuali pengangkatan pimpinan KPK saat ini dan proses alih status kepegawaian KPK lewat tes wawasan kebangsaan.
Serangkaian peristiwa yang berhasil meruntuhkan level kepercayaan masyarakat terhadap KPK pada titik terendah sejak pertama kali berdiri. Jauh sebelumnya, selang beberapa tahun setelah UUD 1945 diamendemen, lembaga negara yang pertama kali dirusak adalah Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah dengan cara mengamputasi kewenangannya.
Yang terbaru ialah indikasi lain yang terlihat lewat revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka “mengamankan putusan MK” terhadap beberapa perkara judicial review UU tertentu. Perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi adalah barter yang dianggap setara untuk “upaya pengamanan” tersebut.
Selain yang lebih membahayakan adalah lembaga yang berwenang mengisi jabatan hakim konstitusi – Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung - dalam batas penalaran yang wajar sangat rentan terpolitisasi mengingat komposisi koalisi pemerintah hari ini. Tak terkecuali unsur hakim konstitusi yang diusulkan oleh MA. Oleh karena hakim agung juga merupakan produk persetujuan DPR.
Upaya lain dari deregulasi struktural berupa perusakan reputasi terhadap lembaga lain juga terjadi secara masif dengan melakukan pengabaian terhadap langkah pelaksanaan kewenangan oleh lembaga negara pengawas. Seperti yang hari ini kerap dilakukan dengan mengabaikan hasil rekomendasi terhadap pengawasan atau penegakan hukum yang dilakukan oleh Komnas HAM dan Ombudsman. Tujuannya sederhana, agar keberadaan lembaga negara independen atau lembaga negara pengawas seolah tidak memiliki kegunaan, karena pelaksanaan kewenangannya yang tidak efektif.
Di sisi lain, jauh sebelum kapasitas inti lembaga negara lain dirusak untuk mengamankan kekuatan presidensil, 85 persen kekuatan politik di DPR telah dikuasai dengan praktik yang koalisi traksaksional. Tentu hal ini akan menghadirkan mekanisme psuedo-checks and balances dalam sistem presidensil dengan lemahnya kuantitas serta kualitas oposisi di parlemen. Dominasi kekuatan politik formil ini tidak lain merupakan salah satu bentuk penggelembungan kekuasaan eksekutif, selain adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dan ambang batas parlemen (parliamentery threshold) dalam UU Pemilu yang semakin mengisolasi struktur elite kekuasaan dari kehendak rakyat yang sesungguhnya.
Menggeser paradigma
Langkah yang mungkin paling tepat untuk mengakhiri gelombang regresi ketatanegaraan dan deregulasi struktural dengan menuntaskan agenda reformasi struktural, khususnya di bidang politik. Caranya dengan: pertama, memperkuat sistem akuntabilitas kinerja wakil rakyat; dan kedua, dengan mendemokratisasi partai politik.
Upaya penguatan sistem akuntabilitas kinerja wakil rakyat dapat dilakukan dengan merevisi konsep mandat perwakilan dengan model mekanisme akuntabilitas berkala sesuai musim pemilu pada saat ini menjadi mekanisme akuntabilas proporsional penarikan mandat yang dapat dilakukan sepanjang masa jabatan, sejauh memenuhi syarat-syarat dan mekanisme yang proporsional (recall by constituen).
Upaya lain dengan mendemokratisasi partai politik adalah langkah agar partai politik dapat lebih inklusif serta memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Harapannya dengan kedua langkah ini akan bermuara pada ketaatan anggota parlemen yang semula taat kepada partai dan kekuasaan, kembali pada khitahnya, yakni ketaatan kepada konstituen atau rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
M Nurul Fajri, Pengajar Hukum Tata Negara, Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, dan Erasmus+ Scholarship Program pada Radboud University