Di era smart society 5.0, segala kajian ilmu dituntut melakukan estafet dan pembaharuan, salah satunya etnografi. Sudah saatnya muncul etnografer-etnografer transmanusia yang terjun ke dunia digital.
Oleh
ARDI WINA SAPUTRA,
·4 menit baca
Pada dekade kedua di awal abad ke-21 ini, manusia telah berada pada revolusi kuantum kedua. Revolusi ini ditandai dengan dikembangkannya teori kuantum dan diaplikasikanya teori tersebut pada chip komputer kuantum. Kemunculan revolusi kuantum kedua tentu tidak dapat dipisahkan dari temuan revolusi kuantum pertama yang menghasilkan gawai seperti komputer, telepon genggam, laptop, dan perangkat digital lain yang tergabung dalam suatu induk kesatuan bernama revolusi digital. Revolusi kuantum pertama menghasilkan revolusi industri 4.0, dan revolusi kuantum kedua menjadi cikal bakal mewujudkan masyarakat cerdas (smart society) 5.0.
Virtualitas menjadi kunci utama, ranah konvensional perlahan telah berubah menjadi ranah metaverse. Ranah yang sangat digandrungi oleh generasi figital (fisik dan digital). Menghadapi ranah yang terkoneksi melalui web 3.0 itu, segala kajian ilmu dituntut untuk melakukan estafet dan pembaharuan, salah satunya adalah etnografi. Sudah saatnya muncul etnografer-etnografer transmanusia yang terjun ke dunia digital untuk meneliti, menemukan pola, dan memberikan referensi bagi khalayak agar semakin siap dalam menghadapi era digital.
Ilmu mengenai etnografi muncul sekitar awal abad ke-20. Creswell mendudukkan etnografi sebagai salah satu dari lima pendekatan penelitian kualitatif. Radcliffe-Brown, Malinowski, Boas dan Mead merupakan antropolog pencetus lahirnya etnografi. Pada awalnya kajian etnografi hanya fokus pada upaya generalisasi masyarakat, seperti membandingkan antara organisasi masyarakat dengan sistem sosial.
Pada pertengahan abad ke-20, etnografi berusaha untuk menemukan keunikan dari masyarakat. Dalam penelitian etnografi, peneliti tidak sekadar menjadikan masyarakat sebagai obyek material penelitian tetapi peneliti juga harus menyelesaikan masalah kemanusiaan bagi masyarakat yang ditelitinya. Oleh Spreadley ini disebut kajian etngrafi kritis. Bermula dari kajian etnografi kritis, para peneliti di bidang etnografi mengembangkan interdisiplineritas kajian etnografi.
Salah satu interdisiplineritas kajian etnografi terdapat dalam etnografi komunikasi. Etnografi komunikasi dipelopori oleh Dell Hymes. Komunikasi tak hanya memiliki modalitas tunggal, tetapi juga multimodal. Pengetahuan komunikasi berkembang, Halliday mengembangkan linguistik sistemik fungsional. Dalam linguistik sistemik fungsional (LSF), makna sebuah teks dapat terbentuk dalam suatu konteks. LSF ini ternyata mampu menginspirasi peneliti lain melihat metafungsi komunikasi.
O Tole, mengaitkan komunikasi multimodal dengan gambar, seni, dan proses kreatif, dalam bukunya Bahasa yang Ditampilkan Seni pada tahun 1994. Kemudian ada Leuwen dan Kress yang berusaha untuk membaca gambar dengan memaknai tata bahasa desain visual. Ada juga David Machin yang menganalisis komunikasi lewat musik pop melalui gambar, suara, dan teks, dan ada Christine Hine yang merespons komunikasi dari segi kemajuan cara berkomunikasi manusia. Inilah pencetus etnografi virtual yang nanti bertransformasi menjadi etnografi transmanusia.
Etnografer transmanusia
Konsep transmanusia merupakan hibriditas antara manusia dengan teknologi mulai dirasakan oleh generasi Z. Disadari atau tidak, manusia sesungguhnya sudah menjadi transmanusia ketika bersentuhan dengan gawai masing-masing. Melalui gawai, manusia telah terkodifikasi. Kodifikasi inilah yang kemudian ditransmisikan pada media digital.
Disadari atau tidak, manusia sesungguhnya sudah menjadi transmanusia ketika bersentuhan dengan gawai masing-masing.
Kodifikasi pertama manusia adalah penomoran dalam kartu tanda penduduk. Kartu tanda penduduk itu kemudian digunakan sebagai prasyarat untuk mendaftarkan diri pada nomor telepon, dan surel. Melalui nomor telefon, manusia bertransformasi menjadi avatar ketika nomor tersebut tergabung dengan aplikasi whatsapp atau telegram. Nomor telefon juga digunakan sebagai prasyarat dalam mendaftar pada jaringan surel. Ketika memperoleh akun pada alamat surel tertentu seperti yahoo atau gmail, manusia dapat mendaftarkan akun tersebut pada aneka media sosial mulai dari facebook, instagram, twitter, youtube, dan aplikasi-aplikasi lainya.
Akun surel juga memampukan manusia untuk masuk pada aneka jenis permainan daring yang memampukan manusia membuat avatar untuk dirinya ketika memasuki ranah permainan daring tersebut. Permainan daring seperti Roblox, PUBG, Mobile Legends, The Sims, Warcraft, membuat manusia harus mengidentifikasikan diri sesuai dengan avatar yang disediakan oleh penyedia permainan tersebut. Pada tahap inilah manusia telah terkoneksi menjadi transmanusia. Tidak jarang kita temui ada transaksi digital untuk keperluan digital, seperti tukar menukar materi virtual, jual beli daring, dan sebagainya.
Ada tiga jenis penelitian etnografi yang bisa dijelajah oleh etnografer transmanusia, yaitu etnografi digital, netnografi, dan etnografi virtual. Dari ketiga etnografi tersebut etnografi digital dan netnografi terlihat memiliki tujuan yang lebih spesifik. Etnografi digital bertujuan untuk menemukan keterkaitan antara kondisi sosial dan kondisi digital, sedangkan netnografi memfokuskan diri pada pengembangan produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen baik di ranah daring maupun ranah luring. Penelitian etnografi virtual berperan untuk menjadi sumber referensi bagi masyarakat di ranah luring untuk mengembangkan temuannya.
Penelitian etnografi virtual yang saat ini dilakukan oleh para peneliti, bisa jadi merupakan pijakan untuk penemuan-penemuan baru di kemudian hari. Hibriditas antara manusia dengan kecerdasan buatan semakin lama tidak semakin surut melainkan semakin pasang saja. Facebook, instagram, twitter, whatssapp, dan telegram bisa jadi merupakan awal bersatunya manusia dengan data atau pra-transmanusia.
Namun ke depan, tidak menutup kemungkinan bahwa kecerdasan buatan di ranah virtual dapat melipatgandakan kecerdasanya sehingga mampu untuk melakukan segala bentuk aktivitas manusia di ranah luring, termasuk melakukan penelitian etnografi. Bahkan, bisa saja nanti para etnografer transmanusia bukan lagi manusia melainkan entitas maya. Hasil penelitianya kemudian didiseminasikan pada sesama entitas maya guna membentuk kualitas hidup di ranah daring untuk semakin maju dan maju lagi.
Ardi Wina Saputra, Mahasiswa Program Doktor Universitas Negeri Surabaya, Dosen Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya