Membenahi Kebijakan Pupuk Nasional
Pupuk merupakan komponen teramat penting dalam budidaya dan pembangunan pertanian. Besaran subsidi langsung dan dampak ikutannya akan menggerakkan perekonomian perdesaan dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani.
Pupuk merupakan komponen teramat penting dalam budidaya dan pembangunan pertanian. Tanpa pupuk, petani hanya akan mampu mencukupi kebutuhan pangan untuk diri mereka sendiri dan pangan menjadi tak terjangkau komunitas di luar petani.
Meski proporsi komponen pupuk relatif kecil terhadap total biaya usaha tani, yaitu hanya 9-10 persen untuk padi (BPS 2018) dan 15-20 persen untuk jagung hibrida, pupuk adalah komponen esensial yang menentukan tingkat produktivitas tanaman. Penurunan penggunaan pupuk dalam batas tertentu akan menurunkan produksi dan demikian pula sebaliknya.
Subsidi harga pupuk sudah dilakukan pemerintah sejak 1969, periode yang teramat panjang untuk sebuah kebijakan. Kebijakan ini bertujuan untuk menyediakan pupuk dengan harga terjangkau oleh petani dan diharapkan mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani. Subsidi yang mirip juga dilakukan di berbagai negara di Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika mulai dari tahun 1960-an hingga 1980-an.
Kebijakan subsidi harga pupuk ditempuh berdasarkan pertimbangan pemakaian pupuk sintetik yang sangat rendah, pasar pupuk yang kecil yang menyebabkan biaya logistik dan harga pupuk yang tinggi, serta dominannya petani miskin berskala kecil yang enggan mengambil risiko dengan membeli dan mengaplikasikan pupuk sintetik.
Sebagai contoh di Sub-Sahara Afrika yang memiliki tingkat produksi pertanian yang rendah dan sering dilanda kelaparan, pemakaian pupuk sintetik pada periode 2006-2008 hanya 7,1 kilogram/hektar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Asia Selatan (129,4 kilogram/hektar), Asia Timur dan Tenggara (109,6 kilogram/hektar), dan Amerika Latin (104,8 kilogram/hektar) (FAOSTAT 2010).
Subsidi harga pupuk sudah dilakukan pemerintah sejak 1969, periode yang teramat panjang untuk sebuah kebijakan.
Di Indonesia, apabila dihitung dari volume pupuk bersubsidi yang sebagian besar masuk ke petani padi, pemakaian pupuk di 2021 sudah mencapai 100,2 kilogram/hektar setiap musim tanam. Namun, dalam kenyataannya pupuk sintetik yang digunakan petani padi jauh melampaui angka itu, dalam kisaran 260-500 kilogram/hektar per musim tanam dengan urea menduduki porsi terbesar, 65-68 persen.
Anggaran subsidi pupuk di Indonesia mengalami peningkatan tajam, dari Rp 13,96 triliun (2012) untuk 8,81 juta ton pupuk melonjak menjadi Rp 34,24 triliun (2020) untuk 10,52 juta ton pupuk dan menurun menjadi Rp 29,06 triliun (2021) dan Rp 25,28 triliun (2022).
Lalu, apakah peningkatan anggaran subsidi pupuk ada pengaruhnya terhadap produksi padi? Jawabannya ternyata tidak. Produksi padi pada 2012 mencapai 57,77 juta ton gabah kering giling (GKG) (DA Santosa, 2022, dari Citra Satelit dan sumber Internasional), tetapi pada 2020 justru menurun menjadi 54,65 juta ton GKG (BPS 2021).
Baca juga : Polri Mulai Usut Penyelewengan Pupuk Bersubsidi
Kebijakan Subsidi pupuk
Subsidi pupuk akan efektif apabila pasar tidak bekerja dengan baik atau mengalami kegagalan pasar. Petani memakai pupuk jauh dari optimal karena petani tidak memahami keuntungan yang akan didapatkan, dan/atau mereka tidak mampu membeli pupuk atau pupuk tidak tersedia secara fisik.
Dalam kondisi seperti itu, industri pupuk sebagian besar tidak berkembang, pemasok pupuk juga tidak mampu mencapai skala ekonomi (economic of scale) untuk mengurangi biaya transportasi yang tinggi. Subsidi pupuk akan membantu meningkatkan produksi pertanian dan menjadi titik awal pengembangan pasar dengan meningkatkan permintaan input dalam skala besar yang akan menurunkan harga pupuk. Dalam kasus seperti itu, subsidi pupuk secara ekonomi terjustifikasi.
Subsidi pupuk sudah barang tentu tidak bisa berlangsung selamanya. Model dari negara-negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengindikasikan bahwa subsidi merupakan cara yang paling tidak efisien untuk mentransfer pendapatan ke rumah tangga pertanian. Para ahli mengindikasikan bahwa selain deadweight loss yang terkait dengan berbagai subsidi, subsidi pupuk adalah kebijakan fiskal yang sangat tidak berkelanjutan karena biaya finansial dan administrasi yang besar.
Subsidi pupuk akan efektif apabila pasar tidak bekerja dengan baik atau mengalami kegagalan pasar.
Di negara-negara maju tak ada kebijakan pupuk bersubsidi karena akan mendistorsi pasar dan harga serta tak efisien. Subsidi pupuk juga mendorong pemakaian pupuk berlebihan dan tak seimbang yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Di beberapa negara, pemakaian pupuk sintetik justru dikenai pajak. Subsidi pupuk juga menghambat upaya-upaya lain, misalnya pengembangan pupuk hayati dan organik untuk meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk dan produktivitas tanaman.
Selain itu, disparitas harga yang tinggi antara pupuk bersubsidi dan non-subsidi akan menciptakan perilaku pemburu rente, apalagi ketika harga pupuk dunia melonjak tinggi. Sebagai contoh, disparitas harga antara urea bersubsidi dan non-subsidi rata-rata selama ini mencapai Rp 3.450. Saat ini, ketika harga dunia urea dan pupuk berbasis nitrogen lainnya melambung tinggi, disparitas harga mencapai Rp 9.000-Rp 10.000 per kilogram, perbedaan harga yang sangat menggiurkan bagi sebagian orang.
Pemburu rente
Program subsidi pupuk yang sudah berjalan sedemikian lama, yakni selama 53 tahun, menciptakan para pemburu rente yang berusaha mendapatkan manfaat dari kebijakan ini dengan masuk ke semua lini, berjejaring, dan semakin mengakar kuat.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mencatat berbagai hal, termasuk pencampuran pupuk bersubsidi dan non-subsidi, penyebaran isu kelangkaan pupuk yang menyebabkan harga pupuk meningkat, penimbunan pupuk, dan penggantian kemasan pupuk bersubsidi menjadi non-subsidi.
Di banyak negara yang memiliki kebijakan subsidi pupuk, banyak pihak bermain untuk memperoleh keuntungan, baik secara personal maupun politik. Mereka mendapatkan kesempatan memantapkan dan menjaga dukungan elektoral dan politikal melalui jaringan klientelistik. Perilaku tersebut berjalan dari sejak penetapan anggaran, alokasi pupuk, hingga distribusinya ke petani.
Di beberapa negara, pupuk subsidi sengaja diarahkan kepada penerima dengan suara politik lebih besar, terlepas dari tingkat kemiskinan relatif pihak penerima. Selain itu, mekanisme subsidi pupuk juga melemahkan persaingan dan efisiensi dalam pemberian dan penggunaan input produksi.
Berbagai pola kemudian dikembangkan, dan ini dapat membatasi akses penerima manfaat ke pupuk bersubsidi kemudian dikembangkan, dan memungkinkan pembayaran/tips untuk pemegang kendali distribusi pupuk, kebocoran pupuk dalam bentuk pengalihan penerima manfaat, pengalihan jenis, pengalihan pupuk bersubsidi lintas wilayah, bahkan negara.
Ketimpangan penerima manfaat pupuk bersubsidi juga terjadi. Semakin luas lahan yang dimiliki, semakin besar mendapatkan manfaat dari program pupuk bersubsidi. Sebanyak 34 persen rumah tangga tani dengan luas kepemilikan lahan 0,5-2,0 hektar memperoleh 69 persen subsidi pupuk, sebaliknya 66 persen petani berlahan sempit hanya memperoleh 31 persen manfaat dari program ini (diolah dari SUTAS, 2018). Petani organik bahkan tak dapat manfaat sama sekali dari kebijakan ini.
