Subsidi atas Nama Petani, Apakah Dinikmati Petani?
Anggaran negara untuk menyubsidi pupuk tidaklah kecil. Tujuh tahun terakhir, nilainya lebih dari Rp 25 triliun per tahun. Namun, apakah subsidi tersebut dinikmati petani dan terbukti mendongkrak produksi pertanian?
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Hasil investigasi Kompas terkait pupuk bersubsidi, yang disajikan di harian ini, 27-28 Januari 2022, seperti tayangan ulang praktik lacur yang bertahun-tahun melingkupi program subsidi pupuk. Sejumlah temuan bukanlah problem baru, tetapi keberadaannya menegasikan sederet janji perbaikan. Subsidi negara triliunan rupiah nyatanya masih jadi incaran sindikat mafia dan garong di sepanjang jalur distribusi.
Sejumlah temuan tim, antara lain, ada manipulasi data dalam proses pengajuan pupuk bersubsidi, perdagangan pupuk bersubsidi secara ilegal, penjualan pupuk bersubsidi di atas ketentuan harga eceran tertinggi (HET), penjualan pupuk bersubsidi secara bebas tanpa mengacu rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK), data Kartu Tani tak sinkron dengan alokasi pupuk, serta ketersediaan pupuk yang tidak sesuai musim tanam.
Data jadi salah satu problem mendasar yang belum tuntas dibenahi. Problem itu, antara lain, tak semua petani tergabung sebagai anggota kelompok tani, tak semua kelompok tani terdaftar dalam sistem e-RDKK, tidak semua nomor induk kependudukan petani teraktivasi oleh data kependudukan dan catatan sipil sehingga mereka tidak bisa menunjukkan identitas diri, serta ada petani dengan lahan di atas 2 hektar yang terdaftar dalam e-RDKK.
Gap antara kebutuhan dan alokasi pupuk bersubsidi juga jadi problem tersendiri. Tahun lalu, misalnya, kebutuhan pupuk subsidi diperkirakan mencapai 24,3 juta ton, tetapi anggaran yang dialokasikan pemerintah hanya cukup untuk 9 juta ton. Namun, gap itu semestinya tidak bisa jadi pembenar atas sejumlah penyimpangan di lapangan.
Dengan alokasi yang hanya sekitar 37 persen dari kebutuhan tahun lalu, misalnya, pupuk bersubsidi semestinya lebih selektif tersalur ke petani yang benar-benar membutuhkan. Nyatanya, pupuk belum benar-benar tersalur sesuai enam prinsip yang digembar-gemborkan, yakni tepat jenis, jumlah, tempat, harga, kualitas, dan waktu.
Sejumlah temuan investigasi sejalan dengan hasil kajian Ombudsman RI. Soal data RDKK, misalnya, tim bertemu dengan pelaku yang sengaja memasukkan data orang telah meninggal ke daftar RDKK. Ombudsman RI menyebut, ada 369.688 warga yang sudah meninggal, tetapi masuk data awal e-RDKK tahun 2021.
Pada proses distribusi, pupuk bersubsidi bocor ke jalur tidak resmi yang diduga terjadi karena peran oknum-oknum di jalur resmi. Temuan Kompas di Tuban dan Nganjuk (Jawa Timur) serta Indramayu dan Kabupaten Bandung (Jawa Barat) menguak fakta pupuk bersubsidi dikuasai tengkulak, calo, joki, dan juragan pupuk yang sebenarnya bukan bagian dari jalur distribusi resmi.
Temuan lain senapas dengan kajian Ombudsman RI, antara lain ada petani yang terdaftar dalam e-RDKK, tetapi tidak tahu jatah alokasi yang dia terima, baru sedikit petani yang menggunakan Kartu Tani untuk menebus pupuk, ada praktik ”bundling” penjualan pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi, dan penjualan di atas HET. Sekali lagi, temuan ini menegasikan janji pembenahan dan pengawasan yang lebih baik atas pelaksanaan program pupuk bersubsidi.
Soal ketepatan sasaran, misalnya, pemerintah berbenah dengan memperkenalkan Kartu Tani dengan melibatkan bank-bank milik negara. Dengan kartu ini, subsidi ditransfer langsung ke petani sasaran. Program itu telah dimulai tahun 2016. Pada awal Januari 2017, 239.856 Kartu Tani telah dibagikan ke petani di Jawa Tengah, lalu 828.831 Kartu Tani lain menyusul dibagikan sesudahnya (Kompas, 13/1/2017).
Mekanisme transfer langsung diyakini mempupus praktik kotor subsidi pupuk. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merekomendasikan penerapan Kartu Tani dan e-RDKK guna mengefektifkan subsidi dan menekan penyimpangan. Namun, program yang dimulai di Pulau Jawa itu belum signifikan perkembangannya, antara lain, karena alasan teknis, seperti hambatan sinyal telekomunikasi, mesin electronic data capture (EDC) rusak, dan pemahaman pemilik kios pupuk yang kurang soal EDC.
Dengan anggaran yang tidak kecil, yakni mencapai Rp 28,8 triliun pada tahun 2017, lalu Rp 33,6 triliun (2018), Rp 34,3 triliun (2019), Rp 34,2 triliun (2020), Rp 29 triliun (2021), dan Rp 25,2 triliun (2022), program pupuk bersubsidi diharapkan jadi instrumen meningkatkan produksi komoditas pertanian. Sayangnya, tata kelolanya masih jauh dari sempurna. Pertanyaan yang urgen diulang sebagai refleksi adalah apakah subsidi benar dinikmati petani?