Ketimpangan penerima manfaat pupuk bersubsidi juga terjadi.
Pengalihan subsidi pupuk
Beberapa penelitian menunjukkan sebagian besar subsidi pupuk diberikan untuk industri pupuk. Hasil marginal dari pengeluaran pemerintah untuk subsidi pupuk lebih rendah dibandingkan sektor lainnya. Pengembalian investasi melalui program subsidi pupuk hanya 0,53 jauh lebih rendah dibandingkan penelitian dan pengembangan pertanian (6,9), jalan perdesaan (3,2), pendidikan perdesaan (1,5), dan irigasi (1,4) (Druilhe dan Barreiro-Hurle, FAO 2012).
Berbagai upaya juga sudah dilakukan untuk perbaikan sistem subsidi pupuk. Pemerintah mengembangkan enam prinsip dasar untuk perbaikan pupuk bersubsidi dalam upaya meningkatkan produksi pertanian Indonesia, yaitu ketepatan jumlah, jenis, waktu, tempat, kualitas, dan harga. Dari berbagai kajian dan kenyataan di lapang, enam indikator tersebut sulit tercapai. Ketidaktercapaian enam indikator tersebut menyebabkan kebijakan pupuk bersubsidi dikategorikan sebagai tidak efektif.
Di beberapa negara lainnya dikembangkan model yang dikenal dengan SMART subsidies, yaitu, pertama, specific. Subsidi yang ditargetkan khusus untuk petani yang tidak mampu atau tidak mau mengakses input yang harus mereka beli atau subsidi diberikan di wilayah di mana peningkatan penggunaan pupuk berkontribusi besar untuk peningkatan hasil.
Kedua, measurable, yaitu dampak kebijakan pupuk bersubsidi dapat diukur. Ketiga, achievable, yakni tujuan dari subsidi pupuk dapat tercapai. Keempat adalah results yang merujuk pada orientasi hasil. Terakhir, kelima, timely, yakni durasi implementasi subsidi pupuk yang tepat waktu.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, manfaat yang diperoleh dari kebijakan pupuk bersubsidi lebih rendah dibandingkan biayanya. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh IPB, subsidi pupuk di 2008 mampu meningkatkan nilai tambah sebesar Rp 5,2 triliun, tetapi biaya subsidi mencapai Rp 17,5 triliun (IPB, 2010).
Baca juga : Subsidi atas Nama Petani, Apakah Dinikmati Petani?
Kajian Bank Dunia juga menghasilkan hasil yang mirip, nilai tambah yang diperoleh dari subsidi pupuk Rp 8,3 triliun, tetapi hasil itu diperoleh dari nilai subsidi sebesar Rp 15,2 triliun. Dengan demikian, kebijakan subsidi pupuk secara ekonomi tidak efisien.
Di Sri Lanka efisiensi program subsidi pupuk hanya berkisar 42 persen hingga 71 persen atau dalam arti lain, 29 persen hingga 58 persen dana yang harusnya menjadi hak penerima manfaat (petani) menjadi hilang. Berdasarkan hasil kajian untuk Indonesia, penyelewengan dan kebocoran pupuk bersubsidi mencapai minimum 20 persen, atau dalam lima tahun terakhir ini Rp 6,4 triliun uang yang menjadi hak petani berpindah tangan tiap tahunnya.
Dengan demikian, perlu paradigma baru dalam kebijakan subsidi pupuk dengan mengalihkan subsidi input menjadi transfer langsung untuk modal tanam dan insentif produksi. Insentif produksi dapat ditempuh lewat program after-sold direct payment melalui pembayaran langsung setelah panen sebagaimana kesimpulan Rembug Nasional 2017 Bidang Pangan. Melalui program ini, anggaran Rp 32 triliun (rata-rata subsidi pupuk lima tahun terakhir) akan diterima petani Rp 32 triliun juga.
Selain itu, melalui insentif produksi petani akan tergerak untuk meningkatkan produksi karena semakin tinggi produksi mereka, semakin besar insentif yang mereka terima. Besaran subsidi langsung dan dampak ikutannya akan menggerakkan perekonomian di perdesaan dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani. Petani sejahtera, maka sejahteralah kita.
Dwi Andreas SantosaKepala Biotech Center IPB University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